AS—Amerika Serikat—akan menjalankan program resettlement (penempatan baru) pengungsi Rohingya di kawasan Asia Tenggara termasuk yang terdampar di Indonesia.
Anne C Richard, asisten Menlu AS bidang kependudukan, pengungsi, dan migran, mengatakan di Jakarta seusai bertemu Wapres Jusuf Kalla, Rabu (3/6), program itu akan dirampungkan dalam satu tahun.
(Kompas.com, 3/6) Menurut Anne, AS juga mendorong Asia Tenggara, terutama Myanmar, untuk mendiskusikan solusi masalah pengungsi Rohingya. AS mengapresiasi kebijakan Indonesia menampung para pengungsi tersebut setelah diselamatkan nelayan Aceh. Mengenai jangka waktu penampungan yang disepakati Indonesia, Anne berjanji pihaknya akan membantu agar proses resettlement dan repatriasi (pemulangan) selesai dalam setahun.
Meski, menurut dia, proses resettlement biasanya memerlukan waktu lebih dari setahun. "Kami bicara apa yang bisa dilakukan AS untuk membantu host (tuan rumah) pengungsi, tradisi yang kami lakukan. Kami biasanya butuh waktu 18—24 bulan, tapi saya didorong bos saya untuk mempercepat prosesnya," ujarnya. Dalam dua tahun terakhir, AS telah melakukan resettlement 70 ribu orang pengungsi Burma (Myanmar) setiap tahunnya.
Sebagian kecil dari pengungsi Burma itu suku Rohingya. Ini terjadi karena sebelum konflik diskriminatif atas Rohingya, sudah lebih dahulu terjadi terhadap kelompok politik penentang rezim militer. Justru ketika demokrasi mulai tumbuh dan AS mulai memberi bantuan kepada negara itu, pecah konflik diskriminstif terhadap suku Rohingya.
Negeri-negeri tetangganya pun—Thailand, Indonesia, dan Malaysia—terimbas limpahan manusia perahu yang melarikan diri dari kekerasan SARA. Datangnya kepastian AS membantu Indonesia menyelesaikan pengungsi Rohingya tentu melegakan karena kondisi realistis Indonesia sendiri sebenarnya masih kurang baik.
Itu alasan pihak militer kita pada awalnya menolak untuk menolong pengungsi Rohingya karena rakyat Indonesia sendiri masih banyak yang nenderita serbakekurangan hidup di bawah garis kemiskinan. Dengan bantuan AS itu, pengungsi Rohingya tak nemberatkan Pemerintah RI lagi.
Lebih-lebih AS dalam menanganinya bekerja sama dengan International Organization of Migration (IOM) dan Komisi Tinggi PBB urusan pengungsi (UNHCR), masalah teknis resettlement dan repatriasi pun ditangani oleh yang berpengalaman. Ke depan, pemerintah tak perlu lagi menunggu fait accompli dari nelayan untuk memberi bantuan kemanusiaan jika ada kasus serupa. ***
(Kompas.com, 3/6) Menurut Anne, AS juga mendorong Asia Tenggara, terutama Myanmar, untuk mendiskusikan solusi masalah pengungsi Rohingya. AS mengapresiasi kebijakan Indonesia menampung para pengungsi tersebut setelah diselamatkan nelayan Aceh. Mengenai jangka waktu penampungan yang disepakati Indonesia, Anne berjanji pihaknya akan membantu agar proses resettlement dan repatriasi (pemulangan) selesai dalam setahun.
Meski, menurut dia, proses resettlement biasanya memerlukan waktu lebih dari setahun. "Kami bicara apa yang bisa dilakukan AS untuk membantu host (tuan rumah) pengungsi, tradisi yang kami lakukan. Kami biasanya butuh waktu 18—24 bulan, tapi saya didorong bos saya untuk mempercepat prosesnya," ujarnya. Dalam dua tahun terakhir, AS telah melakukan resettlement 70 ribu orang pengungsi Burma (Myanmar) setiap tahunnya.
Sebagian kecil dari pengungsi Burma itu suku Rohingya. Ini terjadi karena sebelum konflik diskriminatif atas Rohingya, sudah lebih dahulu terjadi terhadap kelompok politik penentang rezim militer. Justru ketika demokrasi mulai tumbuh dan AS mulai memberi bantuan kepada negara itu, pecah konflik diskriminstif terhadap suku Rohingya.
Negeri-negeri tetangganya pun—Thailand, Indonesia, dan Malaysia—terimbas limpahan manusia perahu yang melarikan diri dari kekerasan SARA. Datangnya kepastian AS membantu Indonesia menyelesaikan pengungsi Rohingya tentu melegakan karena kondisi realistis Indonesia sendiri sebenarnya masih kurang baik.
Itu alasan pihak militer kita pada awalnya menolak untuk menolong pengungsi Rohingya karena rakyat Indonesia sendiri masih banyak yang nenderita serbakekurangan hidup di bawah garis kemiskinan. Dengan bantuan AS itu, pengungsi Rohingya tak nemberatkan Pemerintah RI lagi.
Lebih-lebih AS dalam menanganinya bekerja sama dengan International Organization of Migration (IOM) dan Komisi Tinggi PBB urusan pengungsi (UNHCR), masalah teknis resettlement dan repatriasi pun ditangani oleh yang berpengalaman. Ke depan, pemerintah tak perlu lagi menunggu fait accompli dari nelayan untuk memberi bantuan kemanusiaan jika ada kasus serupa. ***
0 komentar:
Posting Komentar