Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Kendali Ekses Rekor Ekspor Indonesia!


"EKSPOR Indonesia Agustus 2010 sebesar 13,71 miliar dolar AS, naik 29,99% dari Agustus 2009, terdiri dari nonmigas 11,8 miliar dolar AS, dicatat sebagai rekor sepanjang sejarah!" ujar Umar. "Rekor sebelumnya Desember 2009, 13,35 miliar dolar AS. (Kompas, 30-10) Hal terpenting tentu rekor itu dijadikan poros terbangunnya momentum kebangkitan ekonomi bangsa, dengan mendorong multiplier effect positifnya lewat menekan ekses negatif mabuk sukses seperti euforia konsumtif menghamburkan devisa di kalangan elite bangsa!"

"Kendali ekses 'booming devisa' pada elite bangsa itu selama ini buruk, hingga stimulannya bagi kesinambungan peningkatan ekspor itu sendiri tak maksimal, apa lagi pada peningkatan kualitas pertumbuhan dan kesejahteraan rakyat!" timpal Amir.

"Dibanding emerging country BRIC—Brasil, Rusia, India, China—pertumbuhannya rata-rata di atas 8% per tahun dan cadangan devisa jauh di atas 100 miliar dolar AS, jubelan mobil kelas menengah ke atas yang memacetkan Jakarta lebih banyak dari di Rio de Janeiro dan Sao Paulo, Moskow, New Delhi dan Mumbai, Beijing dan Shanghai!"
"Devisa untuk CKD (completely knock down) mobil rakitan dan built up, asesori elite dari koleksi Rolex sampai kristal Eropa negeri kita dari situ terlihat lebih besar dari negeri BRIC—padahal cadangan devisa kita jauh di bawahnya!" tegas Umar. "Itu yang perlu kendali! Das sollen-nya, bagaimana membalik gejala itu dengan menekankan orientasi elite pada devisa dan rekor ekspor difokuskan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat!"

"Tahap pertama tentu prioritas pada partisipan, warga yang terlibat produksi ekspor dan produsen bahan bakunya!" timpal Amir. "Ironis, saat elite tepuk dada bangga ekspor mencapai rekor sepanjang masa, buruh demo upahnya jauh dari cukup, petani sawit menjerit harga TBS-nya dibayar rendah—meski CPO penentu rekor ekspor!"


"Kunci untuk itu pada elite—pemimpin, politisi—pembuat aturan, pengontrol, pengendali birokrasi negara dan masyarakat, dari berorientasi hanya pada kepentingan pribadi dan kekuasaannya jadi serius berorientasi pada usaha meningkatkan kesejahteraan rakyat!" tegas Umar.

"Kalau orientasi untuk kepentingan rakyat itu cuma pseudomatis—seolah-olah saja—sedang sikap efektif elitenya tetap berorientasi kepentingan pribadi dan kekuasaannya, rekor ekspor yang dicapai justru mempertajam ketimpangan sosial—dengan sebagian besar kenikmatan elite dan peningkatan simbol kekuasaannya berasal dari hasil rampokan dana publik yang semestinya untuk kesejahteraan rakyat!"

Selanjutnya.....

Korupsi itu Justru Bencana Simultan Seantero Negeri!


"TENTU prihatin berbagai bencana silih berganti merundung bangsa kita!" ujar Umar.

"Namun, bencana lebih simultan menyengsarakan rakyat seantero negeri sebenarnya adalah korupsi, yang berdasar indeks persepsi korupsi (IPK) 2010 Transparency Internasional (TI) pemberantasan korupsi di negara kita jalan di tempat pada IPK 2,8 ranking 110 bersama Benin, Bolivia, Gabon, Kosovo, dan Kepulauan Salomon!"

"Simultannya korupsi sebagai bencana di seantero negeri implisit dalam pernyataan Wakil Ketua KPK M. Jasin dalam peluncuran IPK 2010, stagnannya pemberantasan korupsi disebabkan sistem hukum dan politik di Indonesia masih korup!" timpal Amir. "Kata Jasin, 'Anggota DPR, DPRD dan pemilu kepala daerah harus umbar duit!' (Kompas, 27-10) umbar duit itu terjadi di seantero negeri, dengan konsekuensi, korupsi untuk menarik kembali duit yang diumbar merebak di seantero negeri pula!"

"Stagnannya IPK Indonesia 2010 pada 2,8, jelas berpengaruh pada target Presiden SBY untuk mencapai IPK Indonesia 5,0 pada 2015 seperti ia sampaikan dalam RPJM 2010!" tegas Umar. "IPK 5,0 itu pada 2010 diduduki Lituania dan Makao!"

"Meski tahun ini jalan di tempat, bukan berarti target itu tak bisa dicapai, asalkan Presiden dan aparat hukum serius, bersama seluruh rakyat melancarkan gerakan nasional memberantas korupsi!" timpal Amir. "Gerakan nasional itu diawali kampanye menyadarkan rakyat sebagai korban bencana nasional korupsi! Pesan yang intens—terus-menerus—disampaikan, jika rakyat menerima umbaran duit dalam pemilu atau pilkada, sama dengan menggadai hak-haknya meningkatkan kesejahteraan keluarga, karena dana untuk kesejahteraannya yang jauh lebih besar dikorupsi sebagai ganti duit yang ia terima! Tepatnya, terima duit dalam pemilu dan pilkada itu menyandera keluarganya dalam kemiskinan!"

"Dari sisi Presiden, selain menggenjot Satgas Mafia Hukum, tak perlu basa-basi lagi pada lembaga hukum subordinatnya—kejaksaan dan kepolisian—seperti selama ini hingga pemberantasan korupsi jadi lamban!" tegas Umar. "Polisi dan jaksa agar mengakomodasi partisipasi rakyat memberantas korupsi! Jika ada warga menyampaikan informasi, ditampung dan ditindaklanjuti, bukan seperti selama ini, diadang dan diusir lewat bentrokan hingga terkesan polisi dan jaksa prokoruptor!"

"Banyak hal lagi bisa dilakukan dalam gerakan nasional memberantas korupsi! Terpenting ada goodwill!" timpal Amir. "Lain hal jika dilakukan setengah hati, sekadar ada koruptor ditindak lewat proses tebang pilih!"

Selanjutnya.....

Soal Efektifnya Kepemimpinan!


SEORANG pengembara melintasi punggung bukit, melihat dua hal kontras! Di sisi kanan desa tegalan rumahnya bagus-bagus, sedang sisi kiri dengan sawah irigasi rumahnya kebanyakan justru geribik! Ia belokkan kuda ke kanan, barisan rumah dibelah jalan desa yang lebar, sudah diaspal.

"Jalan ini dulu tanah warga, diminta pemimpin agar diserahkan sukarela untuk jalan!" tutur warga. "Lalu tanah bengkok disetujui untuk pasar, tempat warga desa-desa sekitar menjual hasil bumi dan belanja kebutuhan hidupnya! Jadi, selain berkebun karet, kopi, kakao, dan pisang, kami dagang di pasar! Anak-anak sekolah di kota, pulang buka toko dan servis elektronik, bengkel motor, mobil, tambal ban, penjahit tempahan, kodian (konveksi) plus bordir dan sulam, salon, tukang cukur, tukang perabotan kayu, dan lainnya!"

"Modalnya dari mana?" tanya pengembara.

"Pemimpin kami memfasilitasi pendirian bank rakyat di pasar sini!" jelas warga.

"Namanya capital-reform, sejak generasi kakek kami bangun desa agropolitan—selain bertani, warganya dagang dan usaha jasa!"
Dari situ pengembara ke seberang bukit! Desanya dibelah irigasi, galian irigasi jadi jalan tanggul!

"Pemimpin selalu kami pilih pekerja keras!" tutur warga. "Di zaman kakek, pemimpin ikut gotong royong membangun bendungan dan irigasinya! Kini, gotong royong apa saja, mengerjakan sawah, pesta atau kemalangan, pemimpin jadi teladan!"

"Sejak kakek, berarti sudah tiga generasi!" timpal pengembara. "Kalian semua masih bertani?"

"Iyalah!" jawab warga. "Semua punya tanah warisan kakeknya, dulu dua hektare! Kalau saya, ayah bersaudara tiga orang, lalu aku bersaudara empat orang!"

"Berarti dari warisan ayahmu dua per tiga hektare dibagi empat, kau dapat 1.665 meter persegi per orang!" tebak pengembara. "Dengan irigasi, cuma bertanam padi!"

"Setahun panen dua kali!" tegas warga bangga. "Hasilnya cukup untuk makan keluarga kami!"

"Syukurlah! Selamat tinggal!" timpal pengembara beranjak dari generasi baru petani guram dengan tanah di bawah 0,5 hektare itu. Ia simpulkan, beda kedua desa terletak pada kepemimpinannya! Pada desa yang miskin meski pemimpin bekerja keras, tapi kurang efektif, warganya tergantung pada sawah yang setiap generasi makin sempit!
Kepemimpinan desa yang makmur lebih efektif, bekerja pintar—kerasnya pada kreasi menumbuhkan inovasi warga—sejak awal sudah memanfaatkan modal dan teknologi mengikuti perkembangan zaman! Warganya jadi lebih maju! Jadi, pemimpin tidak cukup hanya bekerja keras, tapi jauh lebih penting lagi, bekerja efektif dan kreatif! ***

Selanjutnya.....

Pulau Pasaran Perlu Perhatian!


"PULAU Pasaran yang padat penduduk di Teluk Lampung dari seberang selalu terlihat kesibukan warganya, tiga bulan terakhir ini tampak lesu!" ujar Umar. "Ternyata, 200-an warga pulau itu yang berusaha sebagai perajin ikan asin jenis teri, cumi, dan udang kering terpukul cuaca ekstrem sehingga sulit mendapat bahan baku, selain curah hujan yang tinggi mengganggu produksinya yang mengandalkan panas matahari! Hanya usaha 50-an warga bertahan, produksi turun 75 persen dari 400 ton per bulan jadi 100 ton!" (Metro TV, [26-10])

"Berarti mayoritas warga Pulau Pasaran dalam kesulitan ekonomi!" sambut Amir. "Tiga bulan tak produksi hingga tanpa penghasilan! Dari setiap keluarga setiap tiga hari sebelumnya menjual dua kuintal ikan asin, kini jadi nol!"

"Itu kesulitan ekonomi beraspek kemanusiaan yang menuntut perhatian dari pengelola dana publik berlabel pos bantuan!" tegas Umar. "Lalu para pihak yang berkewajiban dalam membina UKM, perlu turun menyiasati rehabilitasi usaha perajin ikan asin itu untuk bangkit kembali pascakrisis cuaca ekstrem, Februari 2011. Tanpa bantuan siasat memulai kembali usaha, perajin akan jatuh ke cekaman pengijon yang memeras cucuran keringat di terik jemuran ikan asinnya!"

"Rehabilitasi usaha para perajin itu diperlukan untuk memulihkan posisi ikan asin Pulau Pasaran yang mutunya baik hingga menguasai pasar di kota-kota Sumatera, bahkan teri dan cumi asinnya terkenal di Singapura dan Malaysia!" timpal Amir. "Teri dan cumi asin Pulau Pasaran bersaing ketat dengan produk Thailand dan Vietnam yang kian mendesak dengan kualitas sekelas harganya lebih rendah berkat dukungan kelembagaan di negerinya! Jika perajin Pulau Pasaran dilepas bersaing sendiri, tanpa dukungan fasilitas seperti yang diperoleh pesaingnya, tak sukar ditebak akhir nasibnya!"

"Kita bicara 'koyo iyo-iyo o kae'—seolah pasti ada yang peduli pada nasib perajin ikan asin Pulau Pasaran!" tegas Umar. "Bahkan sejauh ini banyak orang yang dalam tugasnya bertanggung jawab pada nasib mereka tak tahu seberapa penting pangsa ikan asin Pulau Pasaran di pasar nasional dan internasional! Hingga jika pangsa itu akhirnya hilang, orang-orang tersebut tak merasa kehilangan! Tanpa kecuali itu kehilangan atas salah satu 'supremasi' Lampung!"

