UPAH beraneka pekerja informal naik pada Mei 2015 dibanding April 2015. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat upah buruh tani naik 0,17%, dari Rp46.306 menjadi Rp46.386 per hari.
Kuli bangunan naik 0,15% dari Rp79.970 menjadi Rp80.087 per hari. Pembantu rumah tangga naik 0,33% dari Rp349.088 menjadi Rp350.247 per bulan. Dan pemotong rambut wanita naik 0,16% dari Rp23.273 menjadi Rp23.310 per kepala. (Kompas.com, 16/6)
Namun, seberapa arti kenaikan itu tentu harus dibanding dengan inflasi yang menggerus nilai kualitatif upah para pekerja pada bulan yang sama. Masih berdasar data BPS, pada Mei 2015 itu terjadi inflasi sebesar 0,50%. Inflasi ini tertinggi dalam tujuh tahun terakhir untuk bulan yang sama, dipicu oleh kenaikan harga bahan makanan. (Antara, 1/6)
Tampak, bukan cuma kenaikan upah para pekerja informal itu yang habis tergerus inflasi, bahkan nilai riil pendapatan mereka ikut tereduksi. Lebih lagi dengan data inflasi BI per Mei 2015 sebesar 7,15% yoy. Demikianlah ganasnya inflasi, menjadikan kelompok warga paling lemah dengan penghasilan rendah sebagai korban utamanya. Apalagi ketika BPS mencatat inflasi didominasi kenaikan harga bahan pangan, kelompok tersebut menjadi korban paling telak. Sebab, umumnya sebagian besar upah mereka hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarganya.
Jika harga bahan pangan naik, upahnya menjadi tak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan pangannya secara kuantitatif sehingga sering harus mengurangi kualitasnya demi mencukupi kuantitasnya. Seperti, mereka harus mencampur jagung, oyek, atau lainnya dalam beras yang dimasak. Akibatnya, inflasi seiring dengan menurunkan daya beli rakyat jelata, sekaligus menurunkan kualitas fisik keluarga mereka.
Untuk itu, para pembuat kebijakan yang bisa berdampak inflator agar berhati-hati karena sekecil apa pun inflasi secara langsung menggerogoti kualitas hidup rakyat jelata—kelompok rawan sosial-ekonomi. Di lain sisi, kecukupan stok di gudang saja tak menjamin harga tidak naik karena faktor-faktor distribusi yang buruk—infrastruktur, transpor, tata kelola dan mekanisme pasar—lebih sebagai penyebab kenaikan harga yang laten.
Dan Indonesia, dengan biaya logistik 24,5% dari PDB, (Metro TV, 17/6) masuk kelompok terburuk di dunia. Karena itu, hanya dengan pamer stok di gudang, terbukti pemerintah selalu gagal mengatasi kenaikan harga kubutuhan pokok di pasar. Warga pekerja sektor informal harus menanggung akibatnya. Dengan inflasi yang selalu tinggi, kualitas hidup keluarga mereka jadi cenderung terus memburuk! ***
Namun, seberapa arti kenaikan itu tentu harus dibanding dengan inflasi yang menggerus nilai kualitatif upah para pekerja pada bulan yang sama. Masih berdasar data BPS, pada Mei 2015 itu terjadi inflasi sebesar 0,50%. Inflasi ini tertinggi dalam tujuh tahun terakhir untuk bulan yang sama, dipicu oleh kenaikan harga bahan makanan. (Antara, 1/6)
Tampak, bukan cuma kenaikan upah para pekerja informal itu yang habis tergerus inflasi, bahkan nilai riil pendapatan mereka ikut tereduksi. Lebih lagi dengan data inflasi BI per Mei 2015 sebesar 7,15% yoy. Demikianlah ganasnya inflasi, menjadikan kelompok warga paling lemah dengan penghasilan rendah sebagai korban utamanya. Apalagi ketika BPS mencatat inflasi didominasi kenaikan harga bahan pangan, kelompok tersebut menjadi korban paling telak. Sebab, umumnya sebagian besar upah mereka hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarganya.
Jika harga bahan pangan naik, upahnya menjadi tak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan pangannya secara kuantitatif sehingga sering harus mengurangi kualitasnya demi mencukupi kuantitasnya. Seperti, mereka harus mencampur jagung, oyek, atau lainnya dalam beras yang dimasak. Akibatnya, inflasi seiring dengan menurunkan daya beli rakyat jelata, sekaligus menurunkan kualitas fisik keluarga mereka.
Untuk itu, para pembuat kebijakan yang bisa berdampak inflator agar berhati-hati karena sekecil apa pun inflasi secara langsung menggerogoti kualitas hidup rakyat jelata—kelompok rawan sosial-ekonomi. Di lain sisi, kecukupan stok di gudang saja tak menjamin harga tidak naik karena faktor-faktor distribusi yang buruk—infrastruktur, transpor, tata kelola dan mekanisme pasar—lebih sebagai penyebab kenaikan harga yang laten.
Dan Indonesia, dengan biaya logistik 24,5% dari PDB, (Metro TV, 17/6) masuk kelompok terburuk di dunia. Karena itu, hanya dengan pamer stok di gudang, terbukti pemerintah selalu gagal mengatasi kenaikan harga kubutuhan pokok di pasar. Warga pekerja sektor informal harus menanggung akibatnya. Dengan inflasi yang selalu tinggi, kualitas hidup keluarga mereka jadi cenderung terus memburuk! ***
0 komentar:
Posting Komentar