Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Kedaulatan Rakyat Tidak Ternilai!

"KEDAULATAN rakyat tak ternilai, tak bisa dihargai dengan sejumlah uang!" ujar Umar. "Kedaulatan itu harkat, martabat, dan harga diri seluruh rakyat Indonesia sebagai bangsa merdeka, menjadikannya sederajat dengan bangsa-bangsa lain!" 

"Oleh karena itu, kalau belakangan ini ada elite politik pragmatis-materialistik yang menilai kedaulatan itu dengan sejumlah uang, memilih uang itu dan menghabisi kedaulatan rakyat, penilaian elite itu jelas berbahaya!" tegas Amir. "Karena, mereka meremehkan kedaulatan rakyat warisan para pejuang kemerdekaan yang telah mengorbankan jiwanya demi meraih kedaulatan rakyat sebagai hakikat kemerdekaan bangsa!"

"Nilai materi yang didapat dari merampas kedaulatan rakyat dengan mengalihkan pemilukada langsung jadi dipilih DPRD itu, menurut Wasekjen Partai Demokrat Ramadhan Pohan (Metro TV, 9/9) sebesar Rp40 triliun dalam satu putaran (lima tahun)!" timpal Umar. 

"Dibanding subsidi BBM 2014 Rp246,5 triliun, biaya pilkada lima tahun itu tak sebesar subsidi BBM untuk dua bulan, yang dihabiskan oleh pemilik mobil di kota-kota besar! Tampak kecil sekali harga kedaulatan rakyat itu dalam penilaian elite politik tersebut!" 

"Sangat memprihatinkan sekali tingkah politikus pragmatis-materialistik yang ingin menukar kedaulatan rakyat hanya dengan argumentasi murahan itu!" tegas Amir. "Kesepakatan reformasi yang selama ini telah berjalan baik, demokrasi 'kerakyatan yang dipimpin oleh kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan', mengatur kewenangan perwakilan (legislatif) mewakili rakyat dalam permusyawaratan—untuk legislasi, mengontrol pemerintah, dan budgeting—karena tak mungkin rakyat melakukannya secara langsung berkumpul membuat UU, mengontrol pemerintah, dan membahas APBN/APBD!" ujar Umar. 

"Sedang untuk memilih kepala pemerintahan (presiden/kepala daerah) yang tak ada disebut harus dilakukan oleh perwakilan, kedaulatan rakyat itu oleh reformasi diaktualisasikan semestinya, yakni rakyat memilih langsung—telah berjalan baik, Indonesia pun jadi negara demokrasi terbesar ketiga di dunia!" 

"Jadi amat naif kalau hanya untuk alasan menghemat biaya demokrasi yang setiap lima tahun hanya setara subsidi BBM dua bulan itu, tradisi demokrasi maju era reformasi yang telah berjalan baik mengaktualisasikan kedaulatan rakyat harus ditarik mundur kembali ke zaman otoriter Orde Baru!" tukas Amir. "Dan itu dilakukan hanya untuk melampiaskan ambisi politikus haus kekuasaan!" ***

0 komentar: