BELUM cukup sebulan Jokowi-JK dilantik, Senin (17/11) malam Presiden dan Wakil Presiden baru ini menaikkan harga BBM bersubsidi Rp2.000/liter. Kebijakan mengalihkan subsidi ini keberanian luar biasa mengambil risiko tidak populer!
Pengalihan subsidi BBM itu dilakukan dari konsumtif ke produktif, yakni selama ini sebagian besar lebih dinikmati secara konsumtif oleh kelompok masyarakat kelas menengah ke atas yang mampu, terutama para pemilik mobil. Subsidi itu dialihkan ke arah produktif dalam bentuk human investment kepada warga miskin yang benar-benar membutuhkan untuk meningkatkan taraf hidup keluarganya.
Tahap awal, setelah berlakunya harga baru BBM, pemerintah mentransfer dana bantuan mengatasi dampak kenaikan harga BBM tersebut kepada 15,6 juta Keluarga Harapan. Nantinya, pengalihan subsidi itu menjadi bantuan tetap bulanan kepada keluarga miskin dalam program perlindungan sosial lewat Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), Kartu Indonesia Sehat (KIS), dan Kartu Indonesia Pintar (KIP).
Dengan demikian, jumlah bantuan nantinya sesuai anggaran yang disiapkan, tak lagi sekadar bantalan krisis.
Selain human investment untuk keluarga termiskin, pengalihan ke sektor produktif juga untuk infrastruktur, merehab jalan, dan irigasi. Kerusakan jalan di Tanah Air telah menjadikan biaya distribusi barang di Indonesia mencapai 17% dari biaya produksi, yang menurut Bank Dunia tertinggi di dunia.
Sedang kerusakan irigasi yang simultan di seantero negeri menjadi penyebab utama Indonesia gagal swasembada pangan dan impor pangan terus membengkak!
Semua itu cukup sebanding dengan risiko tidak populer yang dengan berani diambil pasangan Jokowi-JK.
Namun, dengan besarnya jumlah kelas menengah ke atas—angka Bank Dunia sudah jauh di atas 100 juta orang—yang kurang diuntungkan kebijakan pengalihan subsidi ini, potensi penolakan mereka cukup besar.
Gerakan penolakan bisa seru, mengingat sudah demikian lama mereka menikmati subsidi konsumtif itu ratusan triliun rupiah setiap tahunnya. Dengan akibat, defisit APBN berlarut dan utang pemerintah terus memuncak.
Sebagai obat, bukan mustahil kebijakan terasa pahit, terutama untuk mengobati ketimpangan sosial yang dalam 10 tahun terakhir menajam dari indeks rasio Gini 0,300 menjadi 0,413. Kebijakan ini perlu untuk menarik kembali bangsa ke jalur yang benar menuju keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia! ***
0 komentar:
Posting Komentar