BEGITU peluit akhir berbunyi, kakek mengacungkan empat jempol tangan dan kakinya memuji Tim Nasional Sepak Bola Indonesia yang memberi kemenangan 1-7 kepada tamunya, Uruguay!
"Itu ekspresi bangsa yang ramah menghormati tamu—dalam bahasa kita disebut nemui nyimah—menjamunya dengan kenangan indah yang tak terlupakan!" tegas kakek. "Sikap luhur itu layak jadi teladan bagi warga bangsa yang mengalami krisis budi pekerti dewasa ini!"
"Tapi menjamu tamu dalam sepak bola beda dari tamu lain!" timpal cucu. "Dalam sepak bola justru lazim tuan rumah memberi kenangan dengan hidangan yang menguras keringat, sajian pedas!"
"Cara menjamu tamu yang kau sebut lazim itu tak sesuai dengan kepribadian bangsa kita yang unik!" tegas kakek. "Keunikan itu membuat di antara kita yang telah sublim dengan nilai-nilai universal merasa kurang pas, bahkan sakit perut!"
"Lantas bagaimana dengan hasil pertandingan itu yang telah membuktikan pembinaan sepak bola nasional gagal dalam segala hal?" kejar cucu.
"Bukti gagal dalam segala hal itu menurut ukuran siapa?" kakek balik bertanya. "Kalau mereka yang secara formal berhak menilai justru menyatakan hasil itu tanda sukses, baru bisa disebut gagal kalau kalah 1-13, itulah yang resmi berlaku! Apalagi dalam sistem persepakbolaan Indonesia orang di luar PSSI tak berhak menilai segala hal di internal organisasi itu, tanggapan dan penilaian orang luar dianggap angin lalu saja oleh PSSI, seburuk apa pun realitas sepak bola nasional!"
"Kalau begitu sepak bola nasional telah dijadikan milik pribadi pengurus PSSI, bukan lagi milik seluruh bangsa yang sejatinya merupakan stakeholder!" tukas cucu. "Tanpa kecuali sumber utama kekuatan sepak bola nasional itu pada dukungan seluruh masyarakat bangsa selaku stakeholder dimaksud!"
"Tapi buktinya dukungan stakeholder itu lewat Kongres Sepak Bola Nasional, yang bahkan dibuka Presiden Yudhoyono, hasilnya tak dianggap penting oleh PSSI pun tak ada masalah!" timpal kakek. "Semua itu justru ada hikmahnya, dalam keterpurukan fatal sepak bola nasional seperti sekarang, yang terpuruk sesungguhnya cuma PSSI dengan internal pengurusnya, bukan seluruh masyarakat bangsa Indonesia! Dengan kenyataan demikian, saat bisa mengekspresikan budaya bangsa dalam menghormati tamu saja pun sudah layak diacungi jempol! Jangan terlalu harapkan sekadar ogah-ogahan formalisme segelintir orang bisa mewujudkan kebanggaan nasional bangsa sebesar 237 juta jiwa!" ***
0 komentar:
Posting Komentar