"Kewajiban kita mengingatkan dengan lisan!" timpal Amir. "Jika gagal karena warga Pulau Pasaran hanya diperlukan saat pemilu atau pilkada, tahap berikutnya berusaha dengan hati, berdoa semoga perajin ikan asin Pulau Pasaran selalu diberkahi rahmat-Nya!" ***

Selanjutnya.....

Pemuda, Pemandu Langkah Bangsa!


"SUMPAH Pemuda membuktikan, pemuda sebagai pemandu arah langkah bangsa!" ujar Umar.

"Itu diekspresikan dengan visi intelektual mereka yang bertentangan dengan sistem dominan—penjajah—pada zamannya! Karakter itu tercermin dalam realitas kekinian bangsa dengan dinamika pemuda bervisi intelektual itu diaktualisasikan mahasiswa! Bedanya, sistem dominan sekarang pemerintahan merdeka bangsa sendiri, justru sebagai buah cita-cita perjuangan generasi Sumpah Pemuda 1928!"

"Ekspresi mahasiswa sebagai aktualisasi karakter pemuda itu orientasinya masih on the track pada hakikat cita-cita generasi 1928, mewujudkan kemerdekaan sebagai gerbang emas mencapai masyarakat adil-makmur!" sambut Amir. "Di sisi lain, pemerintah yang belum bisa mengujudkan masyarakat adil-makmur itu, karena tak bisa lepas dari orientasinya pada kepentingan kekuasaan, langkah menuju cita-cita itu terseok dalam tarik-menarik berbagai kepentingan di dalam dan luar kekuasaan, bahkan dalam dan luar negeri, malah menyatakan kondisi kini yang masih jauh dari ideal cita-cita generasi 28 itu juga on the track!"

"Celakanya, visi mahasiswa untuk mengatrol langkah bangsa ke arah idealnya itu diposisikan pemerintah justru sebagai oponen!" tegas Umar. "Setiap gerak mahasiswa bukan isi visinya yang disimak, tapi fisiknya yang diadang pasukan bertameng dan baju mirip astronout! Akibatnya, mahasiswa pun jadi terbiasa bergesekan fisik, bukan asah gagasan dengan pemerintah! Aneh, pemerintah yang merasa superteknokratik terkesan memandang pemikiran mahasiswa cuma utopi anak bawang, dengan konsekuensi fatal, pemuda sang pemandu langkah bangsa itu malah dikebelakangkan!"

"Sikap pemerintah yang keukeuh 'tak bersama kita bisa' terhadap mahasiswa itu jelas membuat konteks prioritas langkah pemerintah lepas dari katrol pemandu langkah bangsa!" ujar Amir. "Tanpa katrol pemandu itu, langkah pemerintah terbelit kasus yang muncul tumpang tindih, kasus yang satu belum selesai muncul kasus lain hingga nyaris tak ada kasus terselesaikan secara tuntas! Eksesnya, langkah pemerintah terseok keberatan beban kasus yang membelitnya, bangsa pun kian jauh tertinggal dari kemajuan bangsa-bangsa lain!"

"Dari uraian itu bisa dipahami, jika bangsa ini ingin lebih enak melangkah, pemerintah harus merubah persepsinya terhadap pemuda, terutama mahasiswa!" tegas Umar. "Persepsi kembali ke semangat Sumpah Pemuda 1928, menempatkan pemuda sebagai pemandu langkah bangsa!"

Selanjutnya.....

Bangsaku, Tak Henti Dirundung Bencana!

"KENAPA bangsaku tak henti dirundung bencana?" Umar bicara terbata-bata dengan mata berlinang. "Cedera korban tabrakan kereta api di Pemalang yang menewaskan puluhan orang belum sembuh, Wasior banjir bandang! Polemik penyulut bencana Wasior antara pemerintah dan LSM belum usai, gempa 7,2 SR diikuti tsunami melanda Mentawai menewaskan lebih 100 jiwa, 500-an orang hilang! Bantuan untuk korban Mentawai belum sampai, Gunung Merapi meletus, lebih 13 ribu warga harus diungsikan! Apa yang salah dengan bangsaku?"

"Bertubi-tubinya bencana menyergap kita harus disikapi dengan sabar dan pasrah diri pada-Nya!" sambut Amir. "Jangan tanyakan apa atau siapa yang salah! Cobaan justru datang untuk menguji iman orang-orang yang tak bersalah! Semakin tinggi iman seseorang, semakin berat pula ujian yang diberikan, sesuai ketinggian derajatnya!"

"Ujian?" timpal Umar. "Ujian 'kan untuk naik kelas atau masa akhir belajar! Kok ujian terus, naik kelas atau masa akhir belajarnya kapan? Sementara alam, peranti ujian itu, mengamuk kian ganas!"

"Alam marah karena dijadikan kambing hitam terus-terusan!" tegas Amir. "Di Wasior dikatakan banjir bandang penyebabnya bukan illegal logging (kesalahan manusia), tapi faktor alam, akibat curah hujan yang sangat tinggi! Bahkan Jakarta banjir dan macet total seharian Senin lalu, kata gubernurnya tak ada yang salah di pihaknya, karena penyebabnya faktor alam, curah hujan yang tinggi sekali! Pokoknya alam, alam, dan alam yang disalahkan, bagaimana tak mengamuk?"

"Berarti tuntutan ujiannya yang terpenting untuk introspeksi, mengelus dada menanya diri sendiri apa saja yang telah diperbuat hingga jadi begini!" timpal Umar. "Artinya, orang harus berani untuk jujur mengakui bahwa sebenarnya dirinya tidak jujur, terutama ketika menuding alam semata sebagai penyebab segala bencana itu! Jujurlah, ketika memang ada kesalahan manusia, apalagi itu di pihak dirinya, akui kesalahan itu, tidak menuding alam dan alam melulu! Jangan lupa, alam itu sunatullah, ayat-ayat Allah yang justru dalam wujud nyata!"

"Okelah!" tegas Amir. "Kita segenap warga bangsa pasrah menerima bencana itu dan bersimpati pada penderitaan para korban dengan memberi bantuan sesuai kemampuan! Tak mampu dalam bentuk materi, dalam bentuk doa baik lewat salat gaib bagi yang tewas dan doa agar diringankan deritanya bagi korban yang masih hidup!"

"Jangan lupa berdoa agar bantuan kepada korban tidak selalu terlambat!" timpal Umar. "Juga, agar bala bencana dijauhkan dari bangsa kita!" ***

H. Bambang Eka Wijaya



Selanjutnya.....

Tidak Jadi, Deponir Kasus Bibit-Chandra!


"GUYON dalang Sudjiwo Tedjo dalam promo acara Najwa Shihab di Metro TV bahwa 'manusia boleh berusaha, Anggodo yang menentukan!' rupanya termakan Kejaksaan Agung, hingga ragu-ragu dan tak jadi mengeluarkan deponeering kasus Bibit-Chandra, meski sudah dinyatakan Jampidsus M. Amari!" ujar Umar. "Guyon itu mengesankan Anggodo amat berkuasa, gugatannya terhadap SKPP kejaksaan atas kasus Bibit-Chandra selalu menang di semua tingkat pengadilan, dari PN sampai PK! Jadi wajar kejaksaan berpikir ulang untuk mendeponir kasus Bibit-Chandra!"

"Deponeering kasus Bibit-Chandra itu, andai tak diurungkan, menjadi revans bagi kejaksaan—membalas kekalahan dari Anggodo!" sambut Amir. "Deponeering itu hak istimewa Jaksa Agung untuk mengesampingkan suatu kasus demi kepentingan umum yang lebih besar! Kepentingan itu berupa amanat Presiden untuk menyelesaikan kasus ini di luar pengadilan, dibuat berdasar hasil kerja Tim 8 untuk menyelamatkan KPK dari kriminalisasi!"

"Deponeering sebenarnya sudah cukup dasar untuk dikeluarkan Jaksa Agung—Anggodo divonis bersalah oleh pengadilan atas usahanya menyuap pimpinan KPK, bukan seperti dituduhkan dalam kasus Bibit-Chandra pimpinan KPK memeras Anggodo!" tegas Umar.

"Kejaksaan kalah dari Anggodo berkali-kali karena terkesan kurang tulus menjalankan perintah Presiden! Itu, selain akibat kejaksaan sebagai pengarah polisi dalam menjerat Bibit-Chandra di kasus cicak vs buaya (yang dalam vonis MK disebut rekayasa hingga dijadikan dasar mengubah satu pasal UU tentang KPK), kejaksaan juga punya uneg-uneg pada KPK yang melucuti jajaran pimpinannya dalam kasus Urip-Arthalita, serta pemutaran rekaman telepon Anggodo di MK! Akibat uneg-uneg itu kejaksaan menjalankan perintah Presiden dengan cuma mengeluarkan SKPP buat kasus Bibit-Chandra, dan dikalahkan Anggodo di pengadilan!"

"Perjalanan kasus Bibit-Chandra sejak cicak lawan buaya memberi hikmah banyak sekali, menguras dukungan lebih sejuta facebooker pada Bibit-Chandra, merepotkan Presiden dengan Tim 8-nya! Semua itu mencerminkan gemuruh kehendak rakyat memberantas korupsi menjadi pergulatan kepentingan antarlembaga hukum pelaksananya!" timpal Amir. "Terakhir, harapan deponeering bisa menjadi pamungkas segala intrik dan rekayasa menghambat usaha pemberantasan korupsi, tidak jadi kenyataan pula! Pengalaman konyol ini jelas tak bisa dijadikan guru bijaksana bagi bangsa ini untuk bangkit dari keterpurukan—terutama di bidang hukum!"

Selanjutnya.....

BK DPR ke Yunani untuk Belajar Etika!

"BK—Badan Kehormatan—DPR RI studi banding ke Yunani untuk belajar etika!" ujar Umar. "Wakil Ketua BK DPR Nudirman Munir menyatakan yang akan dipelajari di Yunani antara lain mengenai etika perilaku anggota Dewan dan tata beracara BK. Misalnya, tentang anggota yang merokok, soal pakaian, cara ngomong." (Kompas.com, [19-10])

"Meski studi banding DPR dikecam banyak orang, bahkan saat berangkat diadang demonstran di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, saya salut pada kejujuran kalangan DPR mengakui dirinya minus etika!" sambut Amir. "Itu jadi penjelasan atas kegemasan rakyat yang sering terjadi setiap melihat tindakan para anggota DPR seperti tak punya etika! Rupanya penilaian seperti dari rakyat itu juga dirasakan oleh para anggota DPR itu sendiri! Dengan pengakuan itu, menuntut etika pada anggota DPR jelas mengada-ada, karena orang tak bisa memberikan apa yang tak dia miliki! Jadi wajar, DPR belajar etika ke Yunani dari level elementer, seperti cara berpakaian, cara bicara!"

"Sebaliknya, aku jadi sedih!" tegas Umar. "Soalnya, dengan menyatakan BK DPR minus etika itu kan mempermalukan dirinya sendiri! Bayangkan, kalau BK-nya saja minus etika, bagaimana para anggotanya? Padahal, DPR itu legislator, pembuat undang-undang
(UU) yang merupakan generator atau pusat pembangkit pancaran cahaya etika dan moral bangsa! Jika cahaya etika dan moral di pusat pembangkitnya saja tidak menyala, seperti apa pula redupnya cahaya etika dan moral pada segenap warga bangsa?"

"Akibatnya bisa dirasakan masyarakat bangsa sekarang, tanpa adanya nur etika dan moral yang memadai sebagai 'roh' UU yang diciptakan, makin banyak UU yang dibuat bukannya negara jadi makin tata tentrem serbateratur, tapi negara malah jadi makin carut-marut, kejahatan tambah ramai, korupsi merajalela!" timpal Amir. "Hal itu terjadi karena dalam membuat UU para anggota DPR bukan berorientasi memancarkan etika dan moral dalam masyarakat, tapi lebih berorientasi pada kepentingan sempit—kepentingan orang-orang yang diuntungkan bunyi UU demi kepuasan pribadi anggota DPR! Buktinya, banyak anggota DPR masuk bui terkait suap pembuatan UU!"

"Untuk itu, pilihan BK DPR ke Yunani untuk belajar etika tepat untuk mengisi kekurangannya!" tegas Umar. "Namun, apakah kekurangan yang terkesan demikian besar itu cukup diisi dengan belajar etika hanya beberapa hari di negeri orang yang tak dimengerti bahasanya? Jadi, kalau setelah belajar etika masih ada kekurangan, harap dimaklumi!" ***













Selanjutnya.....

Harimau Sumatera Jadi Ikat Pinggang!


"SATWA langka harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) ditemukan aparat dari pemburu yang tertangkap sudah jadi ikat pinggang—bersama satu kulit utuh dan empat taring!" ujar Umar. "Satu dari dua pemburu yang ditangkap aparat Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) itu residivis, dipenjara tiga tahun karena membantai belasan gajah di kawasan sama tahun 2004!"

"Dari kasus itu mencuat dua ironi!" sambut Amir. "Pertama, betapa susah usaha melestarikan satwa langka! Harimau sumatera itu ditangkap di daerah lain yang habitatnya terusik, dibawa ke TNBBS dan dikondisikan di Tambling, setelah siap dilepas ke hutan! Tak tahunya, dalam hutan sudah menanti pemburu untuk mengulitinya!"
"Ironi yang kedua, apa pula?" kejar Umar.
"Ketakefektifan sistem hukum menjerakan pelaku kejahatan!" tegas Amir. "Setelah dihukum akibat membantai belasan gajah, orangnya tidak jera! Keluar penjara, mengulangi perbuatannya!"

"Tidak efektifnya hukuman merehab terpidana ke jalan yang benar, karena salah masuk!" timpal Umar. "Hakim memvonis masuk penjara, ternyata dimasukkan ke lembaga pemasyarakatan—LP! Dan LP, dari banyak residivis (alumnus LP) terbukti, masih cenderung sebagai school of crime—masuk maling ayam, keluar jadi maling kambing!"

"Kalau sistem hukum secara umum tak mampu menghentikan perilaku buruk penjahat, usaha pelestarian satwa langka seperti di TNBBS itu bisa kewalahan!" tegas Amir. "Mustahil menjaga pinggiran TNBBS yang ratusan kilometer itu dari pemburu menyelinap masuk hutan memasang jerat atau jebakan!"

"Celakanya orang bisa ditangkap setelah ada bukti kejahatan seperti kulit harimau atau gading!" timpal Umar. "Jika kepergok waktu masuk hutan, dengan alasan untuk cari rebung bambu atau umbut rotan buat disayur, cuma bisa diusir! Tapi jika tak kepergok petugas, bablas masuk hutan! Artinya, kemungkinan tindak pencegahan bolong selalu ada, padahal ini kunci suaka! Kalau setiap menangkap dengan barang bukti kulit harimau atau gading, lama-lama satwanya habis!"

"Usaha mengatasi pemburu liar memang tak bisa dilakukan hanya oleh aparat formal!" tegas Amir. "Partisipasi warga pinggir hutan, tentu yang telah dapat 'pencerahan', harus jadi andalan! Apa lagi warga yang telah diikat kepentingan seperti jadi peserta hutan kemasyarakatan, komitmennya lebih kuat! Hutan dan satwanya akan lebih terjaga saat hutan telah menjadi milik dan dijaga bersama oleh warga selaku pemangku kepentingan!"

Selanjutnya.....

Efisiensi Anggaran pada Zaman Edan!


"KENAPA pasien itu duduk di meja?" tanya dokter.

"Katanya dia adalah lampu meja!" jawab perawat.

"Bawa dia masuk ke kamarnya!" perintah dokter.

"Kalau dia dibawa masuk kamar, jadi gelap dong ruangan ini!" jawab perawat. (Lucu-9122, 21-10)

"Uedan!" entak dokter. "Kau itu perawat orang edan, jangan ikut jadi edan!"

"Kata Ronggowarsito, di zaman edan, kalau tidak ikut edan ora keduman—tak dapat bagian!" kilah perawat. "Jadi, edan itu sebuah pilihan!"

"Berarti ciri zaman edan itu ketika orang berebut bagian, takut ora keduman?" timpal dokter. "Tapi dengan begitu amanat Presiden SBY dalam rapat kabinet di Istana Bogor agar melakukan efisiensi, persisnya, optimalisasi penghematan anggaran kementerian dan lembaga-lembaga dari APBN setidaknya hingga 10 persen (Kompas, 22-10), tak bakal mulus pelaksanaannya! Sebab, oknum lembaga pengguna APBN di pusat dan daerah (lebih 70 persen komponen APBD dari APBN) pakai aji mumpung meraup bagian dari anggaran!"

"Tanpa kecuali anggota lembaga legislatif pusat dan daerah yang seharusnya menjadi pengontrol anggaran, justru berlomba jauh studi banding menguras anggaran!" tegas perawat. "Anggota DPR berbondong ke Yunani dan Jepang, anggota DPRD Kota Bandar Lampung ke Bali dan Manado! Pokoknya, penghematan 10 persen untuk hal-hal yang mendesak seperti dilakukan Sekneg dan kantor kepresidenan, tak dijamin terwujud!"

"Padahal, 10 persen dari APBD Bandar Lampung 2010 sebesar Rp1 triliun besarnya Rp100 miliar, kalau digunakan untuk mengurangi kemiskinan di kotanya yang lebih 25 persen dari penduduk—jauh lebih tinggi dari rata-rata Provinsi Lampung yang kini di kisaran 19 persen—jelas artinya amat signifikan!" timpal dokter. "Tapi namanya juga zaman edan, ketika yang mengelola anggaran berebut takut ora keduman, hal-hal yang amat mendesak pun hilang dari ingatan!"

"Untuk itu, Presiden yang mencanangkan efisiensi anggaran dengan penghematan 10 persen itu seharusnya membuat aturan main, dilengkapi sanksi agar dipatuhi!" tegas perawat. "Kalau cuma imbauan, bisa seperti menebar impian kosong!"

"Namun, meski efisiensi anggaran itu akhirnya cuma wacana, bukti Sekneg dan lembaga kepresidenan bisa hemat 10 persen menunjukkan sebenarnya masih banyak hal bisa dilakukan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan rakyat!" timpal dokter. "Cuma itu tadi, gara-gara zaman edan para pengelola anggaran takut ora keduman, semua tinggal sekadar harapan!" ***

Selanjutnya.....

SBY Terharu, Rakyat Belum Jadi Tuan atas Tanah di Negerinya!


"PRESIDEN SBY terharu pada Hari Agraria ke-50 di Istana Bogor, Kamis," ujar Umar.

"Pidatonya tersengal sesaat, mata berair! Ia terharu melihat Ketua Badan Pertanahan (BPN) Joyo Winoto menyerahkan sertifikat tanah ke 10 wakil 5.141 keluarga dalam redistribusi tanah negara di Cilacap! Mereka selama ini tak punya lahan garapan untuk bertani!"

"Menurut narasi Metro-TV (21-10), SBY terharu masih banyak rakyat belum menjadi tuan atas tanah di negerinya sendiri!" sambut Amir. "Ia tegaskan, tema besar yang diusung pemerintah adalah tanah untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat! Mari camkan betul tema besar ini, misi besar ini, ajak SBY, agar di negeri kita ini rakyat menjadi tuan yang memiliki bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya!"

"Program redistribusi tanah—landreform—seperti dilakukan atas 5.141 warga Cilacap itu, amanat UU Pokok Agraria 1960!" tegas Umar. "Sepanjang 50 tahun amanat itu dijalankan dengan menutupi istilah landreform, alasannya landreform itu tema perjuangan BTI—Barisan Tani Indonesia—mantel PKI! Hingga setiap melakukan redistribusi tanah, istilah landreform seperti haram disebut!"

"Padahal dari pidato Presiden SBY itu terbukti, landreform hal yang mutlak harus dilakukan sebagai jalan penting menciptakan keadilan dan kesejahteraan rakyat!" timpal Amir. "Karena itu, tak bisa ditawar lagi penegasan SBY untuk menjalankan amanat konstitusi, 'Bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat'! Implementasinya bisa dilakukan lewat berbagai model landreform yang pernah dilakukan!"

"Selain transmigrasi sebagai program landreform paling nyata, model NES—nucleus estate small-holder yang diintrodusir Bank Dunia di Sumut era 1970-an—kemudian dikembangkan PTPN dan banyak perkebunan swasta jadi perkebunan inti rakyat (PIR), merupakan model yang telah teruji menciptakan keadilan dan kesejahteraan rakyat!" tegas Umar. "Masih banyak bekas hutan produksi yang ditinggalkan pengusaha HPH tak direboisasi yang bisa untuk itu! Asal ada lahannya, PTPN dan banyak usaha swasta siap membuka PIR!"

"Model PIR dengan hutan tanaman industri (HTI) dipadu program hutan kemasyarakatan (HKm), di Lampung masih terbuka peluang, misal di Way Kanan, ada dua kawasan register hutan yang sudah lama 'menanti'!" timpal Amir. "Jika pemerintah serius melakukan landreform dengan gerakan nasional yang cepat dan efektif, dalam empat tahun sisa SBY berkuasa bisa jutaan warga tak bertanah menjadi tuan atas tanah negerinya!"

Selanjutnya.....

Unjuk Rasa Setahun Rezim SBY-Boediono!


"GERAKAN massa berinti mahasiswa unjuk rasa di belasan kota, ribuan orang di depan Istana Merdeka, menuntut SBY-Boediono mundur!" ujar Umar. "Apa tak terlalu cepat, satu tahun berkuasa dinilai gagal lalu dituntut mundur?"

"Soal waktu itu relatif!" jawab Amir. "Dilihat dari cepatnya SBY-Boediono menjelma jadi rezim—sejak Setgab partai pendukung meliputi lebih 75% suara di parlemen dibentuk hingga DPR jadi subordinat eksekutif, tak tersisa lagi lembaga formal setara yang bisa efektif mengontrol pemerintah—bangkitnya kontrol ekstra seperti mahasiswa jadi keniscayaan! Soal tuntutan untuk memikat dukungan publik, urusan mahasiswa!"

"Apa tuntutan itu punya dasar?" tanya Umar.

"Dasarnya hasil survei apresiasi masyarakat pada Pemerintahan SBY-Boediono yang merosot telak seperti display di halaman depan Kompas (20-10)," jawab Amir. "Kalau pada akhir priode SBY-JK apresiasi untuk bidang politik keamanan 75,4; hukum 71,3; ekonomi 73,5; kesejahteraan sosial 65,2; pada satu tahun pemerintahan SBY-Budiono melorot menjadi politik keamanan 38,4; hukum 31,4; ekonomi 34,2; kesejahteraan sosial 34,5. Nilai saja apa dasar tuntutan itu memadai!"

"Tapi capaian makroekonomi terakhir fantastik, ekspor bulan lalu tertinggi sepanjang masa!" timpal Umar. "Rupiah menguat di bawah 9.000 per dolar AS, IHSG di atas 3.500, pertumbuhan ekonomi baik, kemiskinan-pengangguran turun!"

"Figur makroekonomi itu kuantitatif!" tegas Amir. "Sedang apresiasi masyarakat bersifat kualitatif, substansinya mereka alami dan rasakan!"
"Bagaimana bisa kontradiktif antara figur makro ekonomi dan substansi hidup rakyat?" kejar Umar.

