BUDI, seorang remaja pinggiran, dengan wajah ceria dironai senyum bangga pulang ke rumah dengan mengayun-ayunkan kibaran bendera Merah-Putih yang baru direngkuhnya dari puncak tiang panjat pinang 17-an. “Merdeka Bung!" teriak Budi. "Mantaap!" sambutnya sendiri.
"Diam kau! Bodoh!" sambut kakaknya. "Susah payah kau panjat batang pinang licin, satu baju kaus kau korbankan kotor untuk menghapus oli di batang pinang itu, setelah sampai atas semua hadiah kau lempar-lemparkan untuk jadi rebutan orang di bawah! Kau tidak buat perjanjian sebelumnya dengan orang-orang di bawah supaya menyisihkan bagianmu, tapi kau lebih bangga berdiri mengibarkan bendera yang kau dapat di puncak batang pinangnya!"
"Mengibarkan bendera Merah-Putih!" potong Budi tegas. "Bukan sembarang bendera!"
"Tapi kau tak dapat apa-apa! Semua hadiah diambil orang!" entak kakaknya. "Tujuan panjat pinang itu untuk mendapatkan hadiahnya!"
"Cara berpikir begitu salah!" sambut Budi. "Panjat pinang 17-an itu simbolik dari sukarnya para pejuang mencapai tujuan, kemerdekaan bangsa! Lantas setelah tujuan tercapai, bangsa merdeka, pejuang tak layak mengambil semua hadiah untuk dirinya sendiri. Kemerdekaan itu buah dari keikhlasan pengorbanan jiwa dan raga para suhada, pahlawan yang gugur dalam perjuangan mengusir penjajah," tegas Budi. "Semua pengorbanan itu bukan untuk mendapatkan hadiah bagi dirinya, melainkan lebih utama demi kejayaan Merah-Putih berkibar di cakrawala Republik Indonesia!"
"Ah kuno!" tukas kakak. "Itu cara berpikir orang dahulu, pada zaman perjuangan kemerdekaan, saat para pemimpin siap miskin. Tapi kini, para pemimpin tidak lagi siap miskin, mengambil duluan bagian untuk dirinya, bahkan tidak sedikit yang lewat korupsi! Akibatnya rakyat tidak kebagian, kesengsaraan meluas, tecermin dari indeks pembangunan manusia (IPM) saat Indonesia di peringkat ke-108 dunia, setingkat di bawah Palestina yang belum merdeka penuh."
"Maka itu, para pemimpin harus membangun peradaban Merah-Putih, prioritas usahanya untuk keagungan negara-bangsa, dengan menyalurkan kekayaan negara sepenuhnya untuk kemakmuran rakyat selayak membagikan hadiah panjat pinang kepada orang-orang di bawah. Jadi, prioritas para pemimpin bukan lagi pemanfaatan kekayaan negara sebesar-besarnya untuk diri dan kroninya belaka," tegas Budi. "Dengan para pemimpin tak lagi materialistik, peradaban Merah-Putih bisa terbangun dalam karakter bangsa yang akhlakul karimah." ***
"Mengibarkan bendera Merah-Putih!" potong Budi tegas. "Bukan sembarang bendera!"
"Tapi kau tak dapat apa-apa! Semua hadiah diambil orang!" entak kakaknya. "Tujuan panjat pinang itu untuk mendapatkan hadiahnya!"
"Cara berpikir begitu salah!" sambut Budi. "Panjat pinang 17-an itu simbolik dari sukarnya para pejuang mencapai tujuan, kemerdekaan bangsa! Lantas setelah tujuan tercapai, bangsa merdeka, pejuang tak layak mengambil semua hadiah untuk dirinya sendiri. Kemerdekaan itu buah dari keikhlasan pengorbanan jiwa dan raga para suhada, pahlawan yang gugur dalam perjuangan mengusir penjajah," tegas Budi. "Semua pengorbanan itu bukan untuk mendapatkan hadiah bagi dirinya, melainkan lebih utama demi kejayaan Merah-Putih berkibar di cakrawala Republik Indonesia!"
"Ah kuno!" tukas kakak. "Itu cara berpikir orang dahulu, pada zaman perjuangan kemerdekaan, saat para pemimpin siap miskin. Tapi kini, para pemimpin tidak lagi siap miskin, mengambil duluan bagian untuk dirinya, bahkan tidak sedikit yang lewat korupsi! Akibatnya rakyat tidak kebagian, kesengsaraan meluas, tecermin dari indeks pembangunan manusia (IPM) saat Indonesia di peringkat ke-108 dunia, setingkat di bawah Palestina yang belum merdeka penuh."
"Maka itu, para pemimpin harus membangun peradaban Merah-Putih, prioritas usahanya untuk keagungan negara-bangsa, dengan menyalurkan kekayaan negara sepenuhnya untuk kemakmuran rakyat selayak membagikan hadiah panjat pinang kepada orang-orang di bawah. Jadi, prioritas para pemimpin bukan lagi pemanfaatan kekayaan negara sebesar-besarnya untuk diri dan kroninya belaka," tegas Budi. "Dengan para pemimpin tak lagi materialistik, peradaban Merah-Putih bisa terbangun dalam karakter bangsa yang akhlakul karimah." ***
0 komentar:
Posting Komentar