"KENAPA bangsaku tak henti dirundung bencana?" Umar bicara terbata-bata dengan mata berlinang. "Cedera korban tabrakan kereta api di Pemalang yang menewaskan puluhan orang belum sembuh, Wasior banjir bandang! Polemik penyulut bencana Wasior antara pemerintah dan LSM belum usai, gempa 7,2 SR diikuti tsunami melanda Mentawai menewaskan lebih 100 jiwa, 500-an orang hilang! Bantuan untuk korban Mentawai belum sampai, Gunung Merapi meletus, lebih 13 ribu warga harus diungsikan! Apa yang salah dengan bangsaku?"
"Bertubi-tubinya bencana menyergap kita harus disikapi dengan sabar dan pasrah diri pada-Nya!" sambut Amir. "Jangan tanyakan apa atau siapa yang salah! Cobaan justru datang untuk menguji iman orang-orang yang tak bersalah! Semakin tinggi iman seseorang, semakin berat pula ujian yang diberikan, sesuai ketinggian derajatnya!"
"Ujian?" timpal Umar. "Ujian 'kan untuk naik kelas atau masa akhir belajar! Kok ujian terus, naik kelas atau masa akhir belajarnya kapan? Sementara alam, peranti ujian itu, mengamuk kian ganas!"
"Alam marah karena dijadikan kambing hitam terus-terusan!" tegas Amir. "Di Wasior dikatakan banjir bandang penyebabnya bukan illegal logging (kesalahan manusia), tapi faktor alam, akibat curah hujan yang sangat tinggi! Bahkan Jakarta banjir dan macet total seharian Senin lalu, kata gubernurnya tak ada yang salah di pihaknya, karena penyebabnya faktor alam, curah hujan yang tinggi sekali! Pokoknya alam, alam, dan alam yang disalahkan, bagaimana tak mengamuk?"
"Berarti tuntutan ujiannya yang terpenting untuk introspeksi, mengelus dada menanya diri sendiri apa saja yang telah diperbuat hingga jadi begini!" timpal Umar. "Artinya, orang harus berani untuk jujur mengakui bahwa sebenarnya dirinya tidak jujur, terutama ketika menuding alam semata sebagai penyebab segala bencana itu! Jujurlah, ketika memang ada kesalahan manusia, apalagi itu di pihak dirinya, akui kesalahan itu, tidak menuding alam dan alam melulu! Jangan lupa, alam itu sunatullah, ayat-ayat Allah yang justru dalam wujud nyata!"
"Okelah!" tegas Amir. "Kita segenap warga bangsa pasrah menerima bencana itu dan bersimpati pada penderitaan para korban dengan memberi bantuan sesuai kemampuan! Tak mampu dalam bentuk materi, dalam bentuk doa baik lewat salat gaib bagi yang tewas dan doa agar diringankan deritanya bagi korban yang masih hidup!"
"Jangan lupa berdoa agar bantuan kepada korban tidak selalu terlambat!" timpal Umar. "Juga, agar bala bencana dijauhkan dari bangsa kita!" ***
H. Bambang Eka Wijaya
0 komentar:
Posting Komentar