AKHIRNYA otoritas sepak bola dunia—FIFA—menjatuhkan sanksi kepada Indonesia dalam emergency meeting Komite Eksekutif di Zurich, Swiss, Sabtu (30/5) "Sanksi untuk PSSI langsung berlaku untuk waktu yang tidak ditentukan sampai PSSI bisa mematuhi Pasal 13 dan 17 Statuta FIFA," tulis surat keputusan yang ditandatangani Sekjen FIFA Jerome Valcke.
Ditegaskan, FIFA bakal mencabut sanksi untuk Indonesia itu jika PSSI menyelesaikan permasalahan tanpa ikut campur pihak ketiga. FIFA juga minta agar tanggung jawab tim nasional dan seluruh kompetisi sepak bola Indonesia diserahkan kepada PSSI.
Selama disanksi, PSSI kehilangan hak keanggotaan (Pasal 12 Ayat 1 Statuta FIFA) dan seluruh wakil asal Indonesia (timnas maupun klub) dilarang melakukan hubungan internasional, termasuk terlibat di kompetisi FIFA dan AFC—Pasal 14 Ayat 3 Statuta FIFA. (Kompas.com, 30/5)
Demikianlah nasib Indonesia yang telah 63 tahun menjadi anggota FIFA, harus dikucilkan dari sepak bola dunia dengan kehilangan hak keanggotaannya hanya karena ambisi kekuasaan yang merasa paling bisa dan paling berhak membenahi sepak bola nasional. Sebuah niat baik untuk meningkatkan prestasi sepak bola nasional ditempuh dengan cara yang terang-terangan melanggar aturan internasional—larangan intervensi dari pemerintah atau negara—sekaligus tak mau peduli aturan internasional.
Korbannya anak-anak bangsa yang sejak kecil dengan bola jeruk atau bola karet butut membangun mimpi mencapai kehidupan lebih baik lewat sepak bola. Sanksi tanpa batas waktu yang ditentukan itu bisa lebih cepat berakhir jika Menpora segera mencabut pembekuan PSSI dan memastikan Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI) tidak lagi mencampuri semua kompetisi di bawah PSSI (intervensi awal BOPI melarang Persebaya dan Arema ikut ISL yang menjadi dasar teguran tertulis dari FIFA).
Tapi kalau sejak awal diperingatkan tentang sanksi FIFA itu pemerintah tak peduli, apa bedanya setelah sanksi FIFA jatuh. Toh, meski Indonesia dikucilkan dari sepak bola dunia, pemerintah tak rugi apa pun. Soal anak-anak Indonesia tak bisa main bola di arena internasional, anggap saja itu takdir. Di lain sisi, kejadian ini menyadarkan rakyat bahwa pemerintah yang punya kuasa, apa pun yang dilakukan pemerintah itulah yang harus dianggap terbaik. Kalau terimbas, deritanya konsekuensi bagi rakyat yang harus siap berkorban bagi kesalahan pemerintah membuat kebijakan! ***
Demikianlah nasib Indonesia yang telah 63 tahun menjadi anggota FIFA, harus dikucilkan dari sepak bola dunia dengan kehilangan hak keanggotaannya hanya karena ambisi kekuasaan yang merasa paling bisa dan paling berhak membenahi sepak bola nasional. Sebuah niat baik untuk meningkatkan prestasi sepak bola nasional ditempuh dengan cara yang terang-terangan melanggar aturan internasional—larangan intervensi dari pemerintah atau negara—sekaligus tak mau peduli aturan internasional.
Korbannya anak-anak bangsa yang sejak kecil dengan bola jeruk atau bola karet butut membangun mimpi mencapai kehidupan lebih baik lewat sepak bola. Sanksi tanpa batas waktu yang ditentukan itu bisa lebih cepat berakhir jika Menpora segera mencabut pembekuan PSSI dan memastikan Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI) tidak lagi mencampuri semua kompetisi di bawah PSSI (intervensi awal BOPI melarang Persebaya dan Arema ikut ISL yang menjadi dasar teguran tertulis dari FIFA).
Tapi kalau sejak awal diperingatkan tentang sanksi FIFA itu pemerintah tak peduli, apa bedanya setelah sanksi FIFA jatuh. Toh, meski Indonesia dikucilkan dari sepak bola dunia, pemerintah tak rugi apa pun. Soal anak-anak Indonesia tak bisa main bola di arena internasional, anggap saja itu takdir. Di lain sisi, kejadian ini menyadarkan rakyat bahwa pemerintah yang punya kuasa, apa pun yang dilakukan pemerintah itulah yang harus dianggap terbaik. Kalau terimbas, deritanya konsekuensi bagi rakyat yang harus siap berkorban bagi kesalahan pemerintah membuat kebijakan! ***
0 komentar:
Posting Komentar