Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Harus, Restorasi Anggaran Negara!


"RESTORASI mengembalikan bangunan ke desain asli. Pada bangunan masyarakat, seperti restorasi Meiji, mengembalikan kekuasaan kaisar dari kekuasaan para pendekar!" ujar Umar. "Dalam restorasi anggaran negara, tentu membersihkan anggaran dari segala jenis embel-embel kepentingan kekuasaan para pejabat dan ‘pendekar politik’, dikembalikan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat!" 

 "Tuntutan itu mencuat di balik pernyataan Didik J. Rahbini, beban APBN saat ini sudah terlalu berat lantaran belanja rutin dan subsidi!" timpal Amir. "Kalau tak dibenahi, kata Didik, presiden yang baru tak bisa berbuat apa-apa untuk membangun!" (Kompas.com, 28/4)

"Contoh anggaran embel-embel diungkap Rizal Ramli, biaya perjalanan dinas pejabat saat ini sekitar Rp32 triliun, lebih dua kali lipat dari anggaran sektor pertanian Rp15 triliun!" tukas Umar. "Tak usah ditanya pemerintah prioritasnya pertanian atau pelesiran? Jawabnya pelesiran, ujar Rizal. Sebab itu, tidak aneh kalau Indonesia impor segala macam—komoditas pertanian!" 

 "Biaya perjalanan dinas pejabat bengkak karena para menterinya pemimpin partai sehingga perjalanan dinasnya sering cuma sambilan, sedang waktu perjalanan yang dibiayai negara itu lebih banyak untuk mengurus partainya!" ujar Amir. 

 "Apalagi anggota DPR, ruang kerjanya dibangun serbaluks hingga toiletnya saja bernilai miliaran, tapi untuk rapat ini-itu malah mondok ke hotel mewah! Semua berfoya-foya boros anggaran tak karuan, sampai-sampai infrastruktur, terutama jalan di seantero negeri, hancur total tak kebagian anggaran perawatan tepat waktu!" 

 "Anggaran rutin juga membengkak akibat belanja aparatur oleh terlalu gemuknya birokrasi!" tegas Umar. "Gemuknya birokrasi tak sesuai dengan beban tugas sebenarnya, merupakan ekses penerimaan pegawai baru yang dijadikan sumber pemasukan pribadi pejabat, selain untuk menampung keluarga pejabat!" 

"Karena itu, hal penting dalam restorasi anggaran negara adalah perampingan birokrasi, terutama di daerah!" tukas Amir. "Dimulai dari tak ada penerimaan baru dan penyisipan pegawai pensiun serta meninggal, dilanjutkan rasionalisasi setiap seksi sesuai beban tugas dan relevansinya dalam pelayanan publik! 

Seleksinya secara adil seperti pada tenaga pendidik dan pelayan kesehatan, yakni lewat uji kompetensi sesuai bidang tugas! Dengan semua itu diharapkan APBN dan APBD bisa benar-benar untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat!" ***
Selanjutnya.....

Kian Ramai Tak Bagi-Bagi Kursi!

"KIAN ramai parpol yang menyatakan atau malah sepakat untuk koalisi tanpa bagi-bagi kursi!" ujar Umar. "Setelah PDIP dan NasDem sepakat untuk itu, Ketua DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Abdul Kadir Karding menegaskan dalam koalisi PKB sepakat untuk tidak mengedepankan power sharing, bagi-bagi kursi, dagang sapi!" (Kompas.com, 26/4) 

"Tapi pernyataan Karding itu membuat capres Rhoma Irama yang berkeringat kampanye untuk PKB tersinggung, hingga mengancam mencabut dukungan dari PKB jika tak disertakan dalam negosiasi untuk koalisi!" timpal Amir. "Namun, ternyata PKB serius untuk itu! Buktinya, Ketua DPP PKB lainnya yang Ketua Fraksi PKB di DPR, Marwan Jafar, memperkuat pernyataan Karding itu terkait komunikasinya dengan PDIP!" (Kompas.com, 27/4)

 "Pernyataan partainya tak mau berkoalisi dengan sistem membagi-bagi kursi dalam menghadapi pilpres, juga datang dari juru bicara Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali seiring rapat Majelis Syuro PKS," tegas Umar. "Menurut Mardani Ali, dalam berkoalisi partainya mengusung kesamaan visi dan misi sehingga tercipta koalisi yang kuat dan efektif!" (Kompas.com, 27/4) 

"Pernyataan Mardani Ali itu layak dibaca sebagai isyarat PKS naik derajat!" timpal Amir. "Naik derajat, karena kalau dalam koalisi masa lalu PKS cuma mendapat kursi menteri, menjelang pilpres kali ini, konon, PKS dilamar untuk mengisi jabatan wakil presiden! Maka itu, PKS menjadi lebih piawai, tak mau bagi-bagi kursi!" "Semakin banyak partai menyatakan tak mau berkoalisi untuk bagi-bagi kursi, kian kecil kecenderungan politik dagang sapi, semakin baik pula kehidupan bernegara-bangsa!" tukas Umar

"Karena dengan begitu, praktik politik berporos pada zaken kabinet (profesional), orientasinya mewujudkan cita-cita kemerdekaan jadi lebih efektif dan efisien!" "Setidaknya dibanding kabinet bagi-bagi kursi seperti yang telah terbukti selama ini, orientasinya lebih cenderung untuk kepentingan partai bahkan kepentingan pribadi elitenya!" sambut Amir.

 "Dengan bekerja efektif dan efisiennya kabinet profesional, peluang penyimpangan tertutup di semua lini, jumlah birokrat dan politikus yang masuk penjara diperkirakan akan menurun! Itu sesuai pomeo Bang Napi di RCTI, kejahatan terjadi karena ada kesempatan!" "Jadi, dengan zaken kabinet, berita media terutama televisi tak lagi didominasi barisan panjang koruptor terjerat KPK!" tegas Umar. "Tapi penuh berita gembira peningkatan kesejahteraan rakyat!" ***
Selanjutnya.....

Feri Karam, PM Korsel Mundur!

"SEBAGAI wujud tanggung jawab atas karamnya kapal feri Sewol yang menelan korban tewas dan hilang ratusan orang, Perdana Menteri Korea Selatan Chung Hong-won, Minggu (27/4), meundur dari jabatannya!" ujar Umar. "Kata Hong-won, ‘Saya meminta maaf karena tak mampu mencegah terjadinya kecelakaan ini dan tak mampu bertanggung jawab dengan layak sesudah tragedi ini terjadi!’" (Kompas.com, 27/4) "Kapal feri Sewol berbobot mati 6.825 ton membawa 476 penumpang tenggelam Rabu (16/4) dalam perjalanan dari pulau wisata Jeju menuju Kota Incheon, di barat Seoul!" timpal Amir.

 "Laporan terakhir AFP dikutip detikNews (25/4), jumlah korban yang dipastikan tewas 181 orang, 174 orang termasuk kapten dan awaknya berhasil diselamatkan, sedangkan 121 orang dinyatakan masih dalam pencarian! Lebih dari 300 korbannya murid SMA Danwon, Ansan, yang berwisata ke Pulau Jeju." "Kapten Kapal Sewol, Lee Joon Seok, dan 10 awaknya telah ditahan polisi Korsel didakwa lalai meninggalkan penumpang!" tegas Umar. 

"Kapten kapal menunda proses evakuasi hingga kondisi kapal sangat miring dan upaya penyelamatan sulit dilakukan!" "Bahkan, Choi, seorang siswa SMA Danwon, lebih dahulu menyampaikan panggilan darurat ke 119 pukul 08.52, diterima oleh petugas pemadam setempat, diteruskan ke patroli laut! Tiga menit setelah itu, baru awak kapal mengirim sinyal darurat!" ujar Amir. 

"Petugas patroli sempat mengira Choi awak kapal, dihujani pertanyaan soal koordinat kapal dan jumlah penumpang! Choi bingung, butuh waktu untuk tahu nama kapal itu Sewol! Jasad Choi ditemukan Kamis (24/4) dan telah diidentifikasi kedua orang tuanya!" "Atas kesan terlambat, ia mundur, Hong-won menyatakan sejak awal sudah berniat mengundurkan diri, tapi menangani situasi itu menjadi prioritas utama dan dia harus membantu sebelum mundur!" kutip Umar. 

"Begitu tradisi sikap bertanggung jawab pemimpin pemerintahan di Korsel, Jepang, dan negara lainnya!" "Meskipun itu musibah, di baliknya harus ada seseorang yang bertanggung jawab atas sistem dan prosedur keselamatan (pelayaran), baik yang diatur negara maupun berlaku universal!" tegas Amir.

 "Kesalahan pelaksanaan aturan itulah, ketika berakibat bencana fatal, harus menjadi tanggung jawab pucuk pemerintahan sebagai pusat penjamin semua aturan berjalan semestinya! Itu di sono! Di sini, banyak kilah buat pemimpin mengelak dari tanggung jawab serupa!" ***
Selanjutnya.....

Contoh Akselerasi Pembangunan!

"KITA punya Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indo-nesia (MP3EI), dicanangkan Presiden
SBY dengan Perpres No.32 pada 20 Mei 2011, termasuk jalan tol Sumatera, untuk jadi contoh pembangunan daerah!" ujar Umar. "Tapi karena sampai APBN 2014 anggaran jalan tol itu tak tercantum, jelas MP3EI tak layak jadi contoh percepatan!"

"Malah jadi contoh pelambatan!" timpal Amir. "Perlu dicari contoh lain yang nyata melakukan percepatan atau akselerasi dan perluasan pembangunan!" "Contoh percepatan pembangunan yang tak bermasalah anggarannya, sekaligus pelaksanaannya menyelesaikan masalah masyarakat secara umum dan khusus, mungkin DKI Jakarta dalam dua tahun ini!" tukas Umar.

 "Mulai dari penertiban pedagang Pasar Tanah Abang dari kaki lima jadi pemilik kios, penertiban warga di bantaran waduk dan situ, memindah mereka ke rumah susun dengan mengusir penghuni yang tak berhak!" "Penertiban warga bantaran itu bagian dari revitalisasi semua waduk dan situ untuk mengurangi ancaman banjir, seiring penyelesaian dipercepat pembangunan banjir kanal timur!" timpal Amir

 "Tapi rupanya itu saja belum cukup mengatasi banjir, terlihat pada musim hujan lalu. Maka, secepat kilat disiapkan perluasan proyeknya dengan Jakarta Integrated Tunnel (terowongan terpadu jakarta). Dua terowongan berbiaya Rp24 triliun di kedalaman 5-15 meter diameter 11 meter, menghubungkan Ulujamik-Tanah Abang untuk menampung luapan air Sungai Pasanggrahan, dan Manggarai-Pasar Minggu untuk limpahan air Ciliwung!" "Setiap terowongan yang mulai ditangani PT Antaredja Mulia Jaya itu dibangun dua tingkat! Tingkat bawah untuk saluran air, sedang tingkat atas jadi jalan kereta api metro bawah tanah!" tegas Umar, "Proyek ini akan selesai tiga tahun, bersamaan usainya masa jabatan kepala daerah!"