"Mungkin karena figur fantastis makroekonomi itu hanya dinikmati kalangan terbatas, belum memercik ke rakyat banyak!" jawab Amir. "IHSG misalnya, dinikmati pelaku pasar yang lebih 99% investor asing! Ekspor dinikmati para juragan besar, sedang upah buruhnya tetap ditekan dalam kelompok termurah di dunia! Itu sebabnya, Selasa lalu ribuan buruh Semarang demo menuntut perubahan sistem pengupahan dari model neolib itu menjadi lebih manusiawi!"

"Kontradiksi itu tampaknya akibat sejak jadi rezim kekuasaan SBY-Boediono terkapsul—encapsulated—sehingga bukan saja kontrol tak bisa lagi efektif menyentuhnya, getar-getir penderitaan rakyat juga tak bisa menembus kapsul kekuasaannya!" timpal Umar. "Tak aneh, saat SBY-Boediono menilai sukses kinerjanya, apresiasi rakyat yang pedih lapar perutnya kian melilit justru merosot!" ***


Selanjutnya.....

Infrastruktur 'bin' Suprastruktur!


SAAT menyusuri sungai di hutan, relawan lingkungan berhenti di dekat bendungan yang terbuat dari tumpukan ranting ditopang batang kayu tumbang melintang di sungai.

"Ada regul alias berang-berang!" bisiknya ke rekan. "Bendungan ini khas buatan regul untuk menahan jalan ikan ke hulu! Naluri ikan selalu bergerak melawan arus membuat tempat jatuhan air di bawah bendungan ini menjadi lumbuk pangan bagi regul!"

"Jadi eksistensi regul di suatu area bisa diketahui dari bendungan yang dibuatnya?" sambut rekan. "Berarti ini bendungan 'bin'—buah ikhtiar nyata—regul!"

"Manusia, bukan saja para ahli, belajar struktur bendungan dari regul, juga suprastruktur—para pemimpin formal—mendasari keabsahan moral konstitusional posisinya dengan buah ikhtiar nyata berupa infrastruktur!" tegas relawan. "Artiinfra itu dasar—bagi yang berada di atas, supra! Suprastruktur tanpa infrastruktur jadi bangunan kekuasaan tanpa dasar atau fondasi, mengawang! Suprastruktur tanpa infrastruktur seperti regul tanpa bendungan, tanpa buah ikhtiar nyata memajukan kesejahteraan umum—kewajiban eksistensial atau kewajiban asali konstitusional!"

"Kalau begitu, kenapa suprastruktur semua tingkat cenderung mengingkari kewajiban eksistensialnya membangun infrastruktur, yang ada dibiarkan hancur?" tanya rekan.

"Ironis, dalam menyusun anggaran untuk segala macam kepentingan suprastruktur selalu didahulukan hingga serbacukup, tapi untuk infrastruktur ditempatkan di urutan belakang hingga tak kebagian anggaran?"

"Itu pertanda suprastruktur hanya berorientasi pada kepentingannya sendiri saja!" tegas relawan. "Padahal sebagai kewajiban asali, infrastruktur jadi ukuran efektifnya kepemimpinan suatu rezim dalam kawasan yurisdiksi kekuasaannya! Jika infrastruktur dalam yurisdiksi suatu rezim hancur, seperti itu pula ketakefektifan kepemimpinan rezim tersebut! Alasannya, setiap kepemimpinan publik, seperti rezim harus goal oriented—berorientasi tujuan konstitusional, memajukan kesejahteraan umum! Infrastruktur itu dasar (infra) bagi kesejahteraan umum!"

"Konyolnya, untuk ikhtiar mengatasi kehancuran infrastruktur sebagai kewajiban asali itu, solusi dari suprastruktur selalu mengarah ke dana ekstra, dari luar APBD—bukan fix cost atau anggaran tetap! Seperti, dana investor!" timpal rekan. "Bisa berharap dana investor untuk infrastruktur jalan tol, dermaga, atau pasar yang bisa menarik untung dari investasinya! Tapi kalau untuk jalan provinsi, kabupaten-kota, kehancuran jalannya keburu lebur, investornya tak nongol!" ***

Selanjutnya.....

Era Kaum Muda yang Berkuasa (3)


"DALAM masyarakat tradisional, dominasi kaum tua dalam pengamalan dan sosialisasi nilai—yang muda belajar dari yang tua—merupakan keniscayaan!" ujar Umar. "Ketika yang muda berkuasa efektif mengelola kehidupan kolektif untuk kemaslahatan bersama, praktis menjadi poros bagi berbagai lembaga formal dan informal! Untuk itu diperlukan proses mencapai keseimbangan baru—yang tua belajar dari yang muda! Jika prosesnya tak jalan, apalagi terjebak anomali, bisa terjadi gegar budaya—
cultural shock!"

"Masalah itu diteliti Margareth Mead di masyarakat tradisional kawasan Pasifik, yang tua belajar dari yang muda pada masyarakat tradisional peluangnya kecil!" timpal Amir. "Hal itu karena nyaris semua perangkat kelembagaan masyarakatnya merupakan agen bagi proses sosialisasi dan pelestarian nilai-nilai yang tua kepada generasi muda! Dengan itu, tampak betapa sukar bagi kaum muda yang berkuasa untuk menggeser—apalagi mengambil alih—dominasi itu dari kaum tua!"

"Kegagalan mengambil alih dominasi kendali nilai itu menjadi blessing in disguise, karena konflik yang berekses cultural shock tereliminasi!" tegas Umar. "Namun dengan begitu praktek kekuasaan kaum muda yang berkuasa cuma bisa jadi 'boneka' dari kaum tua, yang bahkan tambah kokoh dominasinya!"

"Untuk itu, jika kaum muda yang berkuasa ingin tampil sebagai pengibar panji generasinya, syarat utamanya ia harus bisa eksis sebagai inventor—penemu—paradigma alternatif, jalan baru yang lebih praktis mengujudkan kemaslahatan bersama!" timpal Amir. "Bukan pula sekadar inovator—yang hanya membuat simpul baru dalam konstelasi paradigma lama! Temuan paradigma baru diperlukan, karena paradigma lama terbukti gagal memajukan secara signifikan kemaslahatan bersama, karena hanya dinikmati kalangan terbatas, sedang mayoritas rakyat selalu dalam kemelaratan bersama!"

"Kegagalan realisasi kemaslahatan bersama hingga kemiskinan semakin pedih cekamannya, terjadi akibat paradigma lama dengan para aktornya tenggelam dalam pragmatisme!" tegas Umar. "Jadi, paradigma baru yang harus diujudkan kaum muda yang berkuasa adalah antitesis dari pragmatisme! Ini jelas musykil, lebih-lebih mengingat justru lembaga politik sebagai episentrum pragmatisme—jadi pihak yang mendidik rakyat untuk berpolitik dengan sikap pragmatis!"

"Artinya, terlalu berlebihan mengharapkan kaum muda yang berkuasa mampu melakukan perubahan bersifat sistemik!" timpal Amir. "Bisa menempatkan diri secara tepat dalam situasi ideal sistem nilai dominan saja pun, hingga jadi 'boneka cantik' bagi kaum tua, cukuplah!"(Habis)

Selanjutnya.....

Era Kaum Muda yang Berkuasa! (2)


"KAUM muda, di Indonesia lazim disebut pemuda sebagai label yang memberi aksentuasi karakter historis revolusioner (pelopor perubahan cepat), gagah berani dan pantang menyerah!" ujar Umar. "Sedang kaum tua jadi pasangan hitam-putihnya, dikesankan berkarakter konservatif (enggan perubahan) dan reaksioner—amat cepat bereaksi pada segala hal yang mengusik kemapanan dan keasyikannya menikmati kekuasaan! Dalam konteks terminologi sedemikian bisa dibayangkan trennya ketika kaum muda yang berkuasa!"

"Tren itu tercermin dalam pengelolaan APBD!" sambut Amir. "Di bawah pimpinan tokoh muda Bambang Kurniawan di Kabupaten Tanggamus, misalnya, kendala keterbatasan anggaran untuk melakukan perubahan cepat diatasi dengan vivere veri coloso anggaran defisit yang bahkan jauh lebih besar dari PAD murni tahunan! Asumsinya, dengan proyek, program, dan investasi dari defisit itu akan dihasilkan pertumbuhan yang pada waktunya bisa mengimbal pendapatan daerah untuk membayar kembali defisit sebelumnya!"


"Itu betul-betul langkah revolusioner!" sela Umar.
"Sebaliknya di Lampung Tengah, ketika Mudiyanto yang cenderung konservatif jadi bupati pengganti antarwaktu, prioritasnya justru menutup lunas defisit APBD yang dibuat bupati pendahulunya!" lanjut Amir. "Sehingga, hanya dalam dua semester anggaran antartahun, defisit sebesar Rp191 miliar lunas dibuatnya! Intinya, tanpa defisit kekuasaan berjalan lebih tenang, hingga terasa mapan!"

"Kepala daerah dari kaum tua memang lebih cenderung untuk hanya mengutak-atik angka anggaran yang ada agar cukup dan semua baik-baik saja, tanpa kecuali untuk berusaha hemat dalam kondisi pas-pasan sehingga bangga ketika akhir tahun punya sisa anggaran!" tukas Umar. "Ironisnya, dengan itu orientasi terpentingnya asal pemerintahan bisa tetap berjalan, sedang kenyataan usaha pemerintah meningkatkan kesejahteraan rakyat kurang efektif tak sedikit pun membuat dirinya merasa gusar!"

"Akibatnya, rakyat dibiarkan sendirian bergulat mengatasi kesulitan dengan infrastruktur fisik dan kelembagaan yang kian hancur!" timpal Amir. "Dihadapkan pada kecenderungan penguasa dari kaum tua yang sedemikian, kehadiran kaum muda yang bersikap lebih progresif properubahan cepat jelas memberi harapan! Masalahnya, mampukah para muda yang berkuasa di Lampung sekarang mengaktualkan karakter historis pemuda yang revolusioner itu?"

"Lebih penting soal kemauan!" tegas Umar. "Di mana ada kemauan, di situ ada jalan!"


Selanjutnya.....

Era Kaum Muda yang Berkuasa!


"TERPILIHNYA M. Ridho Fichardo menjadi ketua Partai Demokrat Provinsi Lampung menambah bilangan kaum muda usia 30-an awal di tampuk pimpinan lembaga politik daerah ini!" ujar Umar. "Itu bisa jadi pertanda tibanya era kaum muda yang berkuasa, era yang membawa implikasi dalam kehidupan sosial-politik dan praktek kekuasaan!"

"Selain Ridho, di barisan itu ada Marwan Cik Asan (ketua DPRD provinsi), Rycko Menoza Z.P. (bupati Lamsel), Arisandi (bupati Pesawaran)—dan setingkat lebih senior di atasnya Muchlis Basri (bupati Lambar), Bambang Kurniawan (bupati Tanggamus), dan Bustami Zainuddin (bupati Way Kanan), ketiganya berbekal pengalaman sebagai wakil bupati!" sambut Amir. "Menurutmu, faktor apa yang signifikan menimbulkan implikasi?"

"Di-by-pass-nya proses merit senioritas dan merit prestasi sekaligus!" tegas Umar.

"Dari berbagai penelitian keajaiban bangkitnya Jepang pasca-Perang Dunia II diketahui paduan kedua merit dalam kultur organisasi jadi kunci suksesnya! Merit senioritas menanamkan loyalitas dengan jenjang karier dari bawah menapak naik sesuai dengan masa pengabdian! Lewat merit prestasi, setiap yang berpretasi dapat promosi menapak naik lebih cepat! Dengan itu, tubuh lembaga kokoh dan sehat dengan kesetiaan dan persaingan prestasi, mendorong kemajuan lembaga mencapai tujuan!"

"Apa implikasi dilangkahinya merit senioritas atau pengalaman dan pembuktian prestasi teruji dalam kepemimpinan kaum muda kita?" kejar Amir.
"Itu sisi lemahnya, menjadikan tampuk pimpinan tempat mencari pengalaman dan menguji prestasi!" tegas Umar. "Terpenting dari merit senioritas itu orientasinya pada tujuan yang secara kultural mendarah daging (di Jepang menjadi semangat bushido) tertanam lewat proses pengabdian! Pada kaum muda pemimpin kita, apakah orientasi pelayan masyarakat dan mengutamakan kepentingan rakyat bisa mengalahkan godaan memuaskan kepentingan kekuasaan, itu masalahnya!"

"Tapi dunia kan kaya perspektif!" timpal Amir. "Misalnya Yuppie—young urban professionals—tanpa proses merit senioritas dan merit prestasi ramai kiprah di papan atas nyaris semua bidang kehidupan Amerika Serikat!"

"Fenomena Yuppie dengan profesionalitas kaum muda pada bidangnya mencapai jabatan secara instan memang memberi harapan!" tegas Umar. "Tapi profesionalitas di bidangnya harus dipenuhi kaum muda pemimpin kita—meskipun lewat belajar sambil praktek berkuasa! Terutama belajar dalam orientasi pada kepentingan rakyat—justru dengan menghindari jauh-jauh sisi negatif Yuppie, gaya hidup yang konsumtif serbamewah!" ***


Selanjutnya.....

Belajar dari Cile, Pemimpin Berjiwa Kemanusiaan!


"KEHARUAN menyekap dunia mengiringi sukses penyelamatan 33 petambang yang terjebak di kedalaman 700 meter di bawah permukaan tanah selama 69 hari di Cile!" ujar Umar.

"Salut mengalir dari segala penjuru ke Presiden Sebastian Pinera, yang sejak awal bertekad menolong warganya yang terkurung tambang runtuh itu dengan segala usaha yang bisa dilakukan manusia!"

"Ia koordinasikan semua usaha, dari memastikan para petambang masih hidup, mengirim pangan dan obat, hingga operasi penyelamatan yang dramatis itu, dengan hari demi hari dan tahap demi tahap ia dan istri selalu hadir di lokasi!" sambut Amir. "Sikap tanggung jawabnya terhadap keselamatan jiwa warganya yang seserius itu membuat rakyat negeri-negeri lain ikut hanyut dalam rasa bangga telah mendapatkan seorang pemimpin yang didambakan—paling tidak sebagai penawar rasa kecewa dari pemimpin negerinya! Betapa, dengan adanya 'contoh hidup' pemimpin ideal sebagai pembanding pemimpin negerinya, rakyat bisa mendapat jawaban sebab-akibat penderitaannya!"

"Uniknya, Pinera juga sebenarnya masih dikelilingi menteri seperti di 'negeri lain'!" tegas Umar. "Setelah tambang runtuh 5 Agustus dan 6 Agustus Pinera bertekad menolong petambang yang terkurung, 12 Agustus Menteri Pertambangan Laurence Golborne mengatakan tipis harapan menemukan para petambang itu hidup-hidup! Kalau presiden lain mendengar itu cepat memakai logikanya, orang tertimbun tanah longsor satu meter saja tewas, apalagi di perut bumi sedalam 700 meter! Tapi Pinera justru memerintahkan untuk meneruskan pembuatan tiga terowongan secara simultan menjangkau lokasi penambang! Terbukti, di hari ke-17 (22 Agustus) lewat salah satu terowongan didapat kepastian 33 petambang masih hidup!"

"Maka itu, untuk menghargai jiwa warga, tak peduli berapa orang, seberapa dalam terjebak di bawah tanah, Pinera memberi pelajaran kepada para pemimpin!" timpal Amir. "Konon lagi nasib korban bencana di permukaan tanah, bukan apa penyebab dan siapa yang harus bertanggung jawab didahulukan, melainkan pertolongan kepada para korban yang harus disegerakan—tanpa mencari bandingan bencana dahsyat lainnya, kalau kurang dahsyat tak diprioritaskan!"

"Terakhir soal biaya penyelamatan, tak membatasi harga nyawa manusia!" tegas Umar.

"Pinera menyelamatkan 33 petambang dengan biaya sekitar Rp19 miliar! Bukan besar anggaran yang dilihat dunia, melainkan segala usaha yang bisa dilakukan manusia demi kemanusiaan itu!" ***

Selanjutnya.....

Gagasan Gubernur Terwujud, Lampung Jadi Embarkasi Haji!


"BERKAT dukungan semua pihak terkait, gagasan Gubernur Sjachroedin Z.P. menjadikan Lampung sebagai embarkasi antara jemaah calon haji terwujud, dilaksanakan musim haji ini!" ujar Umar. "Sebelumnya jemaah naik bus Lampung—Pondok Gede tujuh jam! Sampai Pondok Gede periksa kesehatan dan melengkapi dokumen dua jam, baru masuk asrama haji! Total sembilan jam, sama dengan lama penerbangan Jakarta—Jeddah! Waktu dan kelelahan perjalanan setara Jakarta—Jeddah itu dihilangkan dengan embarkasi antara!"

"Dengan embarkasi antara juga lebih praktis!" sambut Amir. "Semua proses kesiapan jemaah—pemeriksaan kesehatan, imigrasi, dan living cost selama di Tanah Suci—sudah selesai di Asrama Haji Rajabasa, dari mana naik bus langsung masuk pesawat, lalu transit di bandara Jakarta untuk masuk pesawat besar menuju Jeddah!"

"Penghematan energi di awal perjalanan jemaah calon haji itu amat penting artinya, karena ibadah haji membutuhkan kondisi fisik prima!" tegas Umar. "Setelah sembilan jam terbang dari Jakarta, setiba di Jeddah menjalani proses imigrasi yang biasanya cukup lama karena tiba bersamaan dengan banyak kloter dari negara lain! Lalu mengurus bagasi, mencari kopernya juga repot, membawa koper ke terminal kedatangan yang berisi ribuan orang menunggu giliran bus untuk ke Madinah—gelombang I—atau Mekah—gelombang II! Jarak Jeddah—Madinah 450 km, setara Bandar Lampung—Palembang! Sampai Madinah bongkar koper dari bus, masuk pondokan, langsung berpacu ke Masjid Nabawi untuk salat 40 waktu, karena waktunya pas-pasan delapan hari di Madinah! Terlihat betapa penting ketahanan fisik dalam ibadah haji!"

"Belum lagi kalau di Mekah pondokan jauh dari Masjidil Haram, padahal transpor lokal di musim haji tak bisa diandalkan, lebih-lebih menjelang subuh!" timpal Amir.

"Karena itu, katahanan fisik harus menjadi perhatian utama setiap jemaah agar bisa fokus sepenuhnya untuk beribadah! Hal yang sering menganggu istirahat jemaah adalah godaan untuk shopping—belanja oleh-oleh! Ada jemaah yang baru tiba di Tanah Suci langsung memborong barang berukuran besar, ambal!"

"Peningkatan pelayanan dengan embarkasi antara itu agar jemaah lebih sempurna menjalankan ibadah haji!" tegas Umar. "Tercapainya tujuan itu menjadi stimulan bagi perbaikan dan peningkatan pelayanan, sehingga dari waktu ke waktu terus bertambah baik, sampai suatu saat Lampung jadi embarkasi penuh! Amat banyak memang yang harus disiapkan untuk itu, tapi bukan berarti tidak harus berpikir ke sana!" ***

Selanjutnya.....

Protap Anarki, Pilar Budaya Demokrasi!


"DEMO, unjuk rasa, atau aksi massa itu proses menyatakan sikap dan pendapat yang lazim dan sah dalam demokrasi!" ujar Umar. "Demokrasi itu budaya di mana setiap warga terikat komitmen mencapai tujuan dan menyelesaikan masalah lewat cara damai, ujud demokrasi inti peradaban antikekerasan! Untuk itu, prosedur tetap (protap) Polri mengatasi anarki pada aksi massa yang baru diberlakukan bisa disebut salah satu pilar budaya demokrasi—berkat fungsinya menjaga aksi massa sebagai aktualisasi demokrasi tetap on the track!"

"Dengan fungsi protap itu, jajaran Polri dan para pengunjuk rasa harus sama memahami batasan kadar suatu tindakan bisa digolongkan anarki atau belum!" timpal Amir.

"Persamaan persepsi itu penting, agar tak terjadi salah tafsir yang justru menyulut anarki, padahal tujuannya menghindari anarki! Jadi, selain pada jajaran Polri, sosialisasi juga harus dilakukan pada pengurus organisasi massa dan Polisi Pamong Praja (Pol. PP) yang juga sering menghadapi aksi massa!"

"Persamaan standar pada semua pihak penting, agar unjuk rasa sebagai medium demokrasi berjalan semakin mencerminkan kehidupan masyarakat beradab pelaksanaan dan pengamanannya!" tegas Umar. "Lebih lagi bagi bangsa Indonesia, unjuk rasa bukan hal baru dalam budaya politiknya! Sejak era Majapahit unjuk rasa sudah dikenal dengan pepe—berjemur diri—di alun-alun. Bertolak dari budaya politik itu hingga kini di setiap kantor bupati di Jawa selalu ada alun-alun—sebagai domain rakyat! Berarti, kantor kepala daerah yang tak punya alun-alun, seperti kantor wali kota Bandar Lampung, budaya politiknya belum memberi tempat domain rakyat—padahal arti demokrasi pemerintahan oleh rakyat!"

"Tatanan bangunan kantor penguasa yang tak menyiapkan domain rakyat itu jadi penyulut unjuk rasa mudah menjadi anarki!" timpal Amir. "Karena unjuk rasa cuma bisa di jalan raya—ruang publik—mengganggu kepentingan umum! Akibatnya, harus dipaksa bubar, jadi bentrokan!"

"Anarki juga disulut sikap elite para pengambil keputusan yang ndableg—tak mau mendengar aspirasi rakyat yang disampaikan pengunjuk rasa, karena lebih asyik dengan kepentingan pribadi atau kelompoknya saja!" tegas Umar. "Karena itu, budaya demokrasi yang beradab harus diujudkan secara simultan, bukan hanya pada aksi massa dan polisi, tapi juga pada elite eksekutif dan legislatif dengan senantiasa siap mengakomodasi aspirasi rakyat! Kalau cuma pengunjuk rasa yang beradab sedang elitenya tidak, demokrasinya jadi cuma setengah beradab!" ***

Selanjutnya.....

Petani Andalan dan 'Subsistence Ethic'!


"CUACA ekstrem ancam stok pangan nasional!" ujar Umar. "Banjir dan kemarau merusak lahan 150 ribu hektare! Wereng coklat, penggerek batang, dan tikus merusak 473 ribu hektare. Total rusak 623 ribu hektare! (Lampost, [7-10]) Terkesan petani kita tak berdaya menghadapi perubahan iklim!"

"Laporan itu fakta!" timpal Amir. "Tapi para petani andalan dalam KTNA (Kontak Tani Nelayan Andalan) yang rembukan di Sleman, menuding itu terjadi akibat pemerintah lamban menanggulangi perubahan iklim! Justru di pihak KTNA, banyak inovasi mengatasi perubahan iklim mutakhir, dari mengamankan tanaman dari pembusukan akibat terendam hingga mereduksi serangan hama!" (Kompas, [11-10])

"Itu berarti tinggal terbatas petani yang masih tangguh!" tegas Umar. "Kalau pemerintah dituding sebagai penyebab hilangnya ketangguhan mayoritas petani, realitasnya memang begitu! Karena itu terjadi akibat sirnanya dari mayoritas petani kita subsistence ethic—susila kemelaratan—tata krama kehidupan dari sosial ekonomi sampai cara bertani yang berorientasi menghindari bahaya kelaparan! Subsistence ethic itu ditemukan James C. Scott pada masyarakat agraris Asia Tenggara dalam penelitian berjudul The Moral Economy of the Peasant: rebellion and subsistence in Shouteast Asia (1977). Tanpa etika itu, petani bisa tak berdaya dalam sosial ekonomi dan budi daya taninya!"

