DANA asing sebesar Rp20,38 triliun kabur dari Bursa Efek Indonesia (BEI) sejak Maret 2015 sampai Selasa (9/6), ketika IHSG terperosok ke bawah level psikologis 5.000.
Itu separuh dari dana asing yang masuk BEI sepanjang 2014 sebesar Rp40 triliun.
Selasa itu IHSG ditutup pada 4.899,88, melorot 115,11 poin atau 2,29%, menjadi antiklimaks dari pencapaian rekor IHSG sepanjang sejarah 5.500 pada 7 April 2015—yang disaksikan Presiden Jokowi dengan kunjungan ke BEI. "Keluarnya dana global dari aset berisiko merupakan fenomena global market mengantisipasi kenaikan tingkat bunga The Fed," kata David Sutyanto, analis First Asia Capital, Rabu. (detik-Finance, 10/6)
Kepastian naiknya suku bunga The Fed dari acuan 0,25% selama ini ditentukan pekan depan dengan pertimbangan berdasar hasil rapat FOMC—Federal Open Market Committe. Awal pekan ini dilaporkan hasil survei JOLTS—Job Openings and Labor Turnover Survey—banyak lowongan pekerjaan yang dibuka di pasar tenaga kerja AS, ditopang oleh pelaku usaha kecil yang banyak menyerap karyawan. Sejumlah analis menyatakan hal itu merupakan "tekanan" bagi Federal Reserve untuk segera menaikkan suku bunga acuannya. (Kompas.com, 10/6)
Kalau laporan ketenagakerjaan AS yang positif dan stabilnya dolar itu di Indonesia merontokkan IHSG dan nilai tukar rupiah yang Selasa (9/6) sempat menyentuh Rp13.400/dolar AS, di Jepang sebaliknya, justru faktor yang sama memperkuat bursa Tokyo, juga baik bagi ekonomi Jepang secara umum sehingga Senin (8/6) pertumbuhan ekonomi Jepang kuartal I 2015 dikoreksi menjadi 3,9% dari prediksi semula 2,4%. (Metro TV, 9/6) Jepang mampu menarik benefit membaiknya ekonomi AS dan stabilnya dolar berkat sumber dana domestik yang kuat sehingga ekonominya tidak tergantung pada investasi asing.
Sedang dengan industri yang kuat, Jepang bisa memanfaatkan AS sebagai pasar ekspornya dengan daya saing yang tangguh. Becermin pada Jepang itu, Indonesia bisa tak hanya meratapi kaburnya dana asing dari pasar modal, tapi menggenjot ekspornya ke AS dengan berbagai komoditas unggulan dari udang sampai tekstil. Dengan itu devisa yang ditransfer dalam repatriasi dolar AS lewat penjualan bersih di BEI itu, mendapat pengganti dari devisa hasil ekspor. Usaha mencari kompensasi dana asing yang kabur lewat devisa ekspor bukan mustahil. Sebab, dana Rp20 triliun itu dengan kurs Rp13.300/dolar AS, cuma 1,5 miliar dolar AS, nilai yang terjangkau dengan peningkatan ekspor! ***
Selasa itu IHSG ditutup pada 4.899,88, melorot 115,11 poin atau 2,29%, menjadi antiklimaks dari pencapaian rekor IHSG sepanjang sejarah 5.500 pada 7 April 2015—yang disaksikan Presiden Jokowi dengan kunjungan ke BEI. "Keluarnya dana global dari aset berisiko merupakan fenomena global market mengantisipasi kenaikan tingkat bunga The Fed," kata David Sutyanto, analis First Asia Capital, Rabu. (detik-Finance, 10/6)
Kepastian naiknya suku bunga The Fed dari acuan 0,25% selama ini ditentukan pekan depan dengan pertimbangan berdasar hasil rapat FOMC—Federal Open Market Committe. Awal pekan ini dilaporkan hasil survei JOLTS—Job Openings and Labor Turnover Survey—banyak lowongan pekerjaan yang dibuka di pasar tenaga kerja AS, ditopang oleh pelaku usaha kecil yang banyak menyerap karyawan. Sejumlah analis menyatakan hal itu merupakan "tekanan" bagi Federal Reserve untuk segera menaikkan suku bunga acuannya. (Kompas.com, 10/6)
Kalau laporan ketenagakerjaan AS yang positif dan stabilnya dolar itu di Indonesia merontokkan IHSG dan nilai tukar rupiah yang Selasa (9/6) sempat menyentuh Rp13.400/dolar AS, di Jepang sebaliknya, justru faktor yang sama memperkuat bursa Tokyo, juga baik bagi ekonomi Jepang secara umum sehingga Senin (8/6) pertumbuhan ekonomi Jepang kuartal I 2015 dikoreksi menjadi 3,9% dari prediksi semula 2,4%. (Metro TV, 9/6) Jepang mampu menarik benefit membaiknya ekonomi AS dan stabilnya dolar berkat sumber dana domestik yang kuat sehingga ekonominya tidak tergantung pada investasi asing.
Sedang dengan industri yang kuat, Jepang bisa memanfaatkan AS sebagai pasar ekspornya dengan daya saing yang tangguh. Becermin pada Jepang itu, Indonesia bisa tak hanya meratapi kaburnya dana asing dari pasar modal, tapi menggenjot ekspornya ke AS dengan berbagai komoditas unggulan dari udang sampai tekstil. Dengan itu devisa yang ditransfer dalam repatriasi dolar AS lewat penjualan bersih di BEI itu, mendapat pengganti dari devisa hasil ekspor. Usaha mencari kompensasi dana asing yang kabur lewat devisa ekspor bukan mustahil. Sebab, dana Rp20 triliun itu dengan kurs Rp13.300/dolar AS, cuma 1,5 miliar dolar AS, nilai yang terjangkau dengan peningkatan ekspor! ***
0 komentar:
Posting Komentar