"EKSPOR Indonesia Agustus 2010 sebesar 13,71 miliar dolar AS, naik 29,99% dari Agustus 2009, terdiri dari nonmigas 11,8 miliar dolar AS, dicatat sebagai rekor sepanjang sejarah!" ujar Umar. "Rekor sebelumnya Desember 2009, 13,35 miliar dolar AS. (Kompas, 30-10) Hal terpenting tentu rekor itu dijadikan poros terbangunnya momentum kebangkitan ekonomi bangsa, dengan mendorong multiplier effect positifnya lewat menekan ekses negatif mabuk sukses seperti euforia konsumtif menghamburkan devisa di kalangan elite bangsa!"
"Kendali ekses 'booming devisa' pada elite bangsa itu selama ini buruk, hingga stimulannya bagi kesinambungan peningkatan ekspor itu sendiri tak maksimal, apa lagi pada peningkatan kualitas pertumbuhan dan kesejahteraan rakyat!" timpal Amir.
"Dibanding emerging country BRIC—Brasil, Rusia, India, China—pertumbuhannya rata-rata di atas 8% per tahun dan cadangan devisa jauh di atas 100 miliar dolar AS, jubelan mobil kelas menengah ke atas yang memacetkan Jakarta lebih banyak dari di Rio de Janeiro dan Sao Paulo, Moskow, New Delhi dan Mumbai, Beijing dan Shanghai!"
"Devisa untuk CKD (completely knock down) mobil rakitan dan built up, asesori elite dari koleksi Rolex sampai kristal Eropa negeri kita dari situ terlihat lebih besar dari negeri BRIC—padahal cadangan devisa kita jauh di bawahnya!" tegas Umar. "Itu yang perlu kendali! Das sollen-nya, bagaimana membalik gejala itu dengan menekankan orientasi elite pada devisa dan rekor ekspor difokuskan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat!"
"Tahap pertama tentu prioritas pada partisipan, warga yang terlibat produksi ekspor dan produsen bahan bakunya!" timpal Amir. "Ironis, saat elite tepuk dada bangga ekspor mencapai rekor sepanjang masa, buruh demo upahnya jauh dari cukup, petani sawit menjerit harga TBS-nya dibayar rendah—meski CPO penentu rekor ekspor!"
"Kunci untuk itu pada elite—pemimpin, politisi—pembuat aturan, pengontrol, pengendali birokrasi negara dan masyarakat, dari berorientasi hanya pada kepentingan pribadi dan kekuasaannya jadi serius berorientasi pada usaha meningkatkan kesejahteraan rakyat!" tegas Umar.
"Kalau orientasi untuk kepentingan rakyat itu cuma pseudomatis—seolah-olah saja—sedang sikap efektif elitenya tetap berorientasi kepentingan pribadi dan kekuasaannya, rekor ekspor yang dicapai justru mempertajam ketimpangan sosial—dengan sebagian besar kenikmatan elite dan peningkatan simbol kekuasaannya berasal dari hasil rampokan dana publik yang semestinya untuk kesejahteraan rakyat!"