"Cepat sekali!" entak Amir. "Secepat saat mengaktifkan pembangunan monorail, proyek Gubernur Sutiyoso yang mangkrak di era Fauzi Bowo! Mororail dan metro (kereta bawah tanah) merupakan ciri angkutan massal kota-kota modern!" "Akselerasi bukan terbatas pada proyek pembangunan fisik! Dalam kemanusiaan juga dipacu penuntasannya!" tegas Umar

 "Dari 5.872 orang penghuni 22 panti sosial di Jakarta, 5.800 selesai diproses menjadi peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). 72 sisanya masih diurus administrasinya! Sebanyak 2.231 dari mereka itu penderita gangguan jiwa! Semua itu mungkin bisa jadi contoh akselerasi pembangunan!" ***
Selanjutnya.....

Revolusi Mental, Visi-Misi Jokowi!

 "SAAT ditanya Prisca Niken dari Metro TV, Kamis malam (24/4), Joko Widodo (Jokowi) menyebut visi dan misinya sebagai calon presiden dari PDIP adalah revolusi mental, dari negativisme menuju positivisme!" ujar Umar. "Jokowi menyatakan baru akan menjabarkan detail visi-misinya itu pada saat yang tepat nanti!"

"Jokowi mengatakan Indonesia ini negara besar, tapi masyarakatnya sering tidak percaya diri saat menghadapi tantangan zaman!" timpal Amir. "Karena itu, pola pikir rakyat Indonesia harus diubah lewat kepemimpinannya. Ia akan buat desain kebijakan yang besar untuk mencapai target tersebut!"
"Apa dan bagaimana revolusi mental dari negativisme ke positivisme itu lebih etis kalau kita tunggu jabaran Jokowi!" tukas Umar. "Lebih tepat jika kita bicarakan positivisme dalam arti umum yang telah jadi pemahaman banyak orang!"

"Positivisme lazim berakar naturalisme, yang sesuai pemikiran Auguste Comte berupa cara pandang memahami dunia berdasar realitas, peristiwa yang benar-benar terjadi!" sambut Amir. "Lawannya tentu memahami dunia hanya lewat khayalan dan omong kosong, sejenis retorika dalam berpolitik masa kini! Mungkin hal terakhir ini, kehidupan bangsa yang dipenuhi omong kosong, bisa dikategorikan sebagai negativisme!"

"Jadi positivisme seperti dilakukan Jokowi, bekerja dan terus bekerja menyelesaikan masalah, mengaktivasi banyak situ dan waduk di Jakarta, merelokasi warga dari bantaran mengurangi ancaman banjir ke depan!" timpal Umar. "Tak peduli reaksi orang yang cuma omong! Gejala negatif harus diatasi dengan kerja keras nyata!"

"Namun, di era informasi yang dipengaruhi minimalisme dengan hyperreality-nya di media massa dewasa ini, positivisme yang hanya mengandalkan kesaksian langsung rakyat atas prestasi pemerintah itu sudah kurang memadai!" tegas Amir. "Apalagi, di negeri seluas Indonesia yang kehadiran seorang tokoh dengan proyek-proyek realistisnya itu terbatas oleh ruang dan waktu!"

"Untuk itu, positivisme realistik naturalis itu harus dipadu dengan hyperreality hingga seperti pengalaman di Solo, sentuhan-sentuhan kecil (minimalis) Jokowi dipublikasi luas media dengan pemaknaan yang besar!" timpal Umar.

"Itulah hyperreality, yang dengan itu kerja keras terbatas secara ruang dan waktu seorang tokoh dipublikasi dengan pemaknaan yang besar di seantero negeri yang luas bukan kepalang! Jokowi yang telah jadi media darling memenuhi kapasitas untuk memainkan itu" ***
Selanjutnya.....

Premanisme Cekam Mesuji

 "PREMANISME kian mencekam di kawasan Mesuji, sebuah kabupaten masuk wilayah Lampung dan kecamatan masuk Sumatera Selatan!" ujar Umar. "Di sekitar perbatasan itu, seperti dikeluhkan Bupati Mesuji Khamamik di media sosial, sopir-sopir yang melintas (terutama truk) jadi korban pemalakan preman! 

Terakhir, anggota DPRD II Mesuji tak berani masuk kantor karena diteror preman!" "Premanisme Mesuji unik, terutama oleh sifat operasinya sebagai gerombolan yang terorganisasi baik—well organized group!" timpal Umar

"Dalam memalak sopir truk, mereka secara terbuka memasang nama dan lambang grup di pintu belakang truk! Polanya, truk bercap grupnya itu diklaim sebagai anggota organisasinya, sekaligus keamanannya dijamin oleh grupnya—maka setiap lintas harus bayar iuran!" "Tapi, ada juga grup tertutup, yang punya sejumlah truk untuk memanen di kebun orang—dari mendodos buah sawit di areal perkebunan sampai mencabut singkong milik penggarap di Register 45!" tegas Umar.

 "Kelompok tertutup inilah yang cenderung beroperasi secara ganas karena mereka bersenjata tajam (alat pendodos tajam bergagang panjang) dan senjata api rakitan! Bentrok kelompok jenis ini dengan penggarap Register 45 baru-baru ini sampai berakibat adanya korban tewas!" "Kelompok sejenis terakhir itulah yang membuat para anggota DPRD II Mesuji berbulan kabur dari kantornya!" tukas Amir. "Ditengarai, kelompok preman itu digunakan oleh seseorang untuk menekan DPRD agar memilih orang tersebut sebagai wakil bupati! 

Lucunya, kalangan DPRD malah takut untuk memilih pimpinan untuk daerahnya orang yang memakai preman menekan mereka!" "Premanisme yang mencekam Mesuji masalahnya menjadi domain bersama pimpinan daerah Provinsi Lampung dan Sumatera Selatan!" timpal Umar. "Tak cukup hanya pimpinan daerah Lampung–apalagi cuma Kabupaten Mesuji— karena kalau ditindak dari sisi Lampung, mereka cukup menyingkir ke seberang perbatasan di luar yurisdiksi pimpinan Lampung, dengan masuk ke Sumatera Selatan! Begitu sebaliknya, jika ditindak dari sisi Sumatera Selatan!" 

"Menindaknya tak boleh sembarangan, karena selain punya aneka senjata dan fasilitas (truk dan sebagainya), seperti lazimnya kelompok terorganisasi, mereka punya aktor intelektual!" tegas Amir. "Organisasi-organisasi preman itu mengklaim sebagai hak konstitusional mereka kebebasan berserikat bagi setiap warga negara!"
Selanjutnya.....

Epidemi Wabah Politik Uang!


"PRAKTIK politik uang dalam Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) 2014 ditengarai justru semakin gila!" ujar Umar. "Itu dilihat dari berbagai sisi, temuan jajaran Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), catatan LSM Indonesia Corruption Watch (ICW), pantauan media massa, hingga pengakuan aktor politik sebagai pelakunya sendiri!" 

"Dengan temuan ICW aneka kecurangan, terutama politik uang, yang kian merebak di seantero Tanah Air sehingga jumlah kasusnya dalam Pileg 2014 meningkat dua kali lipat dari 2009, para pengamat tegas menyebutkan kecurangan di Pileg 2014 semakin brutal!" (Kompas, 22/4) timpal Amir. "Sedang para caleg dari 20 anggota DPRD Tulangbawang Barat yang gagal kembali duduk di Dewan, menyatakan pemilu kali ini gila! Mereka menghabiskan uang antara Rp800 juta sampai Rp1,5 miliar, kalah juga!" (Lampost.co, 22/4)

"Atas kecurangan berporos politik uang yang demikian luas dan masif dalam Pileg 2014, tak ayal politik uang telah menjadi wabah epidemik yang menelan banyak korban di seantero negeri!" tegas Umar. "Korban utamanya tentu para caleg gagal yang telah habis-habisan menabur uang, tapi malah harus dirawat gangguan jiwa! 

Tapi penderitaan panjang lebih telak dirasakan para pemilih, setidaknya lima tahun diabaikan perbaikan nasibnya oleh kaum politikus yang merasa telah membeli suara mereka seharga Rp20 ribu sampai Rp100 ribu per orang!" "Konsekuensi dari wabahnya yang terus meningkat pemilu ke pemilu seperti data ICW itu, kualitas demokrasinya juga terus menurun!" tukas Amir.

 "Karena para wakil rakyat yang terpilih lewat membeli suara pemilih itu, orientasinya bukan lagi pada kepentingan rakyat yang diwakilinya, melainkan pengembalian modal politik yang telah ia keluarkan, kemudian cari laba untuk mempertahankan kedudukannya ke depan! Demokrasi perwakilan pun tinggal formalitas atau pseudomatis—seolah-olah belaka! 

Secara esensial prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan tidak efektif lagi!" "Militansi idea politikus yang hampa pada kepentingan konstituen yang diwakilinya akibat bergeser pada kepentingan diri pribadinya, menyebabkan disiplin para politikus pada lembaganya (legislatif) juga rendah! 

Jadi suka bolos!" timpal Umar. "Dalam epidemi wabah politik uang secara idea dan operasional kinerja para politikus tidak optimal! Akhirnya rakyat yang jadi korban paling menderita, banyak semakin dalam terbenam di jurang kemiskinan!"
Selanjutnya.....

Mengungkit Batang Terendam!


"PEPATAH 'mengungkit batang terendam' berarti mengungkap aib lama! Kata 'batang' itu menurut sebuah leksikon berasal dari istilah Jawi, yang berarti bangkai!" ujar Umar. "Agaknya itulah yang terjadi dengan penetapan tersangka oleh KPK atas Hadi Purnomo terkait masalah keberatan dari wajib pajak semasa ia jadi direktur jenderal pajak 2002—2004!" 

"Kasus ini menjadi peringatan kepada siapa pun agar saat berkuasa tidak menyembunyikan 'bangkai' di balik kekuasaannya! Karena, bangkai itu suatu masa nanti tercium dan dibongkar orang justru ketika ia tak punya kuasa lagi untuk menutupinya!" timpal Amir. "Seperti dalam kasus Hadi Purnomo, ia ditetapkan tersangka atas kasus yang telah tersimpan lebih 10 tahun itu pada hari terakhir jabatannya sebagai kepala Badan Pemeriksa Keuangan—BPK!"

