"RUMUSAN Aristoteles, politik itu seni mengelola kehidupan kolektif untuk kemaslahatan bersama! Untuk itu, politisi sebagai aktornya!" ujar Umar. "Tapi aktor tersebut—para anggota DPR kita—oleh peneliti politik LIPI Syamsuddin Haris dan Direktur Eksekutif Center for Electoral Reform Hadar Gumay dinilai tak tahu tugas legislatif dalam membuat UU dan mengawasi. Sebagian besar anggota DPR memandang menampung aspirasi konstituen selalu harus melibatkan bantuan uang dan materi belaka!" (Kompas, [6-10])
"Kesimpulan Haris perlu meningkatkan kualitas anggota Dewan agar tahu apa yang dimaksud aspirasi dan kepentingan rakyat, menunjukkan para aktor di pentas politik kita memprihatinkan!" sambut Amir. "Pemahaman mereka aspirasi itu adalah uang atau material yang mereka bagi-bagikan ke konstituen, jelas mereduksi demokrasi! Dari pemahaman itu sukar diharap mewujudkan kemaslahatan bersama dalam konteks luas kehidupan bernegara-bangsa!"
"Dengan begitu, tugas utama yang dilakukan oleh para anggota DPR hanya mencari uang sebanyak-banyaknya dari APBN untuk dibagi langsung ke konstituen!" tukas Umar. "Tak ayal, dana aspirasi yang menurut Budiman Sujatmiko Rp215 juta per tahun dalam gaji anggota DPR Rp65 juta per bulan jadi tak cukup, sehingga perlu tambahan lewat proyek aspirasi Rp15 miliar per tahun per anggota, lalu dana rumah aspirasi, dan entah apa lagi nanti!"
"Lucunya, dengan pemahaman sedemikian para anggota DPR jadi takut jumpa konstituen, hingga datang ke konstituen lima tahun sekali saat dekat pemilu!" timpal Amir.
"Dengan begitu, bahkan dana aspirasi yang Rp215 juta setahun itu pun utuh untuk menopang hidup anggota DPR yang cenderung bergaya selebritas! Akibatnya, hanya kemaslahatan bersama kalangan anggota DPR saja yang terwujud, bukan kemaslahatan bersama seluruh warga bangsa seperti maksud politik sebagai seni!"
"Politik sebagai seni tentu seni peran! Bayangkan kalau dalam suatu pentas seni peran itu, para aktor tak tahu tugas harus berperan bagaimana tampil di pentas, jelas pentas kacau—jangankan menghasilkan keindahan, jalan ceritanya saja tak jelas!" tegas Umar. "Celakanya, pada pementasan yang sedemikian buruk itu para aktor menuntut bayaran jauh lebih tinggi dari kewajaran!"
"Dan bayaran itu uang rakyat atau konstituen yang lima tahun sekali mereka kembalikan ala kadarnya!" timpal Amir. "Begitulah ketika politik gagal dimainkan sebagai seni, kemaslahatan bersama warga bangsa cuma retorika!" ***
Kata Kunci
Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani
Rabu, 06 Oktober 2010
Politik itu Seni, kok Politisi Aktornya Tak Tahu Tugas?
Label:
elite politik
Langganan:
Posting Komentar
0 komentar:
Posting Komentar