"Apa dasar tudingan sirnanya susila kemelaratan itu kesalahan pemerintah?" tanya Amir.

"Contoh studi masalah ini dalam konteks Indonesia Kasus Siriaria, Tapanuli Utara (1979), ketika pemerintah gencar mengintensifikasi tanaman kopi untuk memacu ekspor!" jelas Umar. "Di era Orde Baru itu, ratusan ibu dari Siriaria menyerang polsek dan merampas senjata polisi! Mereka tolak mengubah cara bertanam kopi dari barisan dengan jarak amat jarang, jadi barisan rapat agar tanaman jadi homogen!"

"Kenapa mereka lawan program pemerintah sampai dengan tindak 'rebellion' itu?" kejar Amir.

"Intinya untuk menghindari bahaya kelaparan!" tegas Umar. "Selain tanaman kopi jarak antarbarisan jauh itu subur dan produksinya tinggi, gang yang lapang itu justru core business mereka, untuk tanaman sela padi dan palawija sesuai musimnya! Pemerintah yang gila devisa tak melihat itu, mereka 'berontak'!"

"Kalau itu contohnya, banyak subsistence ethic petani yang tergilas program pemerintah, seiring musnahnya clone padi dan tanaman lokal dari Bumi Pertiwi!" timpal Amir. "Lucunya, setelah petani tak punya ketahanan kultural bercocok tanam, pemerintah lamban pula mengantisipasi perubahan iklim—petani terkapar gagal panen, terancam kelaparan!" ***

Selanjutnya.....

'Rolling', Suksesi, dan Keniscayaan Sirkulasi Elite!


"PERGANTIAN pejabat atau disebut rolling usai pilkada itu keniscayaan!" ujar Umar.

"Pilkada itu proses suksesi, perebutan kekuasaan untuk pergantian rezim—
sirkulasi elite! Dahulu perebutan kekuasaan dilakukan dengan saling bunuh, seperti Tunggul Ametung dibunuh Ken Arok, Ken Arok dibunuh Ken Umang! Kini suksesi dilakukan secara demokratis lewat dukungan suara rakyat terbanyak!"

"Tapi keniscayaan sebagai konsekuensi suksesi itu tetap berlaku—yang berjasa dapat penghargaan, 'pengkhianat' dapat hukuman!" sambut Amir. "Itu dilakukan lewat restrukturisasi birokrasi oleh pemenang, sehingga tatanan birokrasi lama jadi rolling stone, batu bergelindingan, diganti pejabat baru sebagai proses sirkulasi elite—putaran roda sejarah—
yang di bawah naik dan sebaliknya!"

"Maka itu, tak tahu diri jika seorang pejabat yang sebelumnya dengan gagah mendukung salah satu calon dalam pilkada, saat calonnya kalah dimutasi merengek seolah penguasa baru tidak adil!" tegas Umar. "Seharusnya ia menyadari itu dan dengan gagah menerima kenyataan jagonya kalah—itung-itung kalau zaman dahulu, sejak awal ia memihak sudah siap dihukum berat jika jagonya kalah—disingkirkan dari jabatan dalam rezim baru itu konsekuensi logis sebuah pilihan! Masalahnya, memenangkan pilkada pada perebutan kekuasaan itu bukanlah hal yang mudah, hingga jika dia di pihak yang bertentangan setelah lawan menang mau ikut enaknya juga, kan aneh!"

"Dengan keniscayaan pilkada itu proses suksesi dengan perebutan kekuasaan secara demokratis, dengan janji akan memerintah lebih baik dari yang dikalahkan, penyusunan kembali batu dalam bangunan birokrasi kekuasaan baru harus lebih baik dari sebelumnya!" timpal Amir. "Tapi justru itulah yang sulit dilakukan dalam birokrasi rolling stone! Sebab, untuk mencapai struktur ideal dengan penempatan pejabat sesuai prinsip profesionalisme berdasar kompetensi, prestasi, jenjang pangkat, pengalaman dan lain-lain, tak selalu tersedia cukup orang di jajaran pendukung penguasa baru! Akibatnya, semua harus dicoba dulu, yang masih kurang pas di-rolling lagi, dan rolling lagi! Untuk itu keluarlah justifikasinya, mutasi itu masalah rutin yang biasa saja!"

"Akhirnya, keberhasilan kekuasaan diukur oleh kepuasan penguasa mendapatkan pelayanan dari birokrasinya itu sendiri!" tegas Umar. "Objektif rakyat pemilih untuk mendapatkan pelayanan, infrastruktur dan kesejahteraan yang lebih baik, cukup dipenuhi lewat retorika—meski sering ngawur pula!" ***

Selanjutnya.....

Kemiskinan dan'Higher Complex'!

"JIKA minder wardigheits complex-rasa rendah diri-mencengkam kaum miskin hingga tak mampu meraih akses mengentaskan diri dari kemiskinan, sebaliknya higher complex membuat usaha barisan penguasa mengentaskan warga miskin terkendala!" ujar Umar.

"Higher complex seperti anak elang belajar terbang, saat melihat hewan sebesar tikus yang disajikan induknya saat ia baru menetas, langsung terjun menukik untuk menangkapnya! Ternyata ia tadi terbang terlalu tinggi, saat dekat hewan itu besar sekali, seekor gajah! Tentu ia tak mampu mengangkatnya!"

"Demikianlah penguasa, apalagi sedang kemaruk, terbangnya tinggi-tinggi dan jauh dari negerinya, dari satu ke lain benua, hingga aneka masalah besar membelit mayoritas warga miskin mereka lihat jadi tampak kecil, bahkan tak terlihat hingga disepelekan lalu dianggap tak ada!" timpal Amir. "Karena terbiasa hidup di negeri asing, elite itu pun lantas bergaya hidup asing, jadi selebritas di samudera kemelaratan rakyatnya, dengan biaya yang bahkan jauh lebih besar dari program untuk puluhan juta warga miskin!"

"Memang, biaya perjalanan ke luar negeri pejabat negara, eksekutif dan legislatif, dalam APBN 2010 sebesar Rp19,7 triliun, biaya Jamkesmas untuk 22 juta warga miskin Rp4,5 triliun dan program pengentasan kemiskinan Rp7 triliun!" tegas Umar. "Dana untuk warga miskin cuma separuh biaya terbang 1.000-an orang pejabat itu, mirip anak elang mengangkat gajah kemiskinan puluhan juta warga! Tak mungkin berhasil!"

"Kalau dalam skala nasional kisah pengentasan kemiskinan begitu, riwayatnya di daerah tak kalah ngenes!" timpal Amir. "Sudahlah Pemprov lepas tangan karena orang miskin itu warga pemkab atau pemkot, masalah pengentasan kemiskinan bukan prioritas pula di tingkat dua! Bahkan dana APBD untuk itu sering tak jelas! Jika pun ada Jamkesmas dan sejenis yang seharusnya turunan APBN lewat DAU, jumlahnya tak lepas dari ulur-tarik kepentingan eksekutif-legislatif!"

"Lebih parah higher complex politisi DPRD!" tegas Umar. "Di kabupaten termiskin provinsi kelompok termiskin, RAPBDP idealnya digarap Agustus agar waktu penyerapan anggaran pelayanan rakyat maksimal, Oktober dasar prinsip dan acuan saja belum selesai, malah prosesnya disendat DPRD! Padahal, jika batas waktu dilampaui, anggaran harus ditutup dan masuk APBD tahun berikutnya, anggaran pemeliharaan terkendala dengan akibat sarana layanan publik semakin buruk! Kabupaten termiskin klop dengan layanan publik terburuk! Kemiskinan dari termiskin, kaprah nian!" ***

Selanjutnya.....

Kakek Puji Timnas Menghormati Tamu!

BEGITU peluit akhir berbunyi, kakek mengacungkan empat jempol tangan dan kakinya memuji Tim Nasional Sepak Bola Indonesia yang memberi kemenangan 1-7 kepada tamunya, Uruguay!

"Itu ekspresi bangsa yang ramah menghormati tamu—dalam bahasa kita disebut nemui nyimah—menjamunya dengan kenangan indah yang tak terlupakan!" tegas kakek. "Sikap luhur itu layak jadi teladan bagi warga bangsa yang mengalami krisis budi pekerti dewasa ini!"

"Tapi menjamu tamu dalam sepak bola beda dari tamu lain!" timpal cucu. "Dalam sepak bola justru lazim tuan rumah memberi kenangan dengan hidangan yang menguras keringat, sajian pedas!"

"Cara menjamu tamu yang kau sebut lazim itu tak sesuai dengan kepribadian bangsa kita yang unik!" tegas kakek. "Keunikan itu membuat di antara kita yang telah sublim dengan nilai-nilai universal merasa kurang pas, bahkan sakit perut!"

"Lantas bagaimana dengan hasil pertandingan itu yang telah membuktikan pembinaan sepak bola nasional gagal dalam segala hal?" kejar cucu.

"Bukti gagal dalam segala hal itu menurut ukuran siapa?" kakek balik bertanya. "Kalau mereka yang secara formal berhak menilai justru menyatakan hasil itu tanda sukses, baru bisa disebut gagal kalau kalah 1-13, itulah yang resmi berlaku! Apalagi dalam sistem persepakbolaan Indonesia orang di luar PSSI tak berhak menilai segala hal di internal organisasi itu, tanggapan dan penilaian orang luar dianggap angin lalu saja oleh PSSI, seburuk apa pun realitas sepak bola nasional!"

"Kalau begitu sepak bola nasional telah dijadikan milik pribadi pengurus PSSI, bukan lagi milik seluruh bangsa yang sejatinya merupakan stakeholder!" tukas cucu. "Tanpa kecuali sumber utama kekuatan sepak bola nasional itu pada dukungan seluruh masyarakat bangsa selaku stakeholder dimaksud!"

"Tapi buktinya dukungan stakeholder itu lewat Kongres Sepak Bola Nasional, yang bahkan dibuka Presiden Yudhoyono, hasilnya tak dianggap penting oleh PSSI pun tak ada masalah!" timpal kakek. "Semua itu justru ada hikmahnya, dalam keterpurukan fatal sepak bola nasional seperti sekarang, yang terpuruk sesungguhnya cuma PSSI dengan internal pengurusnya, bukan seluruh masyarakat bangsa Indonesia! Dengan kenyataan demikian, saat bisa mengekspresikan budaya bangsa dalam menghormati tamu saja pun sudah layak diacungi jempol! Jangan terlalu harapkan sekadar ogah-ogahan formalisme segelintir orang bisa mewujudkan kebanggaan nasional bangsa sebesar 237 juta jiwa!" ***

Selanjutnya.....

Mesuji, Negeri Tidak Bertuan!


"PROSESNYA demikian cepat wilayah Kabupaten Mesuji menjadi gudang senjata api ilegal!" ujar Umar. "Dari disebut-sebut tempat teroris belanja senjata api, pendodos (maling sawit) bersenjata api, lalu serial perampokan bersenjata api mulai atas truk Colt Diesel bersama isinya di lintas timur Km 173, kawasan Register 45 Sungaibuaya (15-9), sampai perampokan uang gaji PT BSMI Rp168 juta (7-10), dengan menembak jarak dekat satpam!"

"Dari pantauan wartawan Lampung Post, di lokasi kawasan Register 45 Sungaibuaya pendudukan perambah semakin banyak! Penebangan pohon albasia (Albizia alcataria) juga semakin terbuka!" sambut Amir. "Hampir seluruh kawasan hutan Register 45 yang sebelumnya ditanami albasia, saat ini sudah ditebang perambah dibuat arang. Sebagian dibakar begitu saja di lokasi!"

