SEORANG pengembara melintasi punggung bukit, melihat dua hal kontras! Di sisi kanan desa tegalan rumahnya bagus-bagus, sedang sisi kiri dengan sawah irigasi rumahnya kebanyakan justru geribik! Ia belokkan kuda ke kanan, barisan rumah dibelah jalan desa yang lebar, sudah diaspal.
"Jalan ini dulu tanah warga, diminta pemimpin agar diserahkan sukarela untuk jalan!" tutur warga. "Lalu tanah bengkok disetujui untuk pasar, tempat warga desa-desa sekitar menjual hasil bumi dan belanja kebutuhan hidupnya! Jadi, selain berkebun karet, kopi, kakao, dan pisang, kami dagang di pasar! Anak-anak sekolah di kota, pulang buka toko dan servis elektronik, bengkel motor, mobil, tambal ban, penjahit tempahan, kodian (konveksi) plus bordir dan sulam, salon, tukang cukur, tukang perabotan kayu, dan lainnya!"
"Modalnya dari mana?" tanya pengembara.
"Pemimpin kami memfasilitasi pendirian bank rakyat di pasar sini!" jelas warga.
"Namanya capital-reform, sejak generasi kakek kami bangun desa agropolitan—selain bertani, warganya dagang dan usaha jasa!"
Dari situ pengembara ke seberang bukit! Desanya dibelah irigasi, galian irigasi jadi jalan tanggul!
"Pemimpin selalu kami pilih pekerja keras!" tutur warga. "Di zaman kakek, pemimpin ikut gotong royong membangun bendungan dan irigasinya! Kini, gotong royong apa saja, mengerjakan sawah, pesta atau kemalangan, pemimpin jadi teladan!"
"Sejak kakek, berarti sudah tiga generasi!" timpal pengembara. "Kalian semua masih bertani?"
"Iyalah!" jawab warga. "Semua punya tanah warisan kakeknya, dulu dua hektare! Kalau saya, ayah bersaudara tiga orang, lalu aku bersaudara empat orang!"
"Berarti dari warisan ayahmu dua per tiga hektare dibagi empat, kau dapat 1.665 meter persegi per orang!" tebak pengembara. "Dengan irigasi, cuma bertanam padi!"
"Setahun panen dua kali!" tegas warga bangga. "Hasilnya cukup untuk makan keluarga kami!"
"Syukurlah! Selamat tinggal!" timpal pengembara beranjak dari generasi baru petani guram dengan tanah di bawah 0,5 hektare itu. Ia simpulkan, beda kedua desa terletak pada kepemimpinannya! Pada desa yang miskin meski pemimpin bekerja keras, tapi kurang efektif, warganya tergantung pada sawah yang setiap generasi makin sempit!
Kepemimpinan desa yang makmur lebih efektif, bekerja pintar—kerasnya pada kreasi menumbuhkan inovasi warga—sejak awal sudah memanfaatkan modal dan teknologi mengikuti perkembangan zaman! Warganya jadi lebih maju! Jadi, pemimpin tidak cukup hanya bekerja keras, tapi jauh lebih penting lagi, bekerja efektif dan kreatif! ***
Kata Kunci
Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani
Sabtu, 30 Oktober 2010
Soal Efektifnya Kepemimpinan!
Label:
Kepemimpinan
Langganan:
Posting Komentar
0 komentar:
Posting Komentar