Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Protap Anarki, Pilar Budaya Demokrasi!


"DEMO, unjuk rasa, atau aksi massa itu proses menyatakan sikap dan pendapat yang lazim dan sah dalam demokrasi!" ujar Umar. "Demokrasi itu budaya di mana setiap warga terikat komitmen mencapai tujuan dan menyelesaikan masalah lewat cara damai, ujud demokrasi inti peradaban antikekerasan! Untuk itu, prosedur tetap (protap) Polri mengatasi anarki pada aksi massa yang baru diberlakukan bisa disebut salah satu pilar budaya demokrasi—berkat fungsinya menjaga aksi massa sebagai aktualisasi demokrasi tetap on the track!"

"Dengan fungsi protap itu, jajaran Polri dan para pengunjuk rasa harus sama memahami batasan kadar suatu tindakan bisa digolongkan anarki atau belum!" timpal Amir.


"Persamaan persepsi itu penting, agar tak terjadi salah tafsir yang justru menyulut anarki, padahal tujuannya menghindari anarki! Jadi, selain pada jajaran Polri, sosialisasi juga harus dilakukan pada pengurus organisasi massa dan Polisi Pamong Praja (Pol. PP) yang juga sering menghadapi aksi massa!"

"Persamaan standar pada semua pihak penting, agar unjuk rasa sebagai medium demokrasi berjalan semakin mencerminkan kehidupan masyarakat beradab pelaksanaan dan pengamanannya!" tegas Umar. "Lebih lagi bagi bangsa Indonesia, unjuk rasa bukan hal baru dalam budaya politiknya! Sejak era Majapahit unjuk rasa sudah dikenal dengan pepe—berjemur diri—di alun-alun. Bertolak dari budaya politik itu hingga kini di setiap kantor bupati di Jawa selalu ada alun-alun—sebagai domain rakyat! Berarti, kantor kepala daerah yang tak punya alun-alun, seperti kantor wali kota Bandar Lampung, budaya politiknya belum memberi tempat domain rakyat—padahal arti demokrasi pemerintahan oleh rakyat!"

"Tatanan bangunan kantor penguasa yang tak menyiapkan domain rakyat itu jadi penyulut unjuk rasa mudah menjadi anarki!" timpal Amir. "Karena unjuk rasa cuma bisa di jalan raya—ruang publik—mengganggu kepentingan umum! Akibatnya, harus dipaksa bubar, jadi bentrokan!"

"Anarki juga disulut sikap elite para pengambil keputusan yang ndableg—tak mau mendengar aspirasi rakyat yang disampaikan pengunjuk rasa, karena lebih asyik dengan kepentingan pribadi atau kelompoknya saja!" tegas Umar. "Karena itu, budaya demokrasi yang beradab harus diujudkan secara simultan, bukan hanya pada aksi massa dan polisi, tapi juga pada elite eksekutif dan legislatif dengan senantiasa siap mengakomodasi aspirasi rakyat! Kalau cuma pengunjuk rasa yang beradab sedang elitenya tidak, demokrasinya jadi cuma setengah beradab!" ***

0 komentar: