SEKITAR 5,4 juta anak usia bawah lima tahun (balita) di Indonesia kini menderita gizi buruk.
Kondisi itu berakibat ke masa depan kemampuan fisik dan intelektual mereka rendah. Menurut Menteri Sosial Kofifah Indar Parawansa (Kompas.com, 31/5), jika Indonesia mendapat bonus demografi 2020, hal itu akan menjadi ancaman dalam mewujudkan generasi emas pada 100 tahun kemerdekaan RI—2045.
Kenyataan negeri kita punya balita bergizi buruk sebanyak itu, sejuta lebih banyak dari penduduk negara tetangga kita, Singapura, mengejutkan juga. Sebab, selama ini kalau pers menemukan seorang dua saja balita bergizi buruk di sebuah kabupaten, kepala daerahnya sewot dan ada yang langsung melakukan kontra isu menutupi faktanya. Karena itu, jumlah balita bergizi buruk terus bertambah dengan pesat.
Sikap sementara kepala daerah alergi terhadap informasi balita bergizi buruk di daerahnya itu berlatar anggapan bahwa penyebab merebaknya balita bergizi buruk itu adalah kelalaian para pemimpin daerahnya—terutama eksekutif dan legislatif yang mengelola anggaran. Mereka lebih mengutamakan kepentingan kelompok elite dengan melupakan kepentingan rakyat miskin di lapisan sosial terbawah. Dibanding anggaran untuk kepentingan elite, seperti membeli mobil dinas berkelas cruiser, anggaran untuk lapisan sosial terbawah itu relatif jauh dari memadai. Malah, kalaupun ada, dengan jumlah terbatas dalam anggaran bantuan sosial (bansos), rawan dikorupsi untuk kepentingan politik elite berkuasa.
Untuk mengelak dari tanggung jawab atas nasib anak balita rakyat melarat itu, kalangan elite beretorika tentang kurangnya pengetahuan gizi di kalangan rakyat sehingga tidak memberikan asupan gizi yang cukup dalam makanan anak mereka. Tepatnya, retorika elite itu menegaskan karena kebodohan ibunyalah maka anaknya menderita gizi buruk. Padahal, kenyataannya, karena kondisi ekonomi rakyat amat buruk akibat kurangnya perhatian elite dalam membangun daerahnya, kondisi kesehatan fisik rakyatnya jadi amat rentan.
Kekurangan asupan gizi bahkan dialami oleh ibu yang sedang mengandung sehingga kondisi gizi buruk dialami bayi sejak dalam kandungan. Karena itu, untuk mengatasi krisis gizi buruk atas 5,4 juta balita Indonesia, hanya sukses program yang fokus meningkatkan kesejahteraan warga termiskin menjadi kuncinya. Tak perlu lebih repot meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang hasilnya cuma lebih dinikmati kaum kapitalis, sedang jumlah balita bergizi buruk justru bertambah! ***
Kenyataan negeri kita punya balita bergizi buruk sebanyak itu, sejuta lebih banyak dari penduduk negara tetangga kita, Singapura, mengejutkan juga. Sebab, selama ini kalau pers menemukan seorang dua saja balita bergizi buruk di sebuah kabupaten, kepala daerahnya sewot dan ada yang langsung melakukan kontra isu menutupi faktanya. Karena itu, jumlah balita bergizi buruk terus bertambah dengan pesat.
Sikap sementara kepala daerah alergi terhadap informasi balita bergizi buruk di daerahnya itu berlatar anggapan bahwa penyebab merebaknya balita bergizi buruk itu adalah kelalaian para pemimpin daerahnya—terutama eksekutif dan legislatif yang mengelola anggaran. Mereka lebih mengutamakan kepentingan kelompok elite dengan melupakan kepentingan rakyat miskin di lapisan sosial terbawah. Dibanding anggaran untuk kepentingan elite, seperti membeli mobil dinas berkelas cruiser, anggaran untuk lapisan sosial terbawah itu relatif jauh dari memadai. Malah, kalaupun ada, dengan jumlah terbatas dalam anggaran bantuan sosial (bansos), rawan dikorupsi untuk kepentingan politik elite berkuasa.
Untuk mengelak dari tanggung jawab atas nasib anak balita rakyat melarat itu, kalangan elite beretorika tentang kurangnya pengetahuan gizi di kalangan rakyat sehingga tidak memberikan asupan gizi yang cukup dalam makanan anak mereka. Tepatnya, retorika elite itu menegaskan karena kebodohan ibunyalah maka anaknya menderita gizi buruk. Padahal, kenyataannya, karena kondisi ekonomi rakyat amat buruk akibat kurangnya perhatian elite dalam membangun daerahnya, kondisi kesehatan fisik rakyatnya jadi amat rentan.
Kekurangan asupan gizi bahkan dialami oleh ibu yang sedang mengandung sehingga kondisi gizi buruk dialami bayi sejak dalam kandungan. Karena itu, untuk mengatasi krisis gizi buruk atas 5,4 juta balita Indonesia, hanya sukses program yang fokus meningkatkan kesejahteraan warga termiskin menjadi kuncinya. Tak perlu lebih repot meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang hasilnya cuma lebih dinikmati kaum kapitalis, sedang jumlah balita bergizi buruk justru bertambah! ***
0 komentar:
Posting Komentar