"Dengan kombinasi situasi demikian, tampak kini Mesuji telah menjadi negeri tak bertuan!" tegas Umar. "Untuk itu semua pihak—polisi, Pemkab, dan Pemprov, serta instansi terkait—tak layak menipu diri lagi seolah-olah di Mesuji tak ada masalah! Langkah cepat, efektif, serentak dengan kekuatan yang mumpuni tak boleh ditunda lagi!"

"Kondisi Mesuji yang sudah sedemikian genting harus cepat diamankan dan ditertibkan, karena bisa saja warga sipil yang baik-baik jadi korban kebrutalan kelompok bersenjata api, atau korban kerusuhan akibat situasi yang sangat rawan itu!" timpal Amir. "Lebih serius lagi, karena justru pihak kepolisian sendiri yang mengaitkan daerah ini sebagai mata rantai jaringan teroris, menjadi keharusan polisi pula menuntaskan pembersihan gerombolan bersenjata api dari daerah ini, bisa jadi perampokan-perampokan yang dilakukan di daerah ini bermodus sama dengan di Sumut!"

"Penindakan hukum guna menegakkan keamanan dan ketertiban di wilayah Mesuji tak bisa tidak harus dilakukan secara komprehensif—saksama dari berbagai dimensinya!" tegas Umar. "Sebab, selain rakyat tak berkutik menghadapi kelompok bersenjata api, wartawan Lampung Post juga melaporkan kekuatan-kekuatan masyarakat setempat, seperti Pemuda Pencinta Lingkungan Hidup (PPLH) dan pasukan pengamanan (Pam) PT Inhutani sudah tak berdaya mengendalikan situasi! Jadi, hanya ketegasan tindakan hukum formal yang bisa diharapkan!"

"Alasan strategis penertiban kawasan Mesuji harus diprioritaskan karena Lampung secara umum merupakan daerah antara bagi mobilitas teroris Jawa-Sumatera!" timpal Amir. "Mesuji yang lawless (tak bertuan) dan 'bebas senjata api' bisa jadi lintasan nyaman buat teroris!" ***

catatan utk korektor, yg benar kayu albasia (albizia falcataria), bukan alkasia! Kalau akasia, jenis lain yg utk taman kota--juga bukan alkasia!

Selanjutnya.....

Konflik Berlatar Kesenjangan!


"WAKIL Presiden Budiono dan Pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) membicarakan masalah konflik bernuansa agama yang sesungguhnya berlatar kesenjangan ekonomi!" ujar Umar. "Kata Wapres, kesenjangan ekonomi yang terjadi pada umat Islam itu akibat hasil pembangunan belum merata menetes ke seluruh lapisan masyarakat! Karena itu, perlu pemberdayaan umat melalui pemerataan ekonomi untuk menutup peluang konflik tersebut!" (Kompas, [7-10])

"Ketua MUI Slamet Effendy Yusuf yang ikut dalam rombongan Ketua Umum MUI Sahal Mahfudh itu menyatakan hal seperti itulah yang sering digeneralisasi sebagai konflik agama!" timpal Amir. "Ia memberi contoh, suatu kawasan yang sebelumnya dihuni satu komunitas agama kemudian berubah setelah menjadi hunian baru! Warga asli yang tergusur tetap miskin, sedang penghuni baru dari kelompok kaya kebetulan sebagian besar beda agama! Jadi latar konflik sesungguhnya kesenjangan ekonomi!"

"Masalah utamanya memang kesenjangan! Tapi sejauh ini, masalah kesenjangan itu pun tidak dicarikan solusi sosial budaya, tapi lebih dengan usaha meneteskan kemakmuran pada kelompok miskin yang dasar bernasib malang, lebih setengah abad usaha itu dilakukan berbagai rezim, kemakmuran tak kunjung menetes juga!" tegas Umar. "Pokok masalahnya, karena kemakmuran sejak zaman Belanda selalu enklave—ditembok tinggi secara fisik dan ekonomis—tak kunjung diruntuhkan seperti tembok Berlin! Selain tembok nyata yang memagari real estate kelas atas dari warga sekitarnya, bahkan tembok dalam tembok alias cluster, warga pinggiran dijadikan momok sumber gangguan, secara ekonomis warga kompleks mewah beli sayur dan buah dari supermarket, bukan dari warga sekitar!"

"Dari gambaran itu yang terlihat malah bukan lagi kesenjangan ekonomi, intinya malah kesenjangan budaya!" timpal Amir. "Kesenjangan budaya itu mencolok justru di puncak kemakmuran, seperti Freeport dan sekelasnya, di sekitarnya selalu terdapat kelompok warga termiskin yang amat kontras secara budaya! Kontras nian, jika warga miskin memulung sampahnya saja pun, ditembak satpam!"

"Jadi terlihat, mengatasi kesenjangan ini tak akan cukup hanya dengan meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar menetes ke kaum miskin, karena saluran rembesannya tumpat!" tegas Umar. "Jadi harus membuka sumbatannya lewat dakwah dengan ajaran moral rasa senasib sebangsa terutama pada pihak yang enklave! Tentu bukan sembarang dakwah, tapi dakwah seperti para wali yang menyatukan umat secara budaya!" ***

Selanjutnya.....

Politik itu Seni, kok Politisi Aktornya Tak Tahu Tugas?


"RUMUSAN Aristoteles, politik itu seni mengelola kehidupan kolektif untuk kemaslahatan bersama! Untuk itu, politisi sebagai aktornya!" ujar Umar. "Tapi aktor tersebut—para anggota DPR kita—oleh peneliti politik LIPI Syamsuddin Haris dan Direktur Eksekutif Center for Electoral Reform Hadar Gumay dinilai tak tahu tugas legislatif dalam membuat UU dan mengawasi. Sebagian besar anggota DPR memandang menampung aspirasi konstituen selalu harus melibatkan bantuan uang dan materi belaka!" (Kompas, [6-10])

"Kesimpulan Haris perlu meningkatkan kualitas anggota Dewan agar tahu apa yang dimaksud aspirasi dan kepentingan rakyat, menunjukkan para aktor di pentas politik kita memprihatinkan!" sambut Amir. "Pemahaman mereka aspirasi itu adalah uang atau material yang mereka bagi-bagikan ke konstituen, jelas mereduksi demokrasi! Dari pemahaman itu sukar diharap mewujudkan kemaslahatan bersama dalam konteks luas kehidupan bernegara-bangsa!"

"Dengan begitu, tugas utama yang dilakukan oleh para anggota DPR hanya mencari uang sebanyak-banyaknya dari APBN untuk dibagi langsung ke konstituen!" tukas Umar. "Tak ayal, dana aspirasi yang menurut Budiman Sujatmiko Rp215 juta per tahun dalam gaji anggota DPR Rp65 juta per bulan jadi tak cukup, sehingga perlu tambahan lewat proyek aspirasi Rp15 miliar per tahun per anggota, lalu dana rumah aspirasi, dan entah apa lagi nanti!"

"Lucunya, dengan pemahaman sedemikian para anggota DPR jadi takut jumpa konstituen, hingga datang ke konstituen lima tahun sekali saat dekat pemilu!" timpal Amir.

"Dengan begitu, bahkan dana aspirasi yang Rp215 juta setahun itu pun utuh untuk menopang hidup anggota DPR yang cenderung bergaya selebritas! Akibatnya, hanya kemaslahatan bersama kalangan anggota DPR saja yang terwujud, bukan kemaslahatan bersama seluruh warga bangsa seperti maksud politik sebagai seni!"

"Politik sebagai seni tentu seni peran! Bayangkan kalau dalam suatu pentas seni peran itu, para aktor tak tahu tugas harus berperan bagaimana tampil di pentas, jelas pentas kacau—jangankan menghasilkan keindahan, jalan ceritanya saja tak jelas!" tegas Umar. "Celakanya, pada pementasan yang sedemikian buruk itu para aktor menuntut bayaran jauh lebih tinggi dari kewajaran!"

"Dan bayaran itu uang rakyat atau konstituen yang lima tahun sekali mereka kembalikan ala kadarnya!" timpal Amir. "Begitulah ketika politik gagal dimainkan sebagai seni, kemaslahatan bersama warga bangsa cuma retorika!" ***

Selanjutnya.....

Dicari, Kapolri yang Berani dan Tegas Basmi Anarkisme!


"SELEKSI calon kapolri kali ini dapat perhatian ekstrawarga!" ujar Umar. "Dimaklumi, meskipun prestasi polisi baik dalam menumpas teroris, dalam berbagai tugas polisi melindungi, mengayomi, melayani, dan menegakkan hukum masih perlu peningkatan! Selain korupsi, maraknya anarkisme—aksi massa brutal, premanisme, dan gerombolan bersenjata api—membutuhkan kapolri baru yang berani dan tegas!"

"Soal sosok tak penting lagi, Presiden mengajukan calon tunggal ke DPR!" timpal Amir. "Tapi siapa pun orangnya, diharapkan bisa memerankan karakter tokoh sesuai dengan ‘skenario' dambaan rakyat! Karakter berani dan tegas membasmi anarkisme!"

"Tapi ada batas kemampuan manusia!" tegas Umar. "Karena itu, setiap kapolri terbatas catatan prestasinya! Sutanto, sukses membasmi judi! Bambang Hendarso Danuri sukses menumpas teroris! Kapolri berikutnya, sembari meningkatkan laju pemberantasan korupsi mendukung kejaksaan dan KPK, menghabisi anarkisme dalam segala bentuknya, bisa jadi paket prestasinya!"

"Paket membasmi anarkisme itu bisa bertolak dari pernyataan mantan Wakil Presiden M. Jusuf Kalla, dari setiap aksi massa anarkis harus ada pelaku dan inisiator yang ditindak dan diproses hukum! Tak boleh lagi jika tindakan anarki dilakukan beramai-ramai seolah bebas dari hukum!" timpal Amir. "Model ini diterapkan dalam perjanjian damai Tarakan, meskipun kedua pihak menyepakati damai, semua pelaku tindak anarki tetap diproses hukum!"

"Keberanian dan ketegasan membasmi anarkisme itu bukan hanya pada kapolri sorangan!" tegas Umar. "Melainkan, dengan komando tunggal di tangannya, segenap jajaran Polri di Tanah Air dengan 400 ribuan personel itu menjalankan secara konsekuen! Seperti saat pemberantasan judi, dari kesatuan teratas sampai ujung tombak—pos dan polsek—bertindak tanpa kompromi di yurisdiksinya, dari judi kelas atas sampai jalanan!"

"Namun, membasmi anarkisme beda, bisa dapat perlawanan dari massa! Pengalaman di Lampung, saat polisi menahan pelaku anarki, mapolsek bisa diserang massa!" timpal Amir. "Untuk mengatasi itu, secara internal kepolisian membuat ketentuan prosesnya ditarik ke atas! Kasus polsek ditangani polres, jika ancamannya serius ditarik ke Polda!"

"Juga aspek penjeraannya! Polri buat ketentuan khusus pada pelaku anarki, tak boleh dibantar dan dikunjungi!" tegas Umar. "Dengan begitu, andaikan tuntutan jaksa dan putusan pengadilan nantinya ringan, pelajaran penting sudah diperik dari proses di Polri! Jika setiap tindak anarki nongol dibabat polisi, anarkisme bisa habis!" ***

Selanjutnya.....

Tekanan Aksi P3UW Uji Keteguhan Polri!


"JIKA Selasa ini massa Perhimpunan Petambak Plasma Udang Windu (P3UW) dari Bumi Dipasena masih bertahan di depan DPRD, sedang Polda Lampung belum menangguhkan penahanan tujuh tersangka perusakan, maka genap tujuh hari tekanan aksi massa P3UW menguji keteguhan Polri dalam tugasnya menegakkan hukum!" ujar Umar.

