IJTIMA Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Tegal 7—10 Juni 2015 mengeluarkan fatwa, "berdosa bagi pemimpin yang tidak menepati janjinya saat kampanye."
Fatwa tersebut berlaku bagi pemimpin dan calon pemimpin publik, baik legislatif, yudikatif, maupun eksekutif. (Antara, 11/6)
Terhadap pemimpin yang ingkar janji, MUI mengimbau umat agar tidak memilihnya kembali jika yang bersangkutan mencalonkan diri kembali dalam pemilihan umum berikutnya, ujar Muhammad Zaitun Rasmin, ketua tim perumus Komisi A. Seorang pemimpin berkewajiban menunaikan janjinya apabila saat kampanye ia berjanji untuk melaksanakan kebijakan yang tak bertentangan dengan syariah dan mengandung unsur kemaslahatan.
Sebaliknya, mengingkari janji tersebut hukumnya haram, tegas Zaitun. Apabila dia berjanji untuk menetapkan kebijakan yang bertentangan dengan syariah, calon pemimpin tersebut haram dipilih dan apabila terpilih, janji tersebut untuk tidak dilaksanakan. Fatwa MUI itu juga menyoroti suap saat kampanye. Calon pemimpin yang menjanjikan sesuatu kepada orang lain sebagai imbalan untuk memilihnya, maka hukumnya haram karena termasuk kategori "rasywah" atau suap. Dengan fatwa itu MUI mendorong agar para pemimpin yang tampil ke publik adalah mereka yang memiliki kompetensi dan kemampuan menjalankan amanah.
Karena itu, MUI meminta calon pemimpin tidak mengumbar janji untuk melakukan kebijakan di luar kewenangannya--istilah sekarang di luar domainnya--dalam mencapai tujuannya. Fatwa MUI itu kontekstual sekali dengan kecenderungan yang sedang aktual dalam masyarakat, lebih-lebih menjelang pemilukada serentak yang prosesnya sudah mulai berlangsung dewasa ini. Janji kampanye yang berhamburan dengan sebagian besar diingkari calon kepala daerah maupun politikus tertentu, hal yang sudah dianggap lazim saja. Obral janji dan bagi-bagi paket sebagai imbalan agar memilih seseorang calon, bahkan dianggap lebih lumrah lagi.
Tapi akibatnya kemudian dirasakan rakyat sendiri, pemimpin yang dipilihnya tidak kompeten dan tak mampu menjalankan amanah sehingga kondisi kehidupan rakyat justru bertambah buruk—tecermin pada infrastruktur di daerahnya yang semakin hancur! Karena itu, fatwa MUI tersebut sangat relevan dengan realitas hidup rakyat, sekaligus bisa menjadi jalan keluar dari gejala kehidupan politik yang kurang sehat. Tinggal bagaimana warga bisa dibimbing mengikuti jalan lurus arahan MUI tersebut! ***
Terhadap pemimpin yang ingkar janji, MUI mengimbau umat agar tidak memilihnya kembali jika yang bersangkutan mencalonkan diri kembali dalam pemilihan umum berikutnya, ujar Muhammad Zaitun Rasmin, ketua tim perumus Komisi A. Seorang pemimpin berkewajiban menunaikan janjinya apabila saat kampanye ia berjanji untuk melaksanakan kebijakan yang tak bertentangan dengan syariah dan mengandung unsur kemaslahatan.
Sebaliknya, mengingkari janji tersebut hukumnya haram, tegas Zaitun. Apabila dia berjanji untuk menetapkan kebijakan yang bertentangan dengan syariah, calon pemimpin tersebut haram dipilih dan apabila terpilih, janji tersebut untuk tidak dilaksanakan. Fatwa MUI itu juga menyoroti suap saat kampanye. Calon pemimpin yang menjanjikan sesuatu kepada orang lain sebagai imbalan untuk memilihnya, maka hukumnya haram karena termasuk kategori "rasywah" atau suap. Dengan fatwa itu MUI mendorong agar para pemimpin yang tampil ke publik adalah mereka yang memiliki kompetensi dan kemampuan menjalankan amanah.
Karena itu, MUI meminta calon pemimpin tidak mengumbar janji untuk melakukan kebijakan di luar kewenangannya--istilah sekarang di luar domainnya--dalam mencapai tujuannya. Fatwa MUI itu kontekstual sekali dengan kecenderungan yang sedang aktual dalam masyarakat, lebih-lebih menjelang pemilukada serentak yang prosesnya sudah mulai berlangsung dewasa ini. Janji kampanye yang berhamburan dengan sebagian besar diingkari calon kepala daerah maupun politikus tertentu, hal yang sudah dianggap lazim saja. Obral janji dan bagi-bagi paket sebagai imbalan agar memilih seseorang calon, bahkan dianggap lebih lumrah lagi.
Tapi akibatnya kemudian dirasakan rakyat sendiri, pemimpin yang dipilihnya tidak kompeten dan tak mampu menjalankan amanah sehingga kondisi kehidupan rakyat justru bertambah buruk—tecermin pada infrastruktur di daerahnya yang semakin hancur! Karena itu, fatwa MUI tersebut sangat relevan dengan realitas hidup rakyat, sekaligus bisa menjadi jalan keluar dari gejala kehidupan politik yang kurang sehat. Tinggal bagaimana warga bisa dibimbing mengikuti jalan lurus arahan MUI tersebut! ***
0 komentar:
Posting Komentar