"Mengharukan!" tukas Umar. "Justru pada hari pertama masa pensiunnya ia harus mempertanggungjawabkan kebijakannya semasa berkuasa! Ketika itu, Bank Central Asia (BCA) mengajukan keberatan pajak atas nonperforming loan yang nilainya Rp5,7 triliun! Hadi Purnomo diduga menyalahi prosedur dengan menerima permohonan keberatan pajak tersebut!" (Kompas.com, 21/4)

"Menurut Ketua KPK Abraham Samad dalam temu pers, Senin (21/4), sezaman dengan kasus itu banyak permohonan serupa yang ditolak Hadi Purnomo!" sambut Amir. "Dengan begitu, kebijakan itu berbeda dan istimewa hingga terkesan aneh, mengundang kecurigaan!" 

"Malangnya bagi Hadi Purnomo, andai ia bisa mengelak putusannya itu kebijakan, dan kebijakan menurut paham tertentu tak bisa diadili, ia sendiri telah menunjukkan kebijakan bisa dicari kesalahannya secara prosedural dan ditetapkan sebagai pelanggaran hukum, seperti yang BPK lakukan pada kasus Century!" tukas Umar. 

"Jadi, kejeliannya dalam menangani kasus Century berakibat negatif pada dirinya karena kelemahan serupa bisa dikenakan pada kebijakannya saat bertindak selaku Dirjen Pajak!" "Asal jangan karena ia membongkar kasus Century, kasus terkait dirinya yang telah lama itu terpendam dibongkar sebagai pembalasan!" entak Amir. 

"Kemungkinan demikian juga dibicarakan orang!" "Kemungkinan itu bukan mustahil!" tukas Umar. "Maka itu, untuk menjadi pencari kesalahan orang—seperti tugas di BPK—latar belakang orangnya harus benar-benar bersih! Kalau menyapu dengan sapu kotor, hanya soal waktu sapu yang kotor itu akan ketahuan!"
Selanjutnya.....

Kewalahan Mengatasi Inflasi!


"BI—Bank Indonesia—dan pemerintah sering kewalahan mengatasi inflasi!" ujar Umar. "Seperti 2013, dengan asumsi APBN inflasi 4,5% plus-minus 1%, realisasinya nyaris dua kali lipat, 8,38%." "Karena mustahil diatasi, nama lembaga kerja sama BI-pemerintah menangani inflasi 'pengendali'—bukan mengatasi!" timpal Amir. "Kelanjutan keberadaan lembaga itu di daerah, tim pengendali inflasi daerah (TPID), kerja samanya antara BI-pemerintah ditandatangani Senin kemarin," (detikFinance, 21/4) 

"Dalam acara itu, Menko Perekonomian Hatta Rajasa menyebut inflasi yang tajam akhir-akhir ini salah satu penyebabnya akibat terganggu atau kurang lancarnya distribusi!" tukas Umar. "Artinya, Menko mengakui hancurnya infrastruktur jadi penyebab utama inflasi! Dan masyarakat miskin yang menderita akibat kerusakan infrastruktur itu harus memikul beban kenaikan harganya—sebab, kalau orang kaya harga naik setinggi apa pun tetap mampu beli!"

"Apalagi Gubernur BI Agus Martowardojo pada acara sama menegaskan harga beras, kedelai, dan bumbu masakan yang naik paling tajam dalam lima tahun terakhir!" tegas Amir. "Ketiga jenis kebutuhan itulah penguras terbesar pendapatan warga miskin, sehingga kalau harganya naik langsung memperberat beban mereka! 

Bahkan, kenaikan harga daging sapi lebih 100% dalam waktu yang sama tak cukup berpengaruh pada rakyat miskin, karena mereka tidak mengonsumsi daging sapi! Kebutuhan protein mereka ganti dengan tahu-tempe, hingga mahalnya kedelai bisa mengancam kecukupan protein rakyat!" "Perpanjangan kerja sama pengelolaan TPID itu tepat waktu karena efek inflator pemilu legislatif perlu diantisipasi!" timpal Umar. 

"Bukan rahasia selama pileg itu ribuan caleg dari berbagai partai untuk semua tingkatan di seantero Tanah Air menabur uang ke tengah masyarakat! Daya beli naik, permintaan kebutuhan juga naik, sebab itu pasokan harus segera dicukupi! 

Kalau infrastrukturnya di daerah tetap hancur seperti sekarang, distribusi memenuhi permintaan terhambat, percuma tim pengendali inflasi disegarkan!" "Dengan data inflasi BI year on year (yoy) 8,22% Januari 2014, 7,75% Februari 2014, dan 7,32% Maret 2014, atau inflasi tahun kelender (Januari—Maret 2014) 1,14%, antisipasi ekses 'serangan fajar' pileg itu perlu dengan perbaikan infrastruktur pada April dan Mei!" tukas Amir. "Sebab, Juni, Juli, dan Agustus tiba puncak inflasi rutin, Ramadan dan Idulfitri!" ***
Selanjutnya.....

Widji Thukul, Polemik Jokowi!


"SAAT puisi Wakil Ketua Umum Gerindra Fadli Zon berjudul Raisopopo ditanyakan wartawan, Jokowi menjawab dia tidak membaca puisi yang diduga wartawan menyerang dirinya karena sering berkata 'aku rapopo'!" ujar Umar. 

 "Kata Jokowi, ia hanya membaca puisi Rendra, Chairil Anwar, atau Widji Thukul!" "Widji Thukul? Siapa itu?" kejar Amir. "Penyair aktivis, 'hilang' sejak kerusuhan 27 Juli 1996—penyerbuan militer ke kantor PDI Megawati di Jalan Diponegoro Jakarta!" ujar Umar.

"Selanjutnya, Widji Thukul masuk daftar orang hilang bersama aktivis lain di Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), di antaranya yang ditemukan masih hidup terbukti korban penculikan Operasi Mawar Kopassus!" (Wikipedia) "Tapi apa tak berlebihan menyebutnya setelah Rendra dan Chairil?" kejar Amir. "Bisa jadi Jokowi agak berlebihan!" jawab Umar. 

"Tapi Widji Thukul kelahiran 16 Agustus 1963 di Sorogenen, Solo, itu pada 1991 menerima Wertheim Encourage Award dari Wertheim Stichting, Belanda, bersama W.S. Rendra! Bahkan, pada 2002 ia mendapat penghargaan Yap Thiam Hien Award atas jasanya buat kemanusiaan!" 

"Sejauh apa perjuangan Widji Thukul sehingga meski orangnya masuk daftar orang hilang masih diberi penghargaan kemanusiaan bergengsi?" tanya Amir. "Widji Thukul cuma anak abang becak, pendidikannya drop out dari kelas XI SMA karena kurang biaya!" jelas Umar. 

"Bersama kelompok Teater Jagat ngamen puisi keluar-masuk kampung dan kota! Sempat jualan koran, calo karcis bioskop, dan jadi tukang pelitur di pabrik mebel! Lalu, jadi pemimpin massa demo!" "Demo apa di era Orba?" kejar Amir. "Pada 1992 demo memprotes pencemaran lingkungan oleh pabrik tekstil Sariwarna Asli Solo! Lalu, pada 1994 aksi petani Ngawi, Jawa Timur, sebagai pemimpin massa dan orator, Thukul ditangkap, dipukuli militer! 

Dan seterusnya, hingga ia hilang!" "Sebagai penyair dapat penghargaan, karyanya apa saja?" tanya Amir. "Ada tiga sajak Thukul yang populer dan menjadi sajak wajib dalam aksi-aksi massa, yaitu Peringatan, Sajak Suara, serta Bunga dan Tembok! 

Ketiganya ada dalam antologi Mencari Tanah Lapang yang diterbitkan Manus Manici, Belanda!" jelas Umar. "Lalu, dua kumpulan puisinya, Puisi Pelo dan Darman, diterbitkan Taman Budaya Surakarta, dan lain-lain!" "Dengan menyebut Widji Thukul saja, korban orang hilang, Jokowi dengan jitu mengembalikan serangan lawan!" tegas Amir. "Itu cara Jokowi berpolemik!" **
Selanjutnya.....

Seru, Persaingan Caleg Separtai!


"DI balik proses rekapitulasi hasil pemilu legislatif yang secara nasional sedang berlangsung di tingkat kabupaten menuju provinsi, persaingan seru terjadi antarcalon anggota legislatif (caleg) separtai!" ujar Umar. "Paling seru pada partai yang menurut hitung cepat di satu daerah pemilihan (DP) hanya dapat satu kursi DPR, seperti DP Sumut I, padahal di situ terdapat tiga tokoh beken Partai Demokrat: Sutan Bhatoegana, Ruhut Sitompul, dan Ramadhan Pohan!" 

"Dalam persaingan saling menyingkirkan begitulah, pagi-pagi buta—rekap di KPPS saja belum selesai—Sutan di layar televisi sudah menuding teman separtai curang!" timpal Amir. "Padahal, di Partai Demokrat, banyak DP yang sebelumnya dapat lebih dua kursi DPR, kini cuma dapat satu kursi atau terancam tidak dapat sama sekali!"

"Persaingan seru juga terjadi pada partai-partai lain!" tegas Umar. "Bahkan, di Lampung, antarlembaga survei mencatat caleg berbeda yang lolos dari satu partai! Di DP Lampung II, Rakata mencatat Henry Yosodiningrat dari PDIP dan Tamanuri dari NasDem lolos ke Senayan! Namun, survei Independence mencatat Nurhasanah dari PDIP dan Benny Kisworo dari NasDem yang lulus!"

 "Hasil penghitungan tingkat provinsi yang menjadi penentu bagi caleg DPR!" timpal Amir. "Sepanjang proses menuju ke tingkat itu saling intip dan mengawasi gerak-gerik teman separtai dengan saling curiga pun tidak terhindarkan! Itu tidak lepas dari adagium politik, teman terdekat yang akhirnya menjadi musuh terpenting!" 

"Konkurensi setajam itu antarelite sebuah partai tentu beraspek negatif terhadap partainya!" sambut Umar. "Apalagi pada Partai Demokrat, yang menurut hitung cepat lembaga survei Syaiful Mujani (SMRC) akan kehilangan 80-an kursi dibanding Pemilu 2009 (Kompas.com, 17/4), persaingan sejenis merebak di banyak DP! Artinya, perang saudara separtai merebak luas!" 

"Untuk itu, penghitungan suara yang jujur, benar-benar terhindar dari aneka permainan, yang bisa menjamin semua pihak di partai-partai yang mengalami persaingan sejenis kembali rukun seperti semula!" tegas Amir. 

