MAYORITAS pengusaha di Indonesia adalah perempuan. Ini data Bank Pembangunan Asia yang diangkat dalam Editors Roundtable di Jakarta, Kamis (28/7/2016). Dari 54,5 juta pengusaha yang ada di Indonesia, 49,9 juta adalah mikro dan kecil, dan 60% pemiliknya perempuan.
Dominasi usaha perempuan dalam ekonomi bangsa itu diangkat Nita Yudi, Ketua Umum Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (Iwapi). Dalam diskusi Iwapi di Bank Dunia juga ditemukan perempuan adalah pengembali kredit terbaik. Bahkan di Indonesia pun, rata-rata Non-Performing Loans (kredit macet) perempuan nyaris nol. (Kompas.com, 30/7/2016)
Mungkin dominasi 60% perempuan di usaha mikro dan kecil itu sudah bagus. Namun Nita mengingatkan, di level yang lebih tinggi perempuannya hanya sedikit. Untuk itu dia berharap perempuan tidak berpuas hati, agar terus berusaha meningkatkan usahanya. Di level menengah dan yang lebih tinggi kalau bisa 50-50.
Usaha untuk meningkatkan kualitas dan skala usaha kaum perempuan di Indonesia sudah ditempuh sejak Presiden SBY. Salah satunya dengan menghadirkan Muhammad Yunus yang dengan Bank Grameen-nya di Bangladesh telah berhasil membangkitkan usaha kaum perempuan melalui kredit noncollateral (tanpa agunan). Keberhasilan itu membuat Bank Grameen dan Muhammad Yunus menerima penghargaan Nobel Perdamaian pada 2006.
Pola Bank Grameen ini telah diadopsi oleh hampir 130 negara di dunia, kebanyakan di Asia dan Afrika. (wikipedia)
Di Indonesia bentuknya antara lain kredit usaha rakyat (KUR). Tapi sayangnya, adopsi polanya cuma kerangka dan kulitnya, sedang isinya--kemudahan dan keringanan--dikesampingkan. Bunga kreditnya sangat tinggi, 22% per tahun, jauh di atas bunga kredit untuk pengusaha besar di kisaran 15%. Setelah setahun Jokowi berkuasa, barulah bunga KUR disubsidi pemerintah menjadi 12%. Belakangan ditekan lagi menjadi 9%.
Keringanan bunga KUR itu saja jelas tak cukup untuk meningkatkan kualitas dan skala usaha mikro dan kecil kaum perempuan untuk naik ke level menengah dan besar. Becermin ke program Grameen, pembinaan dilakukan melalui kelompok keluarga. Bentuk itu berbeda dengan karakter pengusaha perempuan negeri kita, yang kesistimewaannya justru terletak pada keuletannya untuk mewujudkan "one woman enterprise"!
Untuk itu kegigihan pola Martha Tilaar dan Mustika Ratu bisa menjadi model untuk mengelola peningkatan kualitas dan skala usaha kaum perempuan Indonesia, yang secara kuantitatif telah menunjukkan dominasinya.***
Mungkin dominasi 60% perempuan di usaha mikro dan kecil itu sudah bagus. Namun Nita mengingatkan, di level yang lebih tinggi perempuannya hanya sedikit. Untuk itu dia berharap perempuan tidak berpuas hati, agar terus berusaha meningkatkan usahanya. Di level menengah dan yang lebih tinggi kalau bisa 50-50.
Usaha untuk meningkatkan kualitas dan skala usaha kaum perempuan di Indonesia sudah ditempuh sejak Presiden SBY. Salah satunya dengan menghadirkan Muhammad Yunus yang dengan Bank Grameen-nya di Bangladesh telah berhasil membangkitkan usaha kaum perempuan melalui kredit noncollateral (tanpa agunan). Keberhasilan itu membuat Bank Grameen dan Muhammad Yunus menerima penghargaan Nobel Perdamaian pada 2006.
Pola Bank Grameen ini telah diadopsi oleh hampir 130 negara di dunia, kebanyakan di Asia dan Afrika. (wikipedia)
Di Indonesia bentuknya antara lain kredit usaha rakyat (KUR). Tapi sayangnya, adopsi polanya cuma kerangka dan kulitnya, sedang isinya--kemudahan dan keringanan--dikesampingkan. Bunga kreditnya sangat tinggi, 22% per tahun, jauh di atas bunga kredit untuk pengusaha besar di kisaran 15%. Setelah setahun Jokowi berkuasa, barulah bunga KUR disubsidi pemerintah menjadi 12%. Belakangan ditekan lagi menjadi 9%.
Keringanan bunga KUR itu saja jelas tak cukup untuk meningkatkan kualitas dan skala usaha mikro dan kecil kaum perempuan untuk naik ke level menengah dan besar. Becermin ke program Grameen, pembinaan dilakukan melalui kelompok keluarga. Bentuk itu berbeda dengan karakter pengusaha perempuan negeri kita, yang kesistimewaannya justru terletak pada keuletannya untuk mewujudkan "one woman enterprise"!
Untuk itu kegigihan pola Martha Tilaar dan Mustika Ratu bisa menjadi model untuk mengelola peningkatan kualitas dan skala usaha kaum perempuan Indonesia, yang secara kuantitatif telah menunjukkan dominasinya.***
0 komentar:
Posting Komentar