"CUACA ekstrem ancam stok pangan nasional!" ujar Umar. "Banjir dan kemarau merusak lahan 150 ribu hektare! Wereng coklat, penggerek batang, dan tikus merusak 473 ribu hektare. Total rusak 623 ribu hektare! (Lampost, [7-10]) Terkesan petani kita tak berdaya menghadapi perubahan iklim!"
"Laporan itu fakta!" timpal Amir. "Tapi para petani andalan dalam KTNA (Kontak Tani Nelayan Andalan) yang rembukan di Sleman, menuding itu terjadi akibat pemerintah lamban menanggulangi perubahan iklim! Justru di pihak KTNA, banyak inovasi mengatasi perubahan iklim mutakhir, dari mengamankan tanaman dari pembusukan akibat terendam hingga mereduksi serangan hama!" (Kompas, [11-10])
"Itu berarti tinggal terbatas petani yang masih tangguh!" tegas Umar. "Kalau pemerintah dituding sebagai penyebab hilangnya ketangguhan mayoritas petani, realitasnya memang begitu! Karena itu terjadi akibat sirnanya dari mayoritas petani kita subsistence ethic—susila kemelaratan—tata krama kehidupan dari sosial ekonomi sampai cara bertani yang berorientasi menghindari bahaya kelaparan! Subsistence ethic itu ditemukan James C. Scott pada masyarakat agraris Asia Tenggara dalam penelitian berjudul The Moral Economy of the Peasant: rebellion and subsistence in Shouteast Asia (1977). Tanpa etika itu, petani bisa tak berdaya dalam sosial ekonomi dan budi daya taninya!"
"Apa dasar tudingan sirnanya susila kemelaratan itu kesalahan pemerintah?" tanya Amir.
"Contoh studi masalah ini dalam konteks Indonesia Kasus Siriaria, Tapanuli Utara (1979), ketika pemerintah gencar mengintensifikasi tanaman kopi untuk memacu ekspor!" jelas Umar. "Di era Orde Baru itu, ratusan ibu dari Siriaria menyerang polsek dan merampas senjata polisi! Mereka tolak mengubah cara bertanam kopi dari barisan dengan jarak amat jarang, jadi barisan rapat agar tanaman jadi homogen!"
"Kenapa mereka lawan program pemerintah sampai dengan tindak 'rebellion' itu?" kejar Amir.
"Intinya untuk menghindari bahaya kelaparan!" tegas Umar. "Selain tanaman kopi jarak antarbarisan jauh itu subur dan produksinya tinggi, gang yang lapang itu justru core business mereka, untuk tanaman sela padi dan palawija sesuai musimnya! Pemerintah yang gila devisa tak melihat itu, mereka 'berontak'!"
"Kalau itu contohnya, banyak subsistence ethic petani yang tergilas program pemerintah, seiring musnahnya clone padi dan tanaman lokal dari Bumi Pertiwi!" timpal Amir. "Lucunya, setelah petani tak punya ketahanan kultural bercocok tanam, pemerintah lamban pula mengantisipasi perubahan iklim—petani terkapar gagal panen, terancam kelaparan!" ***
Kata Kunci
Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani
Rabu, 13 Oktober 2010
Petani Andalan dan 'Subsistence Ethic'!
Label:
Cuaca Ektrem,
Petani
Langganan:
Posting Komentar
0 komentar:
Posting Komentar