"Jaminan untuk itu, terutama harus bisa diberikan Bawaslu! Jajaran pengawasnya di seantero negeri memastikan tidak ada praktik kanibalisme, penggelembungan suara salah satu caleg dengan memakan suara caleg gagal! Tugas mengawasi penghitungan angka dengan surat suara dalam kaleng, tidak lebih mudah dari pengawasan fisik di lapangan—yang juga kebobolan!"
Selanjutnya.....

Koalisi tanpa Bagi-Bagi Kursi!


"CALON presiden dari PDIP, Joko Widodo alias Jokowi, mengatakan kepada Forum Pemimpin Redaksi, Selasa (15/4), untuk melakukan koalisi tanpa bagi-bagi kursi agar bisa membentuk kabinet profesional yang terbaik untuk bangsa!" ujar Umar. "Untuk itu, jika tak ada partai lain yang mau koalisi, dan hanya NasDem yang telah komitmen tak minta kursi kabinet, PDIP akan hanya koalisi dengan NasDem pada Pilpres 2014!" (Kompas.com, 15/4) 

"Syaratnya, kata Jokowi, ia mendapatkan dukungan dari rakyat dan media!" timpal Amir. "Jika didukung rakyat dan media, ia tak takut berseberangan dengan partai politik lain. Kalau tidak, kita begini terus. Bagi-bagi kursi. Koalisi gemuk akhirnya membebani negara!"

"Menurut Jokowi, persoalan di Indonesia sungguh rumit," tukas Umar. "Oleh sebab itu, lanjut Jokowi, jika penguasa masih dibelenggu politik transaksional, itu akan menghambat kesejahteraan rakyat!" "Transaksional menukar dukungan partai kepada koalisi dengan sejumlah kursi kabinet, menurut pengalaman memang bisa menghambat kesejahteraan rakyat karena orang partai di jabatan menteri itu bukan ahli di bidangnya!" tegas Amir. 

"Kalaupun ahli di bidangnya, pengabdian kepada negara tidak all out karena beban kepentingan partai dan elitenya harus dilayani! Pengalaman Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II membuktikan itu!" "Soal hambatan terhadap kerja kabinet tanpa bagi-bagi kursi, Jokowi becermin pada koalisi PDIP dan Gerindra saat mengusungnya dan Ahok di DKI, hanya 11% dan 6%!" timpal Umar. 

"Dia akui minoritas kursi di DPRD membuat APBD terlambat disahkan! APBD mundur, tapi program-program tetap berjalan!" "Tentu saja ada tantangan mengganti kebiasaan bagi-bagi kursi kekuasaan menjadi zaken kabinet atau kabinet profesional, diisi tokoh-tokoh yang telah teruji kemampuan di bidangnya!" tegas Amir. "Berkat dukungan rakyat dan media, tantangan itu bisa diatasi! 

Terutama saat para profesional di kabinet bekerja baik dan berhasil meningkatkan kesejahteraan rakyat, politikus yang menghambat program pemerintah akan dihukum rakyat, tak dipilih di pemilu, perolehannya turun!" "Lebih penting lagi arti langkah Jokowi dan PDIP memilih koalisi langsung dengan zaken kabinet itu dalam menghabisi politik transaksional dari puncak piramida kekuasaan!" sambut Umar. 

"Jika etika politik mengutamakan kepentingan rakyat itu efektif, bisa berkah seperti air, proses membersihkan politik transaksional dari atas mengalir ke bawah!"
Selanjutnya.....

Pemerintah Gebuk Petani Kakao!


"PEMERINTAH Republik Indonesia dengan cara keji menggebuk petani kakao sendiri dengan memberlakukan bebas bea masuk impor biji kakao menjadi 0% mulai April 2014 dari semula 5%!" ujar Umar. "Di sisi lain, petani lokal yang menjual kakao ke industri pengolahan domestik dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN) 10%!" 

"Alasan pemberlakuan bebas bea masuk impor kakao karena kapasitas terpasang industri pengolahan kakao 850 ribu ton/tahun, sedang produksi petani hanya 700 ribu ton/tahun, termasuk ekspor 188 ribu ton!" timpal Amir. "Padahal, di dunia tak ada industri yang berproduksi sepenuh kapasitas terpasangnya! Bisa 70% saja sudah bagus, dan itu berarti seperti selama ini cukup dengan kakao lokal!"

"Tapi watak tidak adil pemerintah kepada petani kakao sendiri memang mencolok sejak awal sehingga kebijakan bebas bea masuk impor kakao terakhir menaikkan sikap tak adil itu menjadi keji!" tegas Umar. "Tak adil (semula) karena kepada produk kakao petani luar negeri cuma dikenakan bea masuk 5%, sedang produk petani sendiri dipalak PPN 10% (dua kali lipat). 

Kini meningkat jadi keji karena bea masuk impor dibebaskan jadi 0%, sedang PPN kakao petani sendiri tetap 10%!" "Sebenarnya pemerintah tak perlu sekeji itu, menggebuk petani kakaonya sendiri!" timpal Amir. "Disebut menggebuk karena dengan PPN 10% nantinya harga kakao lokal praktis menjadi lebih mahal dari kakao impor dengan bea masuk 0%! 

Akibatnya, kakao lokal akan ditinggalkan produsen cokelat olahan, akhirnya kakao lokal tidak laku dan harganya jatuh!" "Bahkan dengan PPN 10% praktis petani lokal menerima hasil penjualan kakaonya setelah terpotong senilai pajak tersebut!" kata Umar. "Padahal, PPN itu sebenarnya beban industri pengolahan, yang memproses peningkatan nilai dari biji kakao menjadi cokelat olahan! 

Tapi lewat mekanisme pasar industri mengalihkan beban itu ke petani, dan dibiarkan saja oleh pemerintah! Menteri Perdagangan M. Lutfi saat memberlakukan bebas bea masuk kakao dengan enteng lepas tangan, soal PPN kakao itu domain Kementerian Keuangan!" (Merdeka.com, 28/3) "

Celakanya, Menteri Pertanian Suwono menyetujui pelaksanaan bebas bea masuk impor kakao hanya berdasar hitungan kapasitas terpasang industri pengolahan, bukan realisasi produksinya yang selama ini tertutupi oleh produksi kakao lokal!" timpal Amir. "Begitulah malangnya nasib petani negeri ini, kena gebuk kekuatan agen pasar internasional di pemerintahan lewat keputusan yang serampangan—hanya berdasar asumsi kasar!"
Selanjutnya.....

Cuma Cipratan Tiongkok, Neko-Neko!


"EKONOMI Tiongkok yang sepanjang dekade lalu sampai 2010 tumbuh di atas 10%, menjadi tujuan ekspor utama komoditas Indonesia hingga kecipratan pertumbuhan rata-rata 6% sampai 2012!" ujar Umar. "Ketika pertumbuhan Tiongkok melorot ke 7,7% dua tahun terakhir, pertumbuhan Indonesia juga turun ke bawah 6%!" "Pelambatan pertumbuhan ekonomi Tiongkok terakhir itu, menurut para ekonom yang dijajaki CNN (Kompas.com, 12/4), dalam tiga kuartal terakhir terlihat terjadi akibat pelambatan pertumbuhan kredit!" timpal Amir. 

"Lucunya, bukan cuma pertumbuhan yang menciprat, masalah yang dihadapi juga! Survei Perbankan BI kuartal I 2014 menemukan saldo bersih tertimbang (SBT) periode itu melambat 21,7% lebih rendah dari kuartal sebelumnya! Parahnya, survei itu menunjukkan pelambatan tersebut bersumber dari melambatnya seluruh jenis penggunaan kredit, terutama kredit konsumsi!" (Kompas.com, 14/4)

"Alasan rasional pelambatan pertumbuhan kredit adalah melambatnya kegiatan ekonomi nasional!" tegas Umar. "Salah satu penyebab melambatnya kegiatan ekonomi, menurut Wakil Ketua Umum Kadin Natsir Mansyur karena pemerintah banyak membuat kebijakan yang menyimpang! 

Contoh kebijakan neko-neko itu, kewajiban memberikan jaminan ke pemerintah 5% untuk membangun smelter (peleburan mineral hasil tambang). Padahal tak satu pun negara di dunia melakukan itu, tapi sebaliknya yang membangun smelter diberi insentif!" "Nilai sebuah smelter umumnya di atas 1 miliar dolar AS! Jaminan 5% itu paling rendah 50 juta dolar!" tukas Amir. 

"Itu jebakan menurunkan kegiatan ekonomi, setelah UU Larangan Ekspor Biji Mineral Mentah berlaku, membangun smelter dibebani membayar jaminan yang tak masuk akal! Itu akal cerdas penguasa!" "Bukan cuma itu!" tegas Umar. 

"Contoh lainnya, hambatan impor barang modal di BKPM—mungkin untuk menekan defisit neraca perdagangan maupun neraca pembayaran! Tapi, menurut Natsir Mansyur, sudah kelewatan hingga berekses negatif bagi perekonomian! Untuk satu izin perlu 3—4 bulan baru selesai! 

Natsir yang suka mengurus sendiri, di BKPM sering jumpa orang-orang asing terutama Jepang, yang mengeluh pusing berurusan dengan birokrasi di Indonesia!" "Lebih parah lagi, tukas Natsir, birokrasi di daerah, di bawah gubernur dan bupati" timpal Amir. "Pelambatan pertumbuhan bisa lebih fatal lagi karena sebenarnya tumbuh cuma akibat cipratan Tiongkok, pemerintah malah neko-neko pula!"
Selanjutnya.....

Menuju Welfare State Bung Karno!


"DI Kongres V Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI), Jokowi menandaskan bercita-cita mewujudkan welfare state sebagaimana cita-cita Bung Karno!" ujar Umar. "Itu ditulis Mochtar Pakpahan Baru dalam statusnya di Facebook (Minggu, 13/4), yang menegaskan itulah alasan mengapa Kongres V SBSI mendukung Jokowi jadi presiden RI. Jokowi presiden, welfare state diwujudkan, rakyat buruh, petani, nelayan, dan pengusaha sama-sama menikmati, makmur-sejahtera!" 

 "Welfare state lazim diartikan negara kesejahteraan!" timpal Umar. "Welfare state cita-cita Bung Karno dapat didalami dalam sila kelima Pancasila—Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia—tentu dengan paradigma semua sila dalam kehidupan bernegara bangsa! Untuk mendalami lebih jauh, salah satunya bisa membaca buku Bung Karno Di Bawah Bendera Revolusi (1959), kumpulan tulisannya sejak 1926—1942 di media, terutama Suluh Indonesia Muda, Pandji Islam, dan Pemandangan!"

