DUA Wakil Ketua Komisi I DPR, Meutya Hafid dan Hanafi Rais, menyoroti pengaduan Polri, TNI, dan Badan Narkotika Nasional (BNN) atas Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar ke Bareskrim Polri. Haris diadukan untuk kasus pencemaran nama baik karena mengungkap ke publik pengakuan terpidana mati gembong narkoba Freddy Budiman.
Informasi yang diungkapkan Haris, kata Meutya, termasuk ke dalam temuan awal. Seharusnya temuan awal Haris ditindaklanjuti oleh Polri, alih-alih melaporkan Haris ke Bareskrim. Ia khawatir hal serupa akan terjadi tak hanya kepada Haris, tetapi kepada pihak lainnya yang mengemukakan pendapat bersifat temuan awal. (Kompas.com, 3/8/2016)
Sedang Hanafi Rais menuturkan kesaksian Freddy Budiman yang diungkap Haris Azhar bisa dijadikan pintu masuk reformasi Polri, TNI, dan BNN. Ia tak melihat Haris tersudut dalam kasus ini. "Ini justru kesempatan bagi Haris Azhar untuk membuktikan bahwa yang selama ini dinyatakan betul sehingga itu juga menjadi pintu masuk untuk reformasi di masing-masing institusi," ujar Hanafi.
Kasus bermula dari pernyataan Haris Azhar, mengaku mendapatkan kesaksian dari Freddy Budiman terkait adanya keterlibatan oknum pejabat BNN, Polri, dan Bea Cukai dalam peredaran narkoba yang dilakukan Freddy. Menurut Haris, Freddy bercerita bahwa ia hanyalah sebagai operator penyelundupan narkoba skala besar. Saat mau mengimpor narkoba, Freddy menghubungi berbagai pihak untuk mengatur kedatangan narkoba dari Tiongkok.
"Kalau saya mau selundupkan narkoba, saya acarain (atur) itu. Saya telepon polisi, BNN, Bea Cukai, dan orang yang saya hubungi itu semuanya titip harga," cerita Freddy ke Haris. Harga narkoba yang dibeli dari Tiongkok seharga Rp5.000 sehingga Freddy tidak menolak jika ada yang menitipkan harga atau mengambil keuntungan penjualannya. Oknum aparat disebut meminta keuntungan kepada Freddy Rp10 ribu hingga Rp30 ribu per butir.
Cerita itu diungkap Haris setelah Freddy dieksekusi mati. Polri, TNI, dan BNN melaporkan Haris dengan tuduhan melanggar UU Informasi Transaksi Elektronik (ITE).
Mengenai pengenaan UU ITE itu, Meutya Hafid mengatakan, "Sesungguhnya semangat awalnya (revisi UU ITE) bukan untuk memberangus orang menyampaikan pendapat, pemikiran, atau temuan awal. Kami menyayangkan pasal ini digunakan untuk hal-hal demikian."
Tapi apa hendak dikata, kalau lain tujuan pembuat undang-undang, lain pula kepentingan para pemakainya. ***
Sedang Hanafi Rais menuturkan kesaksian Freddy Budiman yang diungkap Haris Azhar bisa dijadikan pintu masuk reformasi Polri, TNI, dan BNN. Ia tak melihat Haris tersudut dalam kasus ini. "Ini justru kesempatan bagi Haris Azhar untuk membuktikan bahwa yang selama ini dinyatakan betul sehingga itu juga menjadi pintu masuk untuk reformasi di masing-masing institusi," ujar Hanafi.
Kasus bermula dari pernyataan Haris Azhar, mengaku mendapatkan kesaksian dari Freddy Budiman terkait adanya keterlibatan oknum pejabat BNN, Polri, dan Bea Cukai dalam peredaran narkoba yang dilakukan Freddy. Menurut Haris, Freddy bercerita bahwa ia hanyalah sebagai operator penyelundupan narkoba skala besar. Saat mau mengimpor narkoba, Freddy menghubungi berbagai pihak untuk mengatur kedatangan narkoba dari Tiongkok.
"Kalau saya mau selundupkan narkoba, saya acarain (atur) itu. Saya telepon polisi, BNN, Bea Cukai, dan orang yang saya hubungi itu semuanya titip harga," cerita Freddy ke Haris. Harga narkoba yang dibeli dari Tiongkok seharga Rp5.000 sehingga Freddy tidak menolak jika ada yang menitipkan harga atau mengambil keuntungan penjualannya. Oknum aparat disebut meminta keuntungan kepada Freddy Rp10 ribu hingga Rp30 ribu per butir.
Cerita itu diungkap Haris setelah Freddy dieksekusi mati. Polri, TNI, dan BNN melaporkan Haris dengan tuduhan melanggar UU Informasi Transaksi Elektronik (ITE).
Mengenai pengenaan UU ITE itu, Meutya Hafid mengatakan, "Sesungguhnya semangat awalnya (revisi UU ITE) bukan untuk memberangus orang menyampaikan pendapat, pemikiran, atau temuan awal. Kami menyayangkan pasal ini digunakan untuk hal-hal demikian."
Tapi apa hendak dikata, kalau lain tujuan pembuat undang-undang, lain pula kepentingan para pemakainya. ***
0 komentar:
Posting Komentar