PEMERINTAH akan menghapus pajak penjualan barang mewah (PPnBM) selain kendaraan bermotor untuk mendorong konsumsi masyarakat demi meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang pada kuartal I 2015 hanya mencapai 4,7%.
Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro menaksir potensial lost dari penghapusan PPnBM itu sekitar Rp800 miliar sampai Rp900 miliar per tahun. (Kompas.com, 14/6)
Pertimbangan untuk penghapusan itu karena biaya pengawasannya yang rumit. Barang yang dihapus PPnBM-nya peralatan elektronik, alat olahraga, alat musik, branded goods, serta peralatan rumah tangga dan kantor.
Rencana itu dikritisi Direktur Eksekutif Indef Enny Sri Hartati, yang menyatakan jika jenis barang yang seharusnya dibebaskan PPnBM-nya itu tidak dipilah dan dipilih dengan baik, berpeluang memicu banjir impor. Hal itu bertentangan dengan kebijakan mengendalikan impor dalam rangka menurunkan defisit neraca berjalan (current account). Enny mempertanyakan apakah dalam mengambil kebijakan ini pemerintah mempertimbangkan defisit neraca jasa akibat kunjungan orang-orang Indonesia ke luar negeri?
Kalau soal itu belum pasti hitungannya, kita berpotensi kehilangan dua kali, kehilangan penerimaan bea masuk dan kebanjiran barang impor. Terkait kebanjiran barang impor risiko utamanya adalah memukul industri dalam negeri. Sewaktu masih menjadi pengurus Kadin, Rachmat Gobel, pernah menyitir lebih 60% pasar nasional kita diisi barang impor. Sebagian besar barang impor itu tidak jelas proses masuknya. Itulah yang dimaksud Menteri Keuangan rumit pengawasannya sehingga dengan pembebasan PPnBM-nya tidak masalah lagi dari pintu mana masuknya itu barang.
Artinya, pembebasan PPnBM ini mengalihkan pemasukan barang dari jalur seludupan yang penuh risiko ke jalur formal yang aman! Kalau sama-sama bebas PPnBM, tentu lebih baik memasukkan barang lewat jalur legal, ketimbang lewat jalur ilegal yang juga harus besar pengamanannya! Dari semua itu, pertimbangan terpenting agar dipikir ulang rencana pembebasan PPnBM selain kendaraan bermotor itu adalah pukulannya terhadap industri dalam negeri.
Kedua, tidak perlu menyerah kepada penyeludup sehingga melegalkan kegiatannya menjadi tidak berbeda dengan yang sah. Padahal, di sisi lain kita merekrut tenaga bea cukai baru dalam jumlah besar. Apalagi penghapusan PPnBM hanya meningkatkan konsumsi golongan the have, mempertajam ketimpangan sosial—tidak sebanding dengan sumbangannya pada pertumbuhan ekonomi! ***
Rencana itu dikritisi Direktur Eksekutif Indef Enny Sri Hartati, yang menyatakan jika jenis barang yang seharusnya dibebaskan PPnBM-nya itu tidak dipilah dan dipilih dengan baik, berpeluang memicu banjir impor. Hal itu bertentangan dengan kebijakan mengendalikan impor dalam rangka menurunkan defisit neraca berjalan (current account). Enny mempertanyakan apakah dalam mengambil kebijakan ini pemerintah mempertimbangkan defisit neraca jasa akibat kunjungan orang-orang Indonesia ke luar negeri?
Kalau soal itu belum pasti hitungannya, kita berpotensi kehilangan dua kali, kehilangan penerimaan bea masuk dan kebanjiran barang impor. Terkait kebanjiran barang impor risiko utamanya adalah memukul industri dalam negeri. Sewaktu masih menjadi pengurus Kadin, Rachmat Gobel, pernah menyitir lebih 60% pasar nasional kita diisi barang impor. Sebagian besar barang impor itu tidak jelas proses masuknya. Itulah yang dimaksud Menteri Keuangan rumit pengawasannya sehingga dengan pembebasan PPnBM-nya tidak masalah lagi dari pintu mana masuknya itu barang.
Artinya, pembebasan PPnBM ini mengalihkan pemasukan barang dari jalur seludupan yang penuh risiko ke jalur formal yang aman! Kalau sama-sama bebas PPnBM, tentu lebih baik memasukkan barang lewat jalur legal, ketimbang lewat jalur ilegal yang juga harus besar pengamanannya! Dari semua itu, pertimbangan terpenting agar dipikir ulang rencana pembebasan PPnBM selain kendaraan bermotor itu adalah pukulannya terhadap industri dalam negeri.
Kedua, tidak perlu menyerah kepada penyeludup sehingga melegalkan kegiatannya menjadi tidak berbeda dengan yang sah. Padahal, di sisi lain kita merekrut tenaga bea cukai baru dalam jumlah besar. Apalagi penghapusan PPnBM hanya meningkatkan konsumsi golongan the have, mempertajam ketimpangan sosial—tidak sebanding dengan sumbangannya pada pertumbuhan ekonomi! ***
0 komentar:
Posting Komentar