"Buku itu padat dengan polemik tentang nasionalisme, islamisme, dan marxisme, sebagai proses Bung Karno mendadar nasionalismenya yang antikolonialisme, imperialisme, dan kapitalisme!" tegas umar. "Bahasan tajam berfokus keadilan sosial, antara lain dalam tulisan berjudul Demokrasi Politik dengan Demokmasi Ekonomi = Demokrasi Sosial yang dimuat Pemandangan 1941 (hal. 579-588)." "Secara umum kalau welfare state Bung Karno yang dituju, akan terjadi koreksi dengan perubahan total dari sistem neoliberalime yang ditempuh sekarang menjadi demokrasi (berkeadilan) sosial!" timpal Amir. 

"Kata kuncinya nasionalisme berkeadilan sosial! Bung Karno sendiri pada 1950-an membangun pengusaha-pengusaha nasional yang tangguh (lewat Operasi Benteng) justru sebagai benteng negara secara ekonomi dalam bersaing dengan pengusaha asing! 

Lain sekarang, semua lini perekonomian telah dikuasai asing, ritel kebutuhan pokok saja sudah menjarah sampai pelosok desa!" "Perusahaan nasional yang tangguh itu justru karena dikelola bersama buruhnya yang terorganisasi, menikmati hasil usaha secara adil sehingga waktunya tak habis untuk demo keluar pabrik!" tegas Amir. 

"Pada petani tak bertanah reforma agraria sesuai perintah UU Pokok Agraria No. 5/1960 dijalankan atas jutaan hektare tanah bekas HPH! Masak ke HGU puluhan ribu hektare dipermudah, secuil saja untuk petani dipersulit! Dan banyak hal lagi yang benar-benar berorientasi bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat!"
Selanjutnya.....

Mengatasi Kemiskinan Lampung!


"DALAM perbincangan mengenai gubernur baru Lampung di media sosial Facebook (FB), Ari Darmastuti menyatakan prestasi gubernur lama mengangkat Lampung dari provinsi termiskin di Sumatera menjadi termiskin ketiga supaya ditindaklanjuti!" ujar Umar. "Prestasi itu, menurut Ari, luar biasa, karena jumlah penduduk Lampung jauh lebih besar dibanding Aceh dan Bengkulu yang diloncati peringkat kemiskinannya!" "Semua pihak tentu sepakat dengan Ari!" timpal Amir. 

"Untuk itu, gubernur baru bersama DPRD baru nanti harus membuat perda untuk menetapkan mata anggaran baru yang spesifik dan secara eksplisit disebutkan untuk membiayai kegiatan mengatasi kemiskinan!" "Selama ini mata anggaran spesifik yang tegas dan jelas untuk membiayai kegiatan mengatasi kemiskinan di APBD kayaknya belum ada!" tukas Umar.

"Kemiskinan berhasil dikurangi sering diasumsikan sebagai dampak anggaran lain, seperti pertanian—yang selalu kecil! Hingga ada yang lebih meyakini kemiskinan dipangkas oleh Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), dana APBN yang tidak diproses APBD!" 

"Berarti, perlu kegiatan sejenis PNPM yang dibiayai APBD provinsi sehingga ketika provinsi mengklaim sukses pengurangan kemiskinan, itu benar-benar hasil kegiatan yang mereka rencanakan dan biayai di APBD!" timpal Amir. 

"Agar programnya cukup kuat, seperti PNPM, mungkin nama kegiatannya program daerah pengentasan kemiskinan—PDPK! Program mirip PNPM ini bisa tajam memangkas kemiskinan, apalagi setelah dijalin dengan anggaran desa Rp1 miliar/tahun mulai 2015!" 

"Dengan program yang tegas dan jelas mata anggaran dan kegiatannya—untuk mengatasi kemiskinan itu, kemungkinan sapi punya susu, kambing punya nama—mengklaim hasil kerja orang lain bisa dihindari!" lanjut Umar. "Kegiatan utamanya untuk meningkatkan kuantitas hari kerja warga miskin agar pengentasan kemiskinan pada dasarnya dilakukan oleh warga miskin itu sendiri! 

Salah satu penyebab latennya kemiskinan adalah rendahnya jumlah jam kerja banyak warga miskin, karena dalam pencacahan statistik kalau satu minggu bekerja dua jam saja sudah digolongkan bukan penganggur!" "Betapa parah kemiskinan jika kerja dua jam seminggu dianggap tidak menganggur! 

Berapa sih upah dua jam itu, dianggap cukup untuk biaya hidup satu minggu?" entak Amir. "Hal-hal menyangkut pahit-getir pergulatan hidup warga miskin itu yang harus dibuatkan solusinya untuk menghabisi kemiskinan di Lampung!"
Selanjutnya.....

Ajaran Berpolitik dari Surya Paloh!


"TJAHJO Kumolo, Sekjen PDIP yang unggul dalam pemilu legislatif 2014 versi hitung cepat, menemui Surya Paloh, ketua umum Partai NasDem, untuk menjajaki koalisi Mega-Surya. Ia juga minta nama calon wakil presiden dari Partai NasDem untuk mendampingi Jokowi, calon presiden dari PDIP," ujar Umar. "Menyambut tawaran itu Surya Paloh bukan menyebut nama dirinya atau tokoh Partai NasDem, tapi menyodorkan nama Jusuf Kalla untuk berpasangan dengan Jokowi!" "Jusuf Kalla, ketua Palang Merah Indonrsia (PMI) itu bukan anggota Partai NasDem, secara formal malah berada di Partai Golkar!" timpal Amir. 

"Tapi itulah ajaran berpolitik kebangsaan dari Surya Paloh! Mendapat kesempatan emas bukan dimanfaatkan maksimal untuk diri atau partainya, tapi digunakan untuk yang terbaik bagi bangsa! Itu berdasar survei Pol-Tracking Institute yang melibatkan 330 profesor di 33 provinsi, menempatkan Jusuf Kalla terbaik dengan skor 7,70, disusul Jokowi 7,66. (Berita Satu, 23/3) Jelas, pasangan keduanya menjadi pemimpin ideal buat bangsa saat ini!"

"Begitulah Surya Paloh!" tegas Umar. "Coba kalau tokoh lain, ada kesempatan baik begitu pasti langsung dirinya sendiri yang ditonjolkan, cocok atau tidak dengan kapasitasnya, atau kompetensi bidangnya, dipaksakan buat dirinya!" 

"Itu yang terjadi dalam koalisi terdahulu, semua ketua umum partai koalisi ramai-ramai jadi menteri sehingga kabinetnya bukan berdasar kualitas dan kompetensi bidangnya!" tukas Amir. "Akibatnya, kabinet tidak berprestasi optimal! Rakyat jadi korban tetap hidup terbelakang, yang miskin tambah miskin! Tertinggal makin jauh dari negara tetangga!" 

 "Sikap Surya Paloh itu cukup mengejutkan juga!" timpal Umar. "Mengingat, betapa banyak ia telah menghabiskan biaya untuk mendirikan dan membangun partai, justru saat berhasil sebagai partai baru meraih suara sekitar 7%, ia tak berusaha untuk menikmati hasilnya buat dirinya maupun partainya! Malah, ia berikan pada orang dari luar partainya demi bangsa mendapatkan pemimpin yang tepat!" 

"Dengan itu, koalisi 'Mega-Surya'—begitu disebut Tjahjo—menjadikan dua tokoh sentral kedua partai (Megawati dan Surya Paloh) sebagai king maker, pencetak pemimpin negara!" tegas Amir. "Dengan pemilik kekuasaan utama di partai masing-masing itu tidak memaksa harus dirinya yang tampil, tapi yang terbaik menurut publik, bisa seperti diharap Sekjen Partai NasDem Patrice Rio Capela, koalisi Mega-Surya menjadi 'cahaya yang amat besar' bagi bangsa dan negara!" ***
Selanjutnya.....

Ulama Mesir Wajib Punya Lisensi!


"USAI memvonis hukuman mati lebih 500 orang ulama aktivis Ikhwanul Muslimin, pemerintah sementara Mesir bentukan rezim militer menerapkan sistem lisensi negara untuk ulama berkhotbah di masjid saat salat jumat!" ujar Umar. "Kamis (10/4) Pemerintah Mesir menyatakan telah memberikan lisensi kepada 17 ribu ulama, untuk mencegah pengaruh Ikhwanul Muslimin berkembang di masjid-masjid!" (Kompas.com, 11/4) 

"Kontrol ketat atas masjid-masjid di Mesir diterapkan sejak penggulingan Presiden Mesir hasil pemilu Muhammad Mursi oleh militer di bawah Jenderal Abdel Fatah al-Sisi, Juli 2013!" timpal Amir. "Sekitar 55 ribu ulama dilarang berkhotbah! Untuk mengisi penggantinya direkrut barisan ulama baru, setelah 'berlisensi' menjalani pelatihan ulang di Universitas Al Azhar di bawah pengelolaan Kementerian Wakaf dan Agama!"

"Kebijakan berdalih mencegah masjid dimanfaatkan partai dan sektarian itu berjalan sejak September 2013!" tukas Umar. "Pemerintah Mesir menyatakan Ikhwanul Muslimin sebagai organisasi terlarang dan menyebut gerakan pembaruan itu sebagai teroris!" 

 "Kezaliman terhadap sesama muslim tampaknya berlangsung semakin jauh dilakukan pemerintahan di bawah rezim militer Mesir! Tapi, reaksi dari pemerintah negara-negara berpenduduk mayoritas muslim terkesan sepi, termasuk dari Indonesia!" tegas Amir. 

"Alasan lumrahnya itu urusan dalam negeri Mesir. Atau lebih buruk lagi, negara-negara lain tutup mata karena Pemerintah Mesir telah melabeli Ikhwanul Muslimin sebagai teroris! Teroris, harus dibasmi semua negara!" "Para penguasa itu lupa justru rezim militer itu yang mengudeta Presiden Mursi dari Ikhwanul Muslimin hasil pemilihan umum sah di Mesir!" timpal Umar. 

"Tapi, malah pemerintahan hasil kudeta militer itu yang mereka dukung—bahkan dengan bantuan tunai belasan miliar dolar AS, seperti dari Arab Saudi, Qatar, Kuwait, dan Uni Emirat Arab!" "Gerakan organisasi masyarakat muslim dunia seperti demo protes ke kedutaan Mesir, tak terlihat di televisi!" tukas Amir. 

"Hanya demo rakyat Mesir sendiri setiap usai salat jumat yang muncul dalam berita televisi internasional, terutama Aljazeera! Sekali-sekali tayangan protes itu dikutip televisi berita Indonesia!" "Kasihan memang rakyat Mesir yang di akar rumputnya mayoritas pendukung Ikhwanul Muslimin!" timpal Umar. "Kini mereka menderita diintimidasi dan ditindas dengan tuduhan teroris!"
Selanjutnya.....

