DPR—Dewan Perwakilan Rakyat—sedang membahas alokasi dana aspirasi daerah pemilihan (DP) sebesar Rp20 miliar per anggota DPR per tahun.
Dana sebesar itu dari APBN disalurkan ke DP, lalu sang anggota DPR menentukan proyek apa yang dibangun dengan dana tersebut untuk memenuhi janji kampanye atau untuk menambal yang bolong dari jangkauan pembangunan guna menciptakan pemerataan.
Dengan jumlah anggota DPR sebanyak 560 orang, berarti kalau disetujui nanti, diperlukan dana Rp11,2 triliun. Dibandingkan dengan APBNP 2015 sebesar lebih Rp2.000 triliun, maka dana untuk anggota DPR Rp11,2 triliun itu jelas kecil sekali—cuma “selilit”-nya, seperti sisa makanan di celah gigi.
Namun, alangkah naifnya cara berpikir anggota DPR yang terhormat, kalau dengan APBNP sebesar Rp2.000 triliun saja pemerataan tak bisa diciptakan, para anggota DPR optimistis akan bisa mewujudkannya hanya dengan dana “selilit” Rp11,2 triliun itu! Optimisme anggota DPR mampu menciptakan pemerataan pembangunan dengan dana Rp11,2 triliun, padahal dengan Rp2.000 triliun saja tak bisa, membawa bangsa hidup dalam negeri dongeng, menjauhkan rakyat dari cara berpikir rasional.
Di lain sisi, dengan kesadaran penuh para anggota DPR yang mulia itu mendegradasi posisi kenegaraan dirinya dari negarawan legislator dengan fungsi membuat undang-undang, menyusun anggaran negara, dan mengawasi pemerintahan, jadi sekadar pimpro pengelola proyek senilai Rp20 miliar. Betapa jauh anggota DPR menjatuhkan martabat dan kehormatan dirinya hanya demi mendapatkan proyek Rp20 miliar per tahun, dengan dalih apa pun yang dipakai untuk mendapatkan itu.
Mungkin hal seperti itu yang dimaksud oleh Ketua DPP Muhammadiyah Haidar Nasir sebagai memudarnya sikap kenegarawanan di kalangan elite negeri kita. Ia menyatakan itu di depan Ketua MPR Zulkifli Hasan yang mengunjungi DPP Muhammadiyah di Yogyakarta, Sabtu (6/6). Dengan mengutip hasil kajian PP Muhammadiyah, Haidar memaparkan pudarnya sikap kenegarawanan dan nilai kebangsaan antara lain tampak jelas dari sejumlah kebijakan yang bertentangan dengan tujuan kemerdekaan.
(Kompas, 8/6) Realitas demikian jelas sangat memprihatinkan. Betapa, para legislator negarawan agung yang dimuliakan rakyat, hasratnya cuma ngebet jadi sekelas pimpro pengelola proyek Rp20 miliar per tahun! Demikianlah ketika sikap kenegarawanan pudar, orang-orang dalam posisi formal kenegaraan yang agung, berpikirnya recehan. Bagaimana negara mau maju? ***
Dengan jumlah anggota DPR sebanyak 560 orang, berarti kalau disetujui nanti, diperlukan dana Rp11,2 triliun. Dibandingkan dengan APBNP 2015 sebesar lebih Rp2.000 triliun, maka dana untuk anggota DPR Rp11,2 triliun itu jelas kecil sekali—cuma “selilit”-nya, seperti sisa makanan di celah gigi.
Namun, alangkah naifnya cara berpikir anggota DPR yang terhormat, kalau dengan APBNP sebesar Rp2.000 triliun saja pemerataan tak bisa diciptakan, para anggota DPR optimistis akan bisa mewujudkannya hanya dengan dana “selilit” Rp11,2 triliun itu! Optimisme anggota DPR mampu menciptakan pemerataan pembangunan dengan dana Rp11,2 triliun, padahal dengan Rp2.000 triliun saja tak bisa, membawa bangsa hidup dalam negeri dongeng, menjauhkan rakyat dari cara berpikir rasional.
Di lain sisi, dengan kesadaran penuh para anggota DPR yang mulia itu mendegradasi posisi kenegaraan dirinya dari negarawan legislator dengan fungsi membuat undang-undang, menyusun anggaran negara, dan mengawasi pemerintahan, jadi sekadar pimpro pengelola proyek senilai Rp20 miliar. Betapa jauh anggota DPR menjatuhkan martabat dan kehormatan dirinya hanya demi mendapatkan proyek Rp20 miliar per tahun, dengan dalih apa pun yang dipakai untuk mendapatkan itu.
Mungkin hal seperti itu yang dimaksud oleh Ketua DPP Muhammadiyah Haidar Nasir sebagai memudarnya sikap kenegarawanan di kalangan elite negeri kita. Ia menyatakan itu di depan Ketua MPR Zulkifli Hasan yang mengunjungi DPP Muhammadiyah di Yogyakarta, Sabtu (6/6). Dengan mengutip hasil kajian PP Muhammadiyah, Haidar memaparkan pudarnya sikap kenegarawanan dan nilai kebangsaan antara lain tampak jelas dari sejumlah kebijakan yang bertentangan dengan tujuan kemerdekaan.
(Kompas, 8/6) Realitas demikian jelas sangat memprihatinkan. Betapa, para legislator negarawan agung yang dimuliakan rakyat, hasratnya cuma ngebet jadi sekelas pimpro pengelola proyek Rp20 miliar per tahun! Demikianlah ketika sikap kenegarawanan pudar, orang-orang dalam posisi formal kenegaraan yang agung, berpikirnya recehan. Bagaimana negara mau maju? ***
0 komentar:
Posting Komentar