PEMERINTAH menolak usul DPR untuk memasukkan dana aspirasi ke RAPBN 2016. Usulan program pembangunan daerah pemilihan itu dianggap bertentangan dengan Nawa Cita atau sembilan program prioritas yang menjadi visi dan misi pemerintah Presiden Joko Widodo.
Penolakan itu diungkapkan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasionsl Andrinof A Chaniago setelah bertemu Presiden di Istana Negara. "Program pembangunan DPR itu diambil dari visi dan misi Presiden. Jadi, kalau pakai dana aspirasi, bisa bertabrakan," ujar Andrinof, menirukan pernyataan Jokowi (Koran Tempo, 25/6).
Tak hanya itu, Presiden menolak usulan dana itu karena tidak sesuai dengan kewenangan Dewan dalam penentuan anggaran.
Dewan, kata Andrinof, hanya berwenang melakukan pengawasan, sementara penentuan anggaran menjadi kewenangan eksekutif. Dalam waktu dekat, pemerintah menyampaikan penolakan secara resmi ke DPR. Total dana aspirasi yang diajukan Rp11,2 miliar, untuk setiap anggota DPR mendapat Rp20 miliar per tahun. DPR berdalih anggaran tersebut diperlukan setiap anggota DPR untuk membangun daerah pemilihannya. Namun, tiga fraksi di DPR—PDIP, NasDem, dan Hanura—tidak setuju usulan tersebut.
Karena itu, Agun Gunanjar Sudarsa, ketua DPP Partai Golkar hasil Munas Ancol, menilai pengesahan dana aspirasi DPR itu terkesan dipaksakan. Sebab, satu anggota saja tak setuju harus voting, tapi ini tiga fraksi jelas dan tegas menolak. Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah malah langsung ketok palu (Kompas.com, 23/6). "Ini perampokan uang rakyat dengan cara formal!" tegas pengamat hukum tata negara Universitas Andalas Feri Amsari (detik-news, 24/6).
Feri menilai DPR melakukan penyimpangan kewenangan lembaga legislatif dalam fungsi anggarannya. Penyimpangan tersebut dilandasi tafsir yang sesat bahwa dalam tugasnya menampung aspirasi rakyat, anggota Dewan dapat langsung memenuhinya dengan menyalurkan dana aspirasi. "Jika penafsiran sesat itu bertujuan menyimpangkan uang negara, itu melanggar Pasal 3 UU 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi," tegas Feri.
Jadi, penolakan pemerintah atas usulan dana aspirasi itu punya banyak dasar yang kuat—disahkan secara paksa oleh DPR meski ditolak sejumlah fraksi, bertentangan dengan Nawa Cita dan kewenangan anggaran DPR, dilandasi tafsir sesat dan melanggar UU Tindak Pidana Korupsi. Apakah DPR masih memaksakan juga, misalnya tak mau mengesahkan RAPBN 2016 kalau usulannya tidak cair? ***
Dewan, kata Andrinof, hanya berwenang melakukan pengawasan, sementara penentuan anggaran menjadi kewenangan eksekutif. Dalam waktu dekat, pemerintah menyampaikan penolakan secara resmi ke DPR. Total dana aspirasi yang diajukan Rp11,2 miliar, untuk setiap anggota DPR mendapat Rp20 miliar per tahun. DPR berdalih anggaran tersebut diperlukan setiap anggota DPR untuk membangun daerah pemilihannya. Namun, tiga fraksi di DPR—PDIP, NasDem, dan Hanura—tidak setuju usulan tersebut.
Karena itu, Agun Gunanjar Sudarsa, ketua DPP Partai Golkar hasil Munas Ancol, menilai pengesahan dana aspirasi DPR itu terkesan dipaksakan. Sebab, satu anggota saja tak setuju harus voting, tapi ini tiga fraksi jelas dan tegas menolak. Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah malah langsung ketok palu (Kompas.com, 23/6). "Ini perampokan uang rakyat dengan cara formal!" tegas pengamat hukum tata negara Universitas Andalas Feri Amsari (detik-news, 24/6).
Feri menilai DPR melakukan penyimpangan kewenangan lembaga legislatif dalam fungsi anggarannya. Penyimpangan tersebut dilandasi tafsir yang sesat bahwa dalam tugasnya menampung aspirasi rakyat, anggota Dewan dapat langsung memenuhinya dengan menyalurkan dana aspirasi. "Jika penafsiran sesat itu bertujuan menyimpangkan uang negara, itu melanggar Pasal 3 UU 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi," tegas Feri.
Jadi, penolakan pemerintah atas usulan dana aspirasi itu punya banyak dasar yang kuat—disahkan secara paksa oleh DPR meski ditolak sejumlah fraksi, bertentangan dengan Nawa Cita dan kewenangan anggaran DPR, dilandasi tafsir sesat dan melanggar UU Tindak Pidana Korupsi. Apakah DPR masih memaksakan juga, misalnya tak mau mengesahkan RAPBN 2016 kalau usulannya tidak cair? ***
0 komentar:
Posting Komentar