Lampung Memilih, Ridho Gubernur!


"HASIL hitung cepat sejumlah lembaga independen terhadap Pemilihan Gubernur Lampung menempatkan pasangan Ridho-Bachtiar menang dengan perolehan suara pada kisaran 44%," ujar Umar. "Meski belum resmi, kemenangan itu posisinya cukup kuat, meninggalkan pesaing terdekatnya pasangan Herman-Zainuddin lebih 10%, dengan suara pada kisaran 33%." 

"Penyatuan pilgub dan pemilu legislatif terbukti membuat persaingan pilgub terendam kesibukan pileg!" timpal Amir. "Saat mengikuti penghitungan suara di TPS, untuk pilgub yang umumnya dilakukan bakda magrib, ketika itu para petugas TPS dan saksi sudah kelelahan, warga jadi menahan diri dari emosinya! Seusai itu, warga bubar dengan tenang!" "Dan Lampung telah memilih Muhammad Ridho Ficardo, lahir 20 Juli 1980, sebagai gubernur!" tegas Umar.

"Pilihan yang luar biasa karena Ridho yang baru berusia 34 tahun dipilih lewat suara terbanyak dari 5.883.089 orang yang tercatat dalam daftar pemilih tetap (DPT). Ridho diberi kepercayaan untuk memimpin provinsi dengan penduduk sekitar 8 juta jiwa!" 

"Dengan adagium vox populi vok Dei—suara rakyat suara Tuhan—pilihan suara terbanyak itu harus diasumsikan yang terbaik—sebab hal itu tak lepas dari campur tangan Tuhan!" ujar Amir. "Jadi, soal usia itu bukan masalah! Kematangan tidak selalu tergantung usia! Dalam demokrasi justru sering suara kaum muda lebih kena dalam mengantisipasi zamannya, sehingga pandangan kaum muda—meski disampaikan lewat protes—yang kemudian jadi kenyataan!" 

"Lagi pula, dalam budaya politik modern, kearifan itu selalu buah dari proses demokrasi!" kata Umar. "Karena itu, setiap pelaku dalam budaya politik disebut aktor untuk menjabarkan segala yang bersifat teoretikal lewat suatu proses teatrikal—dialog! 

Dan itulah model formal kepemimpinan publik Indonesia, rakyat dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan!" "Jadi sudah bukan zamannya lagi bicara kearifan dalam kepemimpinan publik sebagai produk one man show!" tukas Amir. 

"Dalam perspektif demokrasi, kaum muda memang lebih cair! Untuk itu, pilihan warga Lampung pada gubernur termuda justru sesuai tuntutan zaman!" "Dalam perspektif kepemimpinan model budaya politik itu, kuncinya semangat keterbukaan pada Ridho, yang harus siap menerima masukan dan kritik!" tegas Umar. "Beda dengan pemimpin tua yang suka one man show, antikritik, tertutup—encapsulated autoritarian!"
Selanjutnya.....

Formasi Kekuasaan Politik Berubah!


"HASIL quick count Pemilu Legislatif 2014 berbagai lembaga menunjukkan adanya perubahan formasi kekuasaan politik di Tanah Air, dengan digesernya posisi Partai Demokrat dari puncak oleh PDIP yang meraih suara lebih 19%!" ujar Umar. 

"Partai Demokrat bahkan tersingkir dari 'tiga besar' yang ditempati oleh Golkar yang meraih 14,5%, dan Gerindra yang melesat dengan 12,24%!" "Partai Demokrat dengan perolehan 9,75% memimpin papan tengah (di bawah 10%) bersama PKB (9,15%), NasDem (7,88%), dan PAN (7,43%)," timpal Amir.

"Tiga partai lainnya yang lolos parliamentary threshold, PKS (6,59%), PPP (6,39%), dan Hanura (5,51%). PKB dan PAN meningkat dari perolehan Pemilu 2009 di atas 6%, juga Hanura naik dari 4%!" "Perlu ditegaskan hasil quick count itu bersifat sementara, tidak resmi, sedang hasil sahnya nanti selesai perhitungan manual oleh KPU!" tukas Umar. 

"Namun, sudah bisa diprediksi komposisi kekuasaan di parlemen dengan persentase tersebut! Kemungkinan terdekat, anggota parlemen dari Partai Demokrat di DPR tinggal separuhnya!" "Pengurangan jumlah anggota parlemen dari Partai Demokrat itu cukup dramatis!" entak Amir. 

"Di lain sisi akan masuk darah segar dari Partai NasDem sekitar 50 orang! Sebagai kekuatan politik dengan idealisme khas, diharapkan mereka bisa menjadi bara dinamika perubahan di parlemen yang memberi warna tersendiri budaya politik Indonesia ke masa depan!" 

"Terpenting dari hasil pemilu itu tentulah kembalinya PDIP ke puncak kekuasaan, mengulang suksesnya pada Pemilu 1999!" timpal Umar. "Pengalaman sepak terjang semua kadernya setelah memenangi Pemilu 1999 dengan 34% suara, tapi kalah dengan kemerosotan signifikan tinggal 19% pada 2004, perlu dijadikan bahan introspeksi untuk mengamalkan praktik politik prorakyat (wong cilik) yang sesungguhnya—bukan cuma retorika!" 

"Salah satunya yang harus dijaga dengan serius oleh setiap kader adalah jangan sampai terjerat kasus korupsi!" tegas Amir. "Sebagai partai terbesar, apalagi jika nantinya jadi partai berkuasa, sorotan ke arahnya jauh lebih tajam! 

Sehingga, tercemar korupsi sedikit saja pun akan merusak citra sekaligus kepercayaan pada partai! Bisa seperti Partai Demokrat, setiap kali menegaskan jumlah kadernya yang korupsi sedikit sekali dibanding partai lain, tapi tetap saja rakyat menghukumnya dengan mengurangi separuh kursinya di parlemen lewat Pemilu 2014!"
Selanjutnya.....

Peras Rumput Harapkan Santan!


"BANYAK orang untuk memperbaiki nasib malang mengulang-ulang pilihan sama, meski telah terbukti berulang-ulang ia melakukan itu harapannya tak terwujud!" ujar Umar. "Orang yang tak mau mengubah kebiasaan dan cara kerja lama yang telah terbukti tak menghasilkan itu, digambarkan seperti orang yang terus-terusan memeras rumput dengan berharap mendapatkan santan!" "


Hal yang mustahil, rumput mengeluarkan santan!" timpal Amir. "Juga mustahil caleg bisa mengubah nasib suatu masyarakat marginal jika selama lima tahun setelah jadi legislator ia tak pernah datang lagi menjenguk kaum marginal tersebut! Apalagi mengatasi masalahnya! Datang lagi sejenak cuma setiap menjelang pemilu, untuk mengulang janji lama!" "Celakanya, kondisi masyarakat marginal itu semakin buruk setiap kunjungannya menjelang pemilu, hingga harapannya untuk mendapatkan 'santan' jadi lebih besar pula!" tegas Umar.

"Sehingga, ketika mereka diberi rumput sama dan dijanjikan bisa mengeluarkan santan, mereka terima dan mereka peras ulang ramai-ramai!" "Kelompok masyarakat seperti itu layak digugah, disadarkan bahwa dalam pemilihan umum tersedia banyak pilihan!" tukas Amir. 

"Juga diingatkan dalam ajaran agama tegas dinyatakan bahwa nasib suatu kaum tidak akan berubah jika kaum itu sendiri tidak berusaha mengubahnya! Karena itu, berhentilah dari memeras rumput untuk mendapatkan santan! 

Cari dan pilihlah kelapa, yang jika diparut dan diperas bisa mengeluarkan santan!" "Disadarkan terutama soal uang Rp20 ribu sampai Rp100 ribu yang mereka terima tidaklah sebanding dengan penyia-nyiaan nasib diri dan keluarganya selama lima tahun ke depan!" timpal Umar. 

"Untuk itu, lupakan saja ucapan suruhan politikus saat membagikan uang tersebut! Gunakan akal sehat untuk membuat pilihan sesuai hati nurani di TPS! Jangan takut orang yang melakukan politik uang itu, sebab kalau diadukan dia terancam pidana!" 

"Kalau kurang informasi mengenai aneka pilihan yang tersedia, tanya atau bicara dengan teman-teman terdekat untuk mendapat gambaran sedikit lebih luas!" tegas Amir. "Soalnya, pemilu pengamalan dari kedaulatan setiap warga negara! Kalau kedaulatan itu hanya dihargai orang Rp20 ribu sampai Rp100 ribu, betapa rendahnya nilai kedaulatan rakyat! Jadi, politikus yang merendahkan kedaulatan rakyat begitu tak layak didukung untuk ikut mengelola negara!"
Selanjutnya.....

Operasi Fajar, 'Enak Sing Mbiyen'!


"OPERASI fajar itu istilah zaman Orde Baru. Orang menggedor rumah warga di akhir malam menjelang pemilu mengingatkan untuk mencoblos partai tertentu!" ujar Umar. "Awas kalau macem-macem! Begitu kata akhirnya, lalu pergi! Tanpa memberi uang atau sembako!" "Tapi, dengan begitu saja pun warga yang ketakutan rumahnya digedor itu akan mencoblos partai yang disebutkan! 

Tak berani macem-macem, takut risikonya!" timpal Amir. "Karena itu, bagi kalangan tertentu, masa lalu—sing mbiyen—itu lebih enak dibanding sekarang! Karena, untuk sekarang, diberi uang atau sembako sekalipun belum tentu orang yang menerima mau mencoblos gambar partai atau calon yang disebutkan si pemberi!"

"Donal Fariz dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Divisi Korupsi Politik (Kompas.com, 6/4) mengatakan politik uang (baik lewat operasi fajar, operasi siang, maupun operasi petang) sekarang kurang efektif!" tegas Umar. 

"Menurut hasil survei, ujarnya, ternyata hanya 18,1% warga yang terpengaruh oleh uang yang diberikan! Sedang 42,8% akan memilih sesuai keinginan mereka. Bahkan 21,1% tegas menyatakan tidak akan memilih kandidat yang melakukan politik uang!" "Namun, masyarakat cenderung semakin permisif terhadap politik uang!" tukas Amir. 

"Direktur Eksekutif Lembaga Survei Nasional (LSN) Umar S. Bakry (Antara, 5/4) mengungkap hasil surveinya, 69,1% responden mengaku bersedia menerima pemberian uang dari caleg atau parpol dalam Pemilu 2014. 

