PRESIDEN Joko Widodo (Jokowi) menambah subsidi bunga kredit untuk rakyat (KUR) sebesar Rp600 miliar,
dari semula di APBNP 2015 Rp400 miliar, sehingga totalnya genap jadi Rp1 triliun.
Dengan tambahan subdidi itu, bunga KUR yang semula 22% per tahun diturunkan 10% menjadi 12%, ujar Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro (detik-Finance, 17/6). Presiden baru tahu bunga KUR yang disalurkan bank milik pemerintah kepada usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) itu suku bunganya malah jauh lebih tinggi dari kredit investasi atau modal kerja yang diterima perusahaan besar, bahkan dari bank swasta sekalipun, di kisaran 15%—18%.
Apalagi, kredit di negara maju yang bunganya sekitar 6%. Jadi, jelas dengan biaya modal yang jauh lebih berat UMKM, kita akan selalu kalah bersaing di dalam dan luar negeri. Dengan bunga yang relatif lebih moderat dengan 12% per tahun mulai Juli nanti, diharapkan beban usaha UMKM menjadi lebih ringan sehingga bisa lebih lincah beroperasi.
Namun, kenyataan selama ini, UMKM dibebani bunga bank yang sedemikian tinggi jelas cukup mengherankan. Strategi apa sebenarnya yang diterapkan pemerintah terdahulu di balik retorikanya yang nyaring membantu UMKM—tapi nyatanya seperti itu? Betapa sejauh ini sama dimaklumi UMKM merupakan benteng terakhir perekonomian Indonesia ketika dilanda krisis moneter 1997.
Perusahaan-perusahaan raksasa dan bank-bank nasional kala itu tumbang! Tapi UMKM tetap menggeliat dan bertahan hidup memutar roda kehidupan perekonomian bangsa. Sangat disayangkan, di balik sistem neoliberalisme yang dikendalikan pemerintah terdahulu dengan memberi serba-kemudahan kepada usaha-usaha besar terutama yang berorientasi asing, malah UMKM yang dicekik dengan bunga bank yang amat tinggi.
Untuk selanjutnya, diharapkan masalah keringanan bunga bank buat UMKM ini bisa menjadi perhatian khusus pemerintah lewat mekanisme APBN, juga pemerintah daerah yang mengelola bank pembangunan daerah maupun bank syariah milik pemda. Tentu, selain keringanan bunga, juga tak kalah pentingnya keringanan persyaratan mendapatkan kredit murah untuk rakyat.
Artinya, pemerintah diharapkan menyinak kembali segala persyaratan yang berlaku untuk memperoleh kredit murah tersebut dan pelaksanannya, sehingga tujuan programnya untuk membangkitkan ekonomi rakyat dan menciptakan pemerataan bisa terwujud. Jadi, tidak boleh terulang, hanya dalam retorika membantu ekonomi rakyat, tapi realitas di baliknya justru mencekik rakyat! ***
Dengan tambahan subdidi itu, bunga KUR yang semula 22% per tahun diturunkan 10% menjadi 12%, ujar Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro (detik-Finance, 17/6). Presiden baru tahu bunga KUR yang disalurkan bank milik pemerintah kepada usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) itu suku bunganya malah jauh lebih tinggi dari kredit investasi atau modal kerja yang diterima perusahaan besar, bahkan dari bank swasta sekalipun, di kisaran 15%—18%.
Apalagi, kredit di negara maju yang bunganya sekitar 6%. Jadi, jelas dengan biaya modal yang jauh lebih berat UMKM, kita akan selalu kalah bersaing di dalam dan luar negeri. Dengan bunga yang relatif lebih moderat dengan 12% per tahun mulai Juli nanti, diharapkan beban usaha UMKM menjadi lebih ringan sehingga bisa lebih lincah beroperasi.
Namun, kenyataan selama ini, UMKM dibebani bunga bank yang sedemikian tinggi jelas cukup mengherankan. Strategi apa sebenarnya yang diterapkan pemerintah terdahulu di balik retorikanya yang nyaring membantu UMKM—tapi nyatanya seperti itu? Betapa sejauh ini sama dimaklumi UMKM merupakan benteng terakhir perekonomian Indonesia ketika dilanda krisis moneter 1997.
Perusahaan-perusahaan raksasa dan bank-bank nasional kala itu tumbang! Tapi UMKM tetap menggeliat dan bertahan hidup memutar roda kehidupan perekonomian bangsa. Sangat disayangkan, di balik sistem neoliberalisme yang dikendalikan pemerintah terdahulu dengan memberi serba-kemudahan kepada usaha-usaha besar terutama yang berorientasi asing, malah UMKM yang dicekik dengan bunga bank yang amat tinggi.
Untuk selanjutnya, diharapkan masalah keringanan bunga bank buat UMKM ini bisa menjadi perhatian khusus pemerintah lewat mekanisme APBN, juga pemerintah daerah yang mengelola bank pembangunan daerah maupun bank syariah milik pemda. Tentu, selain keringanan bunga, juga tak kalah pentingnya keringanan persyaratan mendapatkan kredit murah untuk rakyat.
Artinya, pemerintah diharapkan menyinak kembali segala persyaratan yang berlaku untuk memperoleh kredit murah tersebut dan pelaksanannya, sehingga tujuan programnya untuk membangkitkan ekonomi rakyat dan menciptakan pemerataan bisa terwujud. Jadi, tidak boleh terulang, hanya dalam retorika membantu ekonomi rakyat, tapi realitas di baliknya justru mencekik rakyat! ***
0 komentar:
Posting Komentar