SRI Mulyani, kelahiran Tanjungkarang, 26 Agustus 1962, melepas jabatan direktur pelaksana Bank Dunia demi memenuhi panggilan Ibu Pertiwi. Usai dilantik sebagai Menteri Keuangan Kabinet Kerja reshuffle jilid II, ia pelototi APBNP 2016 yang baru disahkan bulan lalu. Hasilnya, ia temukan hal-hal yang tidak realistis dan langsung dikoreksinya.
Salah satu yang tidak realistis itu basis perhitungan penerimaan pajak. Tercatat adanya potensi ketidaktercapaian pajak sebesar Rp219 triliun. Akibatnya, harus dilakukan penyesuaian pada sisi pengeluaran dengan memangkas belanja negara sebesar Rp133,8 triliun (Metrotvnews, 10/8/2016).
Kenapa tidak tercapainya target pajak diimbangi pemotongan anggaran belanja negara? Padahal, tahun sebelumnya utang lebih dua kali lipat dari itu bisa secara mudah ditutupi dengan dana utangan lewat lelang surat berharga negara (SBN) atau surat utang negara (SUN) yang laris manis dengan suku bunga bersaing di pasar obligasi?
Mungkin ini langkah Sri Mulyani berdasar pengalaman memimpin lembaga dunia pemberi utang negara-negara miskin, yang makin dalam menggali utang seperti dilakukan pemerintah terakhir ini, hanya akan menambah dalam terbenam timbunan utang.
Apalagi kalau hasil utangan itu di daerah lebih banyak dipakai untuk kenikmatan selapisan kecil elite, bukan ke sektor ekonomi yang mendorong pertumbuhan, dan tidak meningkatkan kesejahteraan rakyat miskin. Contohnya di satu provinsi, prioritas anggaran justru usul pembelian 100 mobil sekelas Fortuner untuk anggota DPRD dan mobil lebih mewah untuk pimpinan legislatifnya.
Lantas bagaimana dengan proyek-proyek yang terpangkas anggarannya? Tentu terkait pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dijaga agar tidak terpengaruh. Sementara proyek-proyek besar yang khusus, seperti kereta api cepat Jakarta—Bandung dananya ditanggung investor Tiongkok, bukan dari APBN. Itu sebabnya proyeknya tidak jadi ditangani Jepang karena syaratnya harus dijamin APBN.
Lantas apakah berarti kebijakan Indonesia nanti bisa benar-benar bersih dari utang? Kemungkinannya, mengurangi maksimal jalur utang berbunga tinggi (suku bunga obligasi kita di kisaran 8% per tahun), diganti kredit lebih ringan dan bahkan tanpa bunga yang arusnya ada di tangan Sri Mulyani. Bentuknya bantuan proyek—bukan kredit tunai yang salurannya bisa ditilap.
Kalau betul begitu, pemangkasan anggaran kali ini bisa menjadi pil pahit demi ekonomi bangsa yang jauh lebih sehat ke depan. ***
Kenapa tidak tercapainya target pajak diimbangi pemotongan anggaran belanja negara? Padahal, tahun sebelumnya utang lebih dua kali lipat dari itu bisa secara mudah ditutupi dengan dana utangan lewat lelang surat berharga negara (SBN) atau surat utang negara (SUN) yang laris manis dengan suku bunga bersaing di pasar obligasi?
Mungkin ini langkah Sri Mulyani berdasar pengalaman memimpin lembaga dunia pemberi utang negara-negara miskin, yang makin dalam menggali utang seperti dilakukan pemerintah terakhir ini, hanya akan menambah dalam terbenam timbunan utang.
Apalagi kalau hasil utangan itu di daerah lebih banyak dipakai untuk kenikmatan selapisan kecil elite, bukan ke sektor ekonomi yang mendorong pertumbuhan, dan tidak meningkatkan kesejahteraan rakyat miskin. Contohnya di satu provinsi, prioritas anggaran justru usul pembelian 100 mobil sekelas Fortuner untuk anggota DPRD dan mobil lebih mewah untuk pimpinan legislatifnya.
Lantas bagaimana dengan proyek-proyek yang terpangkas anggarannya? Tentu terkait pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dijaga agar tidak terpengaruh. Sementara proyek-proyek besar yang khusus, seperti kereta api cepat Jakarta—Bandung dananya ditanggung investor Tiongkok, bukan dari APBN. Itu sebabnya proyeknya tidak jadi ditangani Jepang karena syaratnya harus dijamin APBN.
Lantas apakah berarti kebijakan Indonesia nanti bisa benar-benar bersih dari utang? Kemungkinannya, mengurangi maksimal jalur utang berbunga tinggi (suku bunga obligasi kita di kisaran 8% per tahun), diganti kredit lebih ringan dan bahkan tanpa bunga yang arusnya ada di tangan Sri Mulyani. Bentuknya bantuan proyek—bukan kredit tunai yang salurannya bisa ditilap.
Kalau betul begitu, pemangkasan anggaran kali ini bisa menjadi pil pahit demi ekonomi bangsa yang jauh lebih sehat ke depan. ***
0 komentar:
Posting Komentar