Padahal, pada Pemilu 2009 hasil survei LSN mencatat masih kurang 40% warga yang bersedia menerima. Tapi, 41,5% responden menyatakan meski mau menerima tidak akan memengaruhi pilihannya!" "Enak sing mbiyen—di zaman Orde Baru—itu terutama bagi elite partai politik!" timpal Umar. 

"Pemilihan kepala daerah dilakukan DPRD, sebab itu anggota Dewan itulah yang menikmati 'persaingan' antarcalon! Mereka yang sudah membuat ikatan pada salah satu calon dikarantina di hotel! Bahkan, hotelnya yang jauh dan dirahasiakan agar sang legislator tak terpengaruh lagi oleh tawaran lain!"

 "Dengan begitu, rakyat tak ada kaitannya dengan pemilihan kepala daerah! Karena itu, tak ada politik uang atau sembako pada rakyat dalam pemilukada!" tegas Amir. "Dalam pemilu legislatif juga yang dipilih partainya! Sedang calon terpilih berdasarkan nomor urut! Jadi caleg tak perlu bagi duit ke rakyat, tapi harus lebih dekat pada penentu nomor urut!"
Selanjutnya.....

Sindrom Politik Angin Duduk!


"SETIAP musim cuaca buruk tiba, hujan diiringi angin tidak menentu, Paman minta dikerokin karena dada dan ulu hatinya sakit!" ujar Umar. "Ia sebut penyakitnya musiman itu angin duduk!" "Pemerintah dan anggota parlemen kita juga, penyakit angin duduknya kambuh setiap menghadapi pemilu!" timpal Amir. 

"Angin duduk itu penyakit yang berulang pada kasus sama terkait UU yang sama! Mahkamah Konstitusi (MK), pada 2009, membatalkan sejumlah Pasal UU No. 10/2008 tentang Pemilu, yang membatasi penyiaran hasil survei dan penghitungan cepat (quick count). Namun, menjelang Pemilu 2014, mereka masukkan lagi isi sejenis pasal yang telah dibatalkan MK itu ke UU Pemilu baru, No. 8/2012! Jelas, dibatalkan MK lagi!"

"Itu betul-betul sindrom politik angin duduk!" sambut Umar. "Ternyata kalangan pemerintah dan parlemen cara berpikirnya masih tradisional, angin duduk itu hanya penyakit biasa yang cukup dengan kerokan buat menyembuhkannya! Sidang MK pun mereka anggap cuma sekelas kerokan!" "Padahal, dalam kedokteran modern apa yang lazim disebut angin duduk itu penyakit mematikan—waktunya hanya 15 sampai 30 menit!" tukas Amir. 

"Menurut guru besar FKUI Teguh Santoso (Kompas.com, 5/4), gejala yang sering disebut angin duduk itu sebenarnya sindrom serangan jantung koroner akut (SSJKA). Meskipun lewat kerokan bisa dikurangi gejalanya, tidak sedikit berakhir fatal!" 

"Tidak kalah serius bahaya sindrom politik angin duduk! Pemerintah yang sama (era Pemilu 2009 dan 2014) dan parlemen yang mayoritas orangnya sama, mengulang kesalahan sama secara priodik!" entak Umar. "Betapa bangsa dan negara mereka bawa hanya berputar-putar di lingkaran setan yang sama! 

Kenyataan demikian jelas berbahaya, bangsa-bangsa lain terus melangkah maju, sedangkan kita oleh pemerintah dan parlemen dibuat berputar terduduk dengan penyakit yang sama!" "Paling menyedihkan, survei dan hitung cepat terkait hasil pemilu itu cerminan kemajuan demokrasi dalam akomodasinya terhadap ilmu pengetahuan!" timpal Amir. 

"Melalui orientasi pada ilmu pengetahuan yang tidak henti berproses memperbarui diri itu, politikus dan birokrat juga bisa senantiasa ikut terbarukan pandangan dan cara berpikirnya! Sebaliknya, mereka yang menutup diri dari kemajuan ilmu pengetahuan, seperti bercokol dalam sindrom politik angin duduk, bisa terjebak dalam lingkaran setan yang sama dari pemilu ke pemilu!" *
Selanjutnya.....

MK Batalkan Empat Pilar Berbangsa!


"MK--Mahkamah Konstitusi--membatalkan Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara yang terkandung dalam Pasal 34 ayat (3b) huruf a UU Nomir 2/2011 tentang Partai Politik!" ujar Umar. "Frasa tersebut, menurut ketua majelis hakim Hamdan Zoelva, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat!" (Antara, 4-4) "Empat Pilar dimaksud Pancasila, NKRI, Bhineka Tunggal Ika, dan UUD 1945, selama ini disosialisasikan oleh MPR, dari tayangan televisi sampai seminar!" timpal Amir. 

 "Bahkan pasal UU yang diuji materi menyebut parpol wajib mensosialisasikan Empat Pilar Kebangsaan yang menjadikan Pancasila sejajar dengan pilar lainnya!" "Menempatkan Pancasila sejajar dengan pilar-pilar lainnya itulah yang dikoreksi MK!" tegas Umar.

"Secara konstitusional Pembukaan UUD 1945 mendudukkan Pancasila sebagai dasar negara, jelas MK. Sebagai dasar negara, Pancasila secara normatif harus menjadi fundamen penyelenggaraan Pemerintahan Negara Indonesia yang berfungsi memberikan perlindungan , penyejahteraan, pencerdasan, dan berpartisipasi dalam ketertiban dunia!" 

"Masih kutipan dari putusan MK, Pancasila memiliki kedudukan yang tersendiri dalam kerangka berpikir bangsa dan negara Indonesia berdasarkan konstitusi yaitu di samping sebagai dasar negara juga sebagai dasar filosofi negara, norma fundamental negara, ideologi negara, cita hukum negara dan sebagainya!" tukas Amir. 

 "Karena itu, menempatkan Pancasila sebagai salah satu pilar bisa mengaburkan posisi Pancasila dalam arti sedemikian!" "Tentu rakyat menyambut gembira pengembalian Pancasila sebagai dasar negara ketimbang cuma jadi salah satu pilar!" timpal Umar. 

 "Tapi itu menyingkap pemerintah dan anggota DPR yang membuat UU sama sekali tidak memahami epistemologi, ontologi, dan aksiologi Pancasila sebagai dasar negara! Artinya, pendidikan politik yang bersifat filosofis masih diperlukan bagi para politisi dan birokrat di eksekutif maupun legislatif!

 Terbukti dengan kapasitas pemahaman terbatas itu mereka telah merendahkan Pancasila, menempatkannya sekadar sebagai salah satu pilar!" "Ironis! Para politisi dan birokrat itu seharusnya menjadi teladan, model untuk dicontoh dalam pendidikan politik! 

Tapi nyatanya malah begitu" tukas Amir. "Semua itu menjadi pelajaran berharga bagi rakyat saat memilih pemimpin dan wakil-wakilnya untuk menyelenggarakan kehidupan berbangsa dan bernegara!" ***
Selanjutnya.....

Kesenjangan Pendapatan Melebar!


"KESENJANGAN pendapatan di Indonesia dalam 10 tahun ini makin lebar signifikan, dari indeks gini 0,340 pada 2003 menjadi 0,413 pada 2013," ujar Umar. "Artinya yang kaya tambah kaya, sedang yang miskin makin melarat, seperti contoh dari guru besar IPB Dwi Andreas Santosa, 2003 ke 2013 sebanyak 5,1 juta rumah tangga petani kehilangan lahan pertanian 1.000 meter persegi yang semula mereka miliki!" (Kompas, 3/4) "

Orang kaya makin kaya terlihat dari hasil Sensus Pertanian 2013, sejumlah 1,6% dari kelompok pemilik tanah berlahan luas (lebih dari 5 hektare) menguasai separuh lahan yang tercatat secara nasional!" timpal Amir. "Pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi rata-rata 6% per tahun itu lebih dinikmati kalangan kelas menengah ke atas hingga jalanan di kota-kota besar macet oleh pesatnya pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor yang menghabiskan subsidi BBM!"

"Di lain sisi, industri manufaktur yang padat karya macet—bahkan terjadi proses deindustrialisasi! Itu diiringi lemahnya pembangunan pertanian hingga 39 jenis komoditas pangan dicukupi dari impor! Akibatnya jumlah warga yang hidup di bawah garis kemiskinan pada 2013 naik, dari 28,07 juta jiwa pada Maret, menjadi 28,55 juta jiwa pada September!" tegas Umar. 

"Garis kemiskinan yang diterapkan juga jauh di bawah garis kemiskinan fatal Bank Dunia pada pendapatan 1,5 dolar AS/jiwa/hari, yakni konsumsi Rp292.951/jiwa/bulan yang dengan kurs Rp12 ribu/dolar saat itu berarti hanya 82 sen dolar AS per hari!" 

 "Secara praktis berarti yang kian menguat dalam realitas kehidupan bangsa justru ketimpangan dan ketidakadilan sosial, bertentangan dengan cita-cita proklamasi kemerdekaan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia!" timpal Amir. 

"Untuk mengembalikan perjalanan bangsa ke arah yang benar menurut cita-cita kemerdekaan, Pemilu 2014 harus bisa menghasilkan pemerintahan baru yang benar-benar prorakyat miskin dengan kebijakan yang menguntungkan kaum miskin—bukan kebijakan yang menghabisi pemilikan tanah jutaan keluarga miskin hingga malah menambah jumlah orang miskin! 

Artinya, prorakyat bukan hanya dalam pencitraan dan retorika belaka seperti selama ini!" "Pemerintahan yang mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi berkualitas untuk mengentas 7,39 juta orang penganggur terbuka!" tegas Umar. "Membangun dengan benar industri manufaktur padat karya dan pertanian pangan—dua sektor yang morat-marit dekade terakhir!"
Selanjutnya.....

Anggaran Bansos Justru Meningkat!


"MESKIPUN Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengingatkan pemerintah untuk moratorium dana bantuan sosial (bansos) karena rawan disalahgunakan selama pemilu, ternyata anggaran bansos justru naik!" ujar Umar. "Menurut data Kementerian Dalam Negeri 2014, kenaikan ada yang hingga Rp56 miliar itu terjadi di delapan provinsi: Aceh, Jambi, Banten, Jawa Tengah, Sulawesi Barat, Sulut, Bali, dan Gorontalo." (Kompas.com, 3/4) 

"Dana bansos digolongkan Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas soft corruption, yang menguntungkan kepentingan pelakunya, bentuknya tidak selalu dalam nominal uang!" timpal Amir. "Dalam hal korupsi dana bansos, uangnya disalurkan ke kelompok tertentu yang dikoordinasi untuk mendukung kepentingan politik tertentu! Alirannya yang populis, langsung ke kelompok tertentu itu, menjadikan bansos rawan bagi kepentingan politis!"

