PEMIMPIN dan wakil rakyat saat ini mengalami kedangkalan nalar. Pemimpin yang seharusnya menjadi teladan gagal menjalankan perannya tersebut.
Demikian sosiolog UGM, Arie Sudjito, yang juga menilai pemimpin dan wakil rakyat tidak memiliki daya refleksi atas problem yang sedang dihadapi bangsa. Mereka cenderung membuat kebijakan dan regulasi dengan tidak mendasarkan pada kepentingan rakyat, tetapi kepentingan pribadi atau kelompok. (Kompas.com, 9/8/2016)
Salah satu contoh kebijakan seperti itu revisi UU Pilkada yang mencabut hak rakyat memilih kepala daerah dan mengalihkan hak tersebut kepada DPRD. Tapi, UU itu kemudian dikoreksi Mahkamah Konstitusi (MK).
Mereka tak sadar implikasi negatif kebijakan tersebut untuk rakyat. Selain itu, menurut Arie, mereka pun merasa mandat yang telah diamanatkan rakyat tak terkontrol—mereka bertindak seenaknya sendiri.
Atas gagalnya keteladanan pemimpin dan wakil rakyat itu, jajak pendapat Kompas (8/8/2016) mencatat sejumlah nilai luhur dan perilaku negarawan dalam kehidupan masyarakat mulai memudar. Salah satunya ditunjukkan belum sepenuhnya sikap berani mengakui kesalahan, jujur, dan amanah, serta tunduk kepada hukum menjadi karakter masyarakat.
Perilaku pemimpin dan wakil rakyat yang tak negarawan itu memperburuk perilaku rakyat. Jika ini terus dibiarkan, imajinasi keindonesiaan dan cita-cita besar bangsa akan hilang. Rakyat akan frustrasi yang berujung pada konflik sosial yang kian sering terjadi.
Karena itu, penting bagi pemimpin dan wakil rakyat untuk memperdalam nalarnya, yakni mematangkan dan mendewasakan akal sehatnya. Seiring itu, memperbaiki orientasi dan perilakunya. Perbaikan orientasi itu dengan mengingat dirinya mengemban amanat atau mandat rakyat, jadi harus bertanggung jawab pada rakyat. Sehingga, menurut Arie, kebijakan atau regulasi yang dibuat akan berorientasi pada kepentingan rakyat, berkeadilan.
Di sisi lain, tambah Arie, masyarakat jangan apatis. Harus mampu bersikap kritis sekaligus peduli. Kontrol terhadap pemimpin harus tetap dilakukan sebagai bentuk kepedulian dan sikap kritis.
Tekanan kontrol bisa mematangkan dan mendewasakan nalar pemimpin dan wakil rakyat. Tekanan kontrol membuat pengalaman buruk seperti koreksi MK terhadap UU yang mencerminkan kedangkalan nalar mereka menjadi cambuk untuk mengubah perilaku dan orientasinya.
Kalau memang begitu, rakyat bisa berharap hadirnya keteladanan dan sikap negarawan. Lain hal kalau pemimpin bebal, antikritik! ***
Salah satu contoh kebijakan seperti itu revisi UU Pilkada yang mencabut hak rakyat memilih kepala daerah dan mengalihkan hak tersebut kepada DPRD. Tapi, UU itu kemudian dikoreksi Mahkamah Konstitusi (MK).
Mereka tak sadar implikasi negatif kebijakan tersebut untuk rakyat. Selain itu, menurut Arie, mereka pun merasa mandat yang telah diamanatkan rakyat tak terkontrol—mereka bertindak seenaknya sendiri.
Atas gagalnya keteladanan pemimpin dan wakil rakyat itu, jajak pendapat Kompas (8/8/2016) mencatat sejumlah nilai luhur dan perilaku negarawan dalam kehidupan masyarakat mulai memudar. Salah satunya ditunjukkan belum sepenuhnya sikap berani mengakui kesalahan, jujur, dan amanah, serta tunduk kepada hukum menjadi karakter masyarakat.
Perilaku pemimpin dan wakil rakyat yang tak negarawan itu memperburuk perilaku rakyat. Jika ini terus dibiarkan, imajinasi keindonesiaan dan cita-cita besar bangsa akan hilang. Rakyat akan frustrasi yang berujung pada konflik sosial yang kian sering terjadi.
Karena itu, penting bagi pemimpin dan wakil rakyat untuk memperdalam nalarnya, yakni mematangkan dan mendewasakan akal sehatnya. Seiring itu, memperbaiki orientasi dan perilakunya. Perbaikan orientasi itu dengan mengingat dirinya mengemban amanat atau mandat rakyat, jadi harus bertanggung jawab pada rakyat. Sehingga, menurut Arie, kebijakan atau regulasi yang dibuat akan berorientasi pada kepentingan rakyat, berkeadilan.
Di sisi lain, tambah Arie, masyarakat jangan apatis. Harus mampu bersikap kritis sekaligus peduli. Kontrol terhadap pemimpin harus tetap dilakukan sebagai bentuk kepedulian dan sikap kritis.
Tekanan kontrol bisa mematangkan dan mendewasakan nalar pemimpin dan wakil rakyat. Tekanan kontrol membuat pengalaman buruk seperti koreksi MK terhadap UU yang mencerminkan kedangkalan nalar mereka menjadi cambuk untuk mengubah perilaku dan orientasinya.
Kalau memang begitu, rakyat bisa berharap hadirnya keteladanan dan sikap negarawan. Lain hal kalau pemimpin bebal, antikritik! ***
0 komentar:
Posting Komentar