BETAPA masih kuatnya hambatan birokratisme—ego sektoral pejabat yang menyendat proses administratif—mendapat ekspos besar lewat kunjungan Presiden Joko Widodo ke Pelabuhan Tanjung Priok pekan lalu.
Akibat birokratisme dari 18 kementerian dan lembaga yang unjuk kekuasaan di pelabuhan, presiden menemukan dwelling time (masa penumpukan barang untuk bongkar-muat di pelabuhan) selama 5,5 hari.
Itu dwelling time diukur dari lama penumpukan barang. Sedang dilihat dari masa tunggu kapal untuk sandar, bongkar muat sampai berangkat lagi, sebelumnya disebutkan 8 hari. Dwelling time versi inilah sebenarnya yang dipakai dalam pelayaran universal. Tingginya angka dwelling time menambah biaya operasional kapal, uang sandar dan sewa tempat barang, sehingga untuk ekspor menambah biaya logistik dan memperlemah daya saing, sedang untuk impor menambah harga yang harus dipikul konsumen. Biaya logistik di Indonesia sudah mencapai kelompok tertinggi di dunia, 24,5% dari PDB—produk domestik bruto.
(Metro-TV, 17/6) Realitas itu membuat Indonesia selalu kalah bersaing di perdagangan global, lebih-lebih berhadapan langsung dengan pesaing terbaik duni dalam hal ini—Singapura. Hambatan birokratisme itu bukan hanya terjadi di pelabuhan, tetapi juga di berbagai bidang strategis lainnya! Salah satunya di industri hulu minyak dan gas bumi. Dalam sarasehan di Balikpapan terungkap, industri migas dibelit perizinan rumit, harus melewati 17 instansi penerbit izin. (Kompas.com, 26/6) Instansi itu meliputi 11 kementerian, TNI-AL dan Polri, kantor wilayah BPN, pemprov, hingga pemkab/pemkot setempat.
Perizinan yang mesti melewati banyak pintu itu untuk mengurus sekitar 69 jenis perizinan atau melalui 284 proses izin yang terbagi di tingkat pusat, provinsi, hingga kabupaten/kota. Keseluruhan perizinan itu memerlukan lebih dari 600 ribu lembar dokumen dan lebih dari 5.000 izin tahunan. Menurut Didik Suseno Setiyadi dari SKK Migas, untuk survei awal saja sudah wajib melewati 26 izin, 85 izin di tahap eksplorasi, 107 di pengembangan, 109 di produksi, dan 14 di pascaproduksi. Tampak masih kokohnya birokratisme dalam pemerintahan kita, meski telah belasan tahun dicanangkan refornasi birokrasi, nyatanya tak lebih dari hiasan bibir semata! Karena itu, gebrakan Presiden Joko Widodo di Tanjung Priok diharapkan bisa menjadi awal langkah reformasi birokrasi yang benar. Bukan cuma pencitraan, seperti sebelumnya. ***
Itu dwelling time diukur dari lama penumpukan barang. Sedang dilihat dari masa tunggu kapal untuk sandar, bongkar muat sampai berangkat lagi, sebelumnya disebutkan 8 hari. Dwelling time versi inilah sebenarnya yang dipakai dalam pelayaran universal. Tingginya angka dwelling time menambah biaya operasional kapal, uang sandar dan sewa tempat barang, sehingga untuk ekspor menambah biaya logistik dan memperlemah daya saing, sedang untuk impor menambah harga yang harus dipikul konsumen. Biaya logistik di Indonesia sudah mencapai kelompok tertinggi di dunia, 24,5% dari PDB—produk domestik bruto.
(Metro-TV, 17/6) Realitas itu membuat Indonesia selalu kalah bersaing di perdagangan global, lebih-lebih berhadapan langsung dengan pesaing terbaik duni dalam hal ini—Singapura. Hambatan birokratisme itu bukan hanya terjadi di pelabuhan, tetapi juga di berbagai bidang strategis lainnya! Salah satunya di industri hulu minyak dan gas bumi. Dalam sarasehan di Balikpapan terungkap, industri migas dibelit perizinan rumit, harus melewati 17 instansi penerbit izin. (Kompas.com, 26/6) Instansi itu meliputi 11 kementerian, TNI-AL dan Polri, kantor wilayah BPN, pemprov, hingga pemkab/pemkot setempat.
Perizinan yang mesti melewati banyak pintu itu untuk mengurus sekitar 69 jenis perizinan atau melalui 284 proses izin yang terbagi di tingkat pusat, provinsi, hingga kabupaten/kota. Keseluruhan perizinan itu memerlukan lebih dari 600 ribu lembar dokumen dan lebih dari 5.000 izin tahunan. Menurut Didik Suseno Setiyadi dari SKK Migas, untuk survei awal saja sudah wajib melewati 26 izin, 85 izin di tahap eksplorasi, 107 di pengembangan, 109 di produksi, dan 14 di pascaproduksi. Tampak masih kokohnya birokratisme dalam pemerintahan kita, meski telah belasan tahun dicanangkan refornasi birokrasi, nyatanya tak lebih dari hiasan bibir semata! Karena itu, gebrakan Presiden Joko Widodo di Tanjung Priok diharapkan bisa menjadi awal langkah reformasi birokrasi yang benar. Bukan cuma pencitraan, seperti sebelumnya. ***
0 komentar:
Posting Komentar