"Namun, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menegaskan dana bansos yang dianggarkan daerah setiap tahun terus diawasi sejauh mana implementasi dan penerapannya!" ujar Umar. "Permendagri No. 32/2011 dan No. 39/2012 tentang Dana Bansos berusaha mengatur penggunaan dana secara ketat!" 

"Itu formalnya! Realitas penggunaannya di lapangan, masyarakat daerah sudah maklum adanya bagaimana yang terjadi, terutama sekitar waktu pemilu kepala daerah!" tegas Amir. "Kenyataan yang bukan rahasia lagi bagi masyarakat itulah yang jadi dorongan bagi KPK dan lembaga-lembaga antikorupsi untuk mengingatkan pemerintah bahaya dana bansos selama masa pemilu!" 

"Potensi penyalahgunaan dana bansos itu, menurut Abdullah Dahlan dari Indonesia Corruption Watch (ICW), tidak terlepas dari besarnya kewenangan kepala daerah untuk mendistribusikan dana tersebut ke masyarakat!" timpal Umar. 

"Peningkatan bansos pada tahun pemilu mengindikasikan desain untuk penyalahgunaan anggaran sudah ada sejak awal!" "Akibat penyalahgunaan dana bansos untuk pemilu dan pemilukada itu adalah realitas demokrasi yang tidak adil" tegas Amir. 

"Proses yang tidak adil, tidak bisa diharapkan menghasilkan kekuasaan yang adil! Kekuasaan tidak adil itu buruk sehingga membuat rakyat berharap mendapatkan kebaikan lewat proses yang didesain dengan keburukan! Tidak mustahil jika rakyat cuma dapat kesia-siaan! Andaipun ada kebaikan yang diangkat dan ditonjolkan, bentuknya mungkin retorika atau hyperreality—realitas semu hasil tayangan media yang intens!"
Selanjutnya.....

Metode Bergeser ke Soft Corruption!


"METODE korupsi di Indonesia bergeser dari cara konvensional dan vulgar, seperti suap-menyuap, ke soft corruption yang canggih, yakni melalui kebijakan yang sah!" ujar Umar. "Menurut Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas, soft corruption yang dilakukan dalam bentuk kebijakan yang sah akan menghasilkan keuntungan bagi pelaku yang cenderung berbentuk kepentingan, tidak selalu berupa nominal uang!" (Kompas.com, 2/4) 

"Pernyataan Busyro itu bertentangan dengan pendapat Presiden SBY dalam jamuan makan malam dengan pemimpin redaksi dan wartawan senior beberapa waktu lalu, yang menegaskan kebijakan tidak bisa diadili!" timpal Amir. "Namun, kata SBY, jika ada implementasi dari kebijakan itu yang menyimpang, dapat dipidanakan! Maksud di balik pernyataan SBY itu kebijakan bailout Bank Century, yang kebijakannya diusut KPK!"

"Salah satu karakteristik metode ini, kata Busyro, kebijakan lebih dahulu dibuatkan infrastruktur!" tukas Umar. "Intinya, suatu kebijakan bisa diadili jika di dalamnya ada penyalahgunaan wewenang!" "Dalam kasus Century infrastrukturnya apa dan penyalahgunaan wewenangnya di mana?" kejar Amir.

 "Infrastrukturnya pada penetapan Century sebagai bank gagal berdampak sistemik dan kondisi ekonomi Indonesia kritis akibat krisis global sehingga pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) kepada Century untuk menyelamatkan ekonomi nasional dari krisis global merupakan tindakan yang mulia!" jawab Umar. 

"Namun, ada penyalahgunaan wewenang yang tersembunyi di balik pemberian FPJP kepada bank kecil yang dinilai KPK tidak layak mendapatkan fasilitas tersebut dengan dalih menyelamatkan keuangan negara!" "Apa standar KPK menilai tidak layak-mendapat fasilitas itu?" potong Amir. 

"Dengan mengubah ketentuan agar seolah-olah memenuhi syarat, menurut Busyro, adalah bentuk penyalahgunaan kewenangan yang bersembunyi di balik kebijakan!" tukas Umar. "Delik korupsi juga terlihat dari tindakan pihak-pihak tertentu yang menutup-nutupi keadaan sebuah bank, membiarkan terjadinya penyimpangan, tidak bertindak tegas, membuat analisis seolah-olah sistemik, menyajikan data yang tidak sebenarnya, mengajukan besaran kebutuhan dana yang seolah-olah kecil supaya disetujui, padahal setelah disetujui dana yang diajukan membengkak!" 

"Setop!" entak Amir. "Semua itu kan masih harus dibuktikan KPK di pengadilan!"
Selanjutnya.....

Kampanye Idealnya Mencerdaskan!


"KAMPANYE pemilu legislatif tinggal tiga hari lagi. Tapi sejauh ini dari pantauan di media, sedikit sekali isi pidato kampanye yang mencerdaskan!" ujar Umar. "Padahal, sutradara Garin Nugroho dalam Malakama Presiden Baru (Kompas, 30/3) menulis saatnya mengubah pemilih melodramatik serta serbacinta monyet menjadi masyarakat rasional-kritis!"

 "Kebanyakan justru mengulang janji-janji kampanye masa lalu yang tidak kunjung berhasil diwujudkan!" timpal Amir. "Atau menyindir bahkan menuding keburukan lawan politiknya! Gemuruh kampanye pun hanya menghabiskan energi dan waktu rakyat konstituen tanpa mendapatkan pencerahan politik untuk menapak benar ke masa depan yang lebih baik!"

"Garin mencemaskan jika pemilu tak menghasilkan presiden yang mumpuni, Indonesia pasca-2018 terjebak situasi 'terjun bebas', suatu krisis besar berbasis energi, pangan, dan hilangnya produktivitas berbangsa, bahkan akan mampu menyulut kerusuhan sosial!" tegas Umar.

"Hal itu terjadi, menurut Garin, karena presiden beserta kabinet hingga DPR dari periode ke periode sebelum 2014 menjalankan kebijakan politik populer di mata masyarakat, yang mengacu pada kestabilan dan pertumbuhan ekonomi seumur periode berkuasanya!" "Contohnya aspek ketahanan pangan pascareformasi terbaca 39 jenis hasil bumi diimpor (beras, garam, kedelai, dsb.)," timpal Amir.

"Akibatnya, dampak besar melemahnya produktivitas pangan lokal akan dibebankan kepada presiden baru pasca-2014. Karena itu, tulis Garin, presiden pasca-2014 akan memegang bola api panas berbagai persoalan energi dan pangan serta produktivitas lokal!" "Untuk itu jelas, kampanye seharusnya menjadi medium mencerdaskan rakyat agar mampu mengkritisi tantangan bola api panas tinggalan para pemimpin pra-2014!" tukas Umar.

 "Namun, bukan hanya kebanyakan politisi susah mengubah kebiasaan lama! Revolusi teknologi informasi yang demikian canggih juga tak diikuti peningkatan kualitas konten komunikasi politik! Sebaliknya, konten komunikasi politik semakin kuno, basi, dan vulgar!

Komunikasi politik menjadi ajang fitnah dan saling hujat, kehilangan esensinya sebagai teladan karakter bangsa yang berbudi luhur!" "Mencari tokoh pilihan (Satrio Piningit) di tumpukan pemimpin yang layak dilupakan itu, tak beda mencari jarum di tumpukan jerami!" timpal Amir.

"Tapi bagi massa yang rasional-kritis, dalam tumpukan sampah justru lebih mudah mencari berlian yang berkilau cemerlang!"
Selanjutnya.....

Satinah, Masalah Perlindungan TKI!


"JADWAL 3 April 2014 eksekusi hukuman mati Satinah, TKI terpidana membunuh majikannya di Arab Saudi, diundur dua tahun!" ujar Umar. "Itu sejalan dengan pengunduran waktu pembayaran diat (uang tebusan) yang berhasil dicapai Tim Khusus Pemerintah dipimpin Maftuh Basyuni di Arab Saudi. Namun, tim belum melaporkan hasil negosiasi pengurangan nilai diat dari keluarga korban!" (Kompas.com, 29/3)

 "Eksekusi hukuman mati Satinah diundur tiga kali sejak divonis 2009!" timpal Amir. "Konsekuensi pengunduran itu, setiap keluarga korban menaikkan nilai diatnya. Dari diat pertama 3 juta riyal (Rp9 miliar), naik jadi 7 juta riyal (Rp21 miliar), dan terakhir jadi 10 juta riyal (Rp30 miliar). Kini setelah Tim Pemerintah RI turun, berharap keluarga tidak lagi menaikkan diat untuk membebaskan Satinah dari eksekusi, tapi justru diminta menurunkan!"

"Melegakan juga dengan Tim Pemerintah turun jadwal eksekusi Satinah diundur dua tahun!" tegas Umar. "Mungkin kalau perhatian pemerintah lebih cepat, selain diatnya tak sempat membengkak seperti sekarang, nilainya juga tak terlalu besar untuk diatasi!" 

 "Mungkin sudah takdirnya, kasus Satinah mencuatkan masalah perlindungan TKI di luar negeri yang tak pernah selesai!" timpal Amir. "Bisa saja Disnaker Kabupaten Semarang membuat pengumpulan dana 'Koin untuk Satinah', demikian pula Migran Care di Jakarta! Tapi itu tak menyelesaikan masalah perlindungan TKI yang tak henti menimbulkan masalah baru!" 

 "Padahal secara resmi ada Konsorsium Asuransi Perlindungan TKI, yang mengutip preminya sekitar Rp400 ribu per orang setiap TKI mau berangkat!" tegas Umar. "Jadi, hanya soal pengaturannya oleh pemerintah, selain perlindungan perorangan secara standar, juga ada dana yang disisihkan dari situ untuk menangani kasus-kasus khusus! 

Tak salah pula kalau ada dana dari anggaran negara diplot ke pos darurat pahlawan devisa itu!" "Masalahnya terletak pada cara berpikir dan bertindak pemerintah kita yang tidak mrantasi—menyelesaikan masalah tuntas dan komprehensif!" kata Amir. 

"Kata tuntas sering hanya bertubi-tubi dalam retorika, sedang praktiknya masalahnya justru semakin kusut-masai saja!" "Seperti perlindungan TKI, banyak TKI telantar di luar negeri tidak terkover oleh aturan mekanisme kerja BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia) dan Konsorsium Asuransi Perlindungan TKI!" timpal Umar. "Masalah TKI jadi tak pernah selesai!" ***
Selanjutnya.....