"Kemampuan P3UW memperpanjang aksinya tak diragukan! Apalagi kali ini jumlah massa relatif kecil, dibanding aksi-aksi sebelumnya!" sambut Amir. "Tapi kurang tepat jika P3UW menghadapkan massanya sebagai tekanan terhadap Polri! Sebab, komunikasi itu apa yang Anda katakan tentang apa yang saya katakan atau lakukan! Untuk itu, Kapolda Lampung telah merespons tekanan massa P3UW itu dengan penegasan, jangan intervensi proses hukum!"

"Meski konteks ucapan Kapolda ke P3UW, peringatan untuk tidak mengintervensi proses hukum itu bersifat terbuka, juga untuk jadi perhatian pihak lain, pejabat pemerintah, legislatif, maupun organisasi masyarakat!" tegas Umar. "Namun, sebagai alamat peringatan Kapolda, jika peringatan itu tak dihiraukan P3UW, misalnya tekanan massa malah diperbesar, bisa menimbulkan kesan P3UW memaksakan kehendak!"

"Kesan demikian merugikan nama P3UW, sebagai organisasi sosial kemasyarakatan sah yang idealnya menghormati proses hukum!" timpal Amir. "Kesan P3UW suka memaksakan kehendak itu juga jadi pembenaran pada langkah PT AWS yang telah membuat Perjanjian Kerja Sama (PKS) inti-plasma untuk mengelola tambak—
termasuk revitalisasi—dengan Lembaga Manajemen Plasma Kampung (LMPK), Badan Perwakilan Kampung (BPK), dan Pemerintah Kampung—bukan dengan P3UW!"

"Karena itu, jika P3UW mau mengklaim paling berhak mewakili plasma dalam PKS, P3UW harus menjauhkan segala kesan negatif atas dirinya!" tegas Umar. "Misalnya. kesan P3UW kurang kooperatif, hingga gonta-ganti manajemen inti pun selama satu dekade ini, usaha revitalisasi tambak di Bumi Dipasena selalu terkendala! Kesan begitu bisa jadi pembenaran bagi usaha PT AWS membuat PKS dan melakukan revitalisasi dengan pendekatan lain, tanpa P3UW, yang menurut massa P3UW di lokasi aksi pada wartawan Lampost, revitalisasi kini sudah berjalan baik, tak ada masalah!"

"Hak P3UW mengerahkan massanya untuk menekan polisi atau meluluskan klaim sebagai wakil petambak dalam PKS?" timpal Amir. "Namun, jika untuk integrasinya ke PKS, berarti butuh dukungan pemerintah, instansi keamanan dan perusahaan inti, P3UW harus mengubah wajah perjuangan menjadi lebih simpatik! Dukungan sulit didapat lewat pemaksaan kehendak!" ***

Selanjutnya.....

Kilah Regulator Benam Operator!

"SETIAP terjadi kecelakaan transportasi berakibat korban jiwa banyak, pejabat pemerintah terkait selalu berkilah mengelak dari tanggung jawabnya selaku regulator, sambil membenamkan pihak operator seperti PTKA, Pelni, atau Garuda!" ujar Umar. "Pokoknya kesimpulan pertama dari setiap kecelakaan adalah, regulator can do no wrong!"

"Itu kebalikan dari negara maju, regulator jadi pihak pertama yang bertanggung jawab! Di negeri tertentu, menterinya langsung mundur!" sambut Amir. "Cara itu lazim di negara maju karena segala yang bersifat prinsip dan mendasar, penetapan standarnya—dari infrastruktur, instrumen sampai aturan sistem operasionalnya—dilakukan oleh regulator! Sedang operator sebatas pelaksana! Bahkan saat terjadi human error, sistemnya yang dianggap salah—melampaui batas kemampuan manusia—atau integrated control-nya lemah!"

"Di sini, human error justru pernyataan pertama untuk membebaskan regulator dari tanggung jawab dengan membenamkan operator, tanpa peduli prinsip dasar sistemnya ditetapkan oleh regulator!" tegas Umar. "Konsekuensi dari 'tradisi' itu, negeri dengan regulator bertanggung jawab selalu menapak maju, sedang negeri dengan regulator tak bertanggung jawab selalu menapak mundur, semakin terbelakang!"

"Kenapa bisa begitu?" potong Amir.

"Karena di negeri yang regulatornya bertanggung jawab itu jika terjadi kelemahan
para pejabatnya segera berganti dan sistemnya disempurnakan! Maka itu, selalu menapak maju!" jawab Umar. "Sedang di negeri regulator tak bertangung jawab, para pejabat yang bego tetap bertahan, sistem yang bobrok tetap dipakai! Akibatnya tak ada perbaikan, yang busuk makin dominan! Lebih celaka lagi, para pekerja teknis jajaran operator yang bergaji kecil harus memikul kesalahan elite bergaji besar yang seharusnya bertanggung jawab atas setiap kecelakaan itu!"

"Ketika yang seharusnya bertanggung jawab tak dituntut tanggung jawabnya, konsekuensinya luas, terutama dalam pembentukan piramida moral!" timpal Amir. "Dalam masyarakat beradab, komposisi tanggung jawab sebagai struktur moral berbentuk piramida terbalik—makin tinggi posisi semakin besar tanggung jawabnya! Jika terjadi sebaliknya, makin rendah posisi justru tanggung jawabnya semakin besar seperti tenaga teknis operator di negeri kita, makin tinggi posisi makin kecil tanggung jawab moralnya, maka terbentuk masyarakat dengan lapisan atas atau elite yang makin tak bertanggung jawab dan tak bermoral!" ***
Selanjutnya.....

Ekspresi Kepanikan Bangsa yang Stres!


"BERSAMAAN pengerahan pasukan memburu gerombolan bersenjata api di Dolok Masihul, Sumut, malam Sabtu massa di Bogor menyerbu permukiman sebuah sekte, membakar masjid dan sejumlah rumah warga!" ujar Umar. "Di jalur kereta api (KA) terjadi dua kecelakaan! Di Stasiun Petarukan, Pemalang, KA eksekutif Argo Bromo Anggrek menyeruduk KA bisnis Senja Utama, 42 orang tewas puluhan luka parah! Di Purwosari, Solo, KA Bima menghajar KA Gaya Baru!"

"Dirangkai dengan aneka kekerasan di berbagai daerah sepanjang dua pekan dan malam terakhir yang terpicu frustrasi masif, kecelakaan beruntun KA itu justru menjadi simpul ekspresi kepanikan bangsa yang sedang stres!" sambut Amir. "Itu lebih jelas lagi dengan kepastian Kapolda Jateng Edward Aritonang, tak ada gangguan pada sistem sinyal di Stasiun Petarukan ketika KA Senja Utama berhenti memberi jalan KA eksekutif Argo Bromo Anggrek—yang justru melaju di jalur sama!"

"Dengan yang menyeruduk justru KA eksekutif (Argo Bromo dan Bima) yang lebih 'elite' hingga seharusnya jauh lebih aman, mencerminkan tekanan stres dan kepanikan justru lebih bersifat sistemik dalam manajemen KA!" tegas Umar. "Masinis dan KA-nya hanya sekrup kecil dari sistem keseluruhan! Lebih jauh lagi, sistem manajemen KA hanya salah satu unit dari sistem lebih besar—pengelolaan BUMN sebagai tangan pemerintah!"

"Jaringan pemerintahan, seperti listrik, kalau generator pusatnya byarpet, di ujung-ujung jaringan dengan sendirinya ikut byarpet!" timpal Amir. "Jika Menhub Fredy Numberi cenderung menilai kecelakaan KA di Petarukan human error, yang error itu masinis, atasan masinis, atasan dari atasan masinis, dan atasan-atasan seterusnya lagi!"

"Masalahnya, kepanikan terjadi akibat stres pada masinis, stres itu tekanan! Dan tekanan, secara umum, datang dari atas! Kalau dari bawah disebut dongkrak!" tegas Umar. "Stres yang berlapis-lapis dari atas itu semua menumpuk di kepala masinis, matanya jadi tak mampu melihat sinyal dengan benar hingga memacu keretanya di jalur salah!"

"Karena itu, berdasar prinsip pemerintah sebagai pusat generator listrik—termasuk atas masyarakat bangsa yang harus dibuatnya 'nyala'—kunci untuk menyembuhkan dari kepanikan bangsa yang stres itu adalah mengusahakan agar pusat generator itu tidak lagi byarpet!" timpal Amir. "Tapi usaha itu sia-sia jika byarpet itu justru dianggap sebagai keunggulan pusat generatornya, malah ngotot dipertahankan! Tak aneh jika itu pangkal frustrasi, kepanikan, dan stres masif maupun sistemik!"

Selanjutnya.....

Rasa Aman Warga yang Kian Terusik!


"SPIRAL kekerasan yang pekan ini meninggalkan Sumatera, merebak ke Kalimantan dan Jawa, ternyata siklusnya pendek! Kamis malam, belasan orang bersenjata api merampok petugas retribusi Kecamatan Rambutan, pinggir kota Tebing Tinggi, Sumatera Utara!" ujar Umar. "Kontak senjata terjadi dengan polisi yang memburu mereka ke Kecamatan Dolok Masihul, Kabupaten Serdang Bedagai, sepanjang Jumat! Dalam buruan itu, empat motor rampok habis bensin ditinggalkan, lalu diganti dengan merampok motor warga!"

"Tampak, rasa aman warga terusik!" sambut Amir. "Dalam seketika warga terjebak situasi yang bisa mencelakakan dirinya!"

"Itu bukan sekadar terusik rasa amannya, malah sudah terancam keamanannya!" tukas Umar.

"Terusik menyentuh kesadaran, membuat orang resah-gelisah, sedang ancaman bisa tak disadari!" jelas Amir. "Maka itu, terusik lebih berpengaruh dalam masyarakat! Terusik menyulut keresahan, berarti rasa tata tentrem kerta raharja yang jadi tanggung jawab polisi terganggu! Dengan istilah terusik, lebih fokus buat siapa semprit berbunyi!"

"Tapi kejadian yang menjebak warga dalam sudden deadly condition itu kan jauh, di Sumatera Utara, ribuan mil dari Lampung!" tukas Umar.

"Dalam gejala kekerasan terakhir ini, Sumatera jadi kesatuan wilayah operasi penjahat secara tak terpisahkan!" timpal Amir. "Apalagi Lampung, terkait langsung dengan setiap kekerasan yang terjadi! Terkait aksi teroris di Sumut, tiga tersangka ditangkap di Kota Bandar Lampung—dua telah dilepas! Terkait kejadian di Sumbar, satu jenazah pelaku adu tembak dengan polisi dikirim pulang ke Tanjungbintang, Lampung Selatan!"

"Kalau begitu alasannya, kian terusik rasa aman warga!" tegas Umar. "Untuk itu, jadi kewajiban semua komponen masyarakat untuk berusaha secara saksama memulihkan rasa aman warga! Saksama, menyangkut semua dimensi rasa aman—tata tentrem kerta raharja!"

"Jika yang tersimpul dalam tata tentrem kerta raharja, pemulihannya menyangkut dua dimensi, keadilan hukum dan keadilan substansial—sosial ekonomi!" timpal Amir.

"Untuk keadilan hukum, dikeluhkan Kapolda Sumut Irjen Pol. Oegroseno, penjahat bersenjata api cuma dijatuhi hukuman tiga tahun, padahal ancaman dalam UU 15 tahun sampai 20 tahun! Sedang keadilan substansial, dalam keadaan aman saja banyak warga sulit memenuhi kebutuhan keluarganya, konon lagi keamanannya untuk cari makan terganggu!"

"Begitulah terkait rasa aman warga!" tegas Umar. "Koyaknya seketika, pemulihannya butuh waktu!" ***

Selanjutnya.....