DI tepi jalan raya Perumnas Kemiling, Bandar Lampung, terdapat Pasar Tani. Pada Minggu pagi, para petani datang membawa hasil panen mereka, dari ketela sampai sayur-mayur. Warga sekitar yang dari banyak kompleks perumahan sambil senam pagi datang belanja sayuran dan buah segar langsung dari petani.
Pasar ini sudah berumur belasan tahun tanpa manajemen atau pengelolaan administratif formal, sekaligus tanpa pungutan yang memberatkan pelaku pasar. Harga barang di sini juga bukan mengikuti harga pasar umum, apalagi nasional. Cukup penjual dan pembeli tawar-menawar, lalu transaksi berdasar kesepakatan.
Pasar Tani Kemiling murni pertemuan antara petani dan pembeli. Tak ada campur tangan produsen industrialis raksasa maupun pemodal berkaliber besar. Bahkan, mereka juga kurang diperhatikan penguasa sehingga tak ada pendudukan lokasi oleh investor untuk membangunkan ruko bagi pedagang—yang sering malah jadi masalah.
Sebaliknya, Toko Tani Indonesia (TTI) yang dibuat permanen oleh Kementerian Pertanian di jalan raya seberang SMAN 28 Pasar Minggu, yang diresmikan Menteri Pertanian pada 15 Juni 2016 sebagai solusi memutus mata rantai pasokan pangan yang dinilai terlalu panjang.
Dilaporkan oleh detik-finance, Jumat (21/10/2016), kini TTI sudah lengang. Bahkan ruang tempat memajang barang dagangan kini telah dijadikan lapangan badminton.
Padahal, TTI Pasar Minggu itu, menurut Menteri Pertanian, merupakan pilot project yang akan dikembangkan menjadi 1.000 TTI di seluruh Indonesia. Nyatanya baru berusia empat bulan sudah nyaris gulung tikar.
Konsep TTI untuk mempertemukan produsen, baik petani maupun industrialis, langsung pada konsumen. Gula pasir, minyak goreng, dan produk industrial sejenisnya dijual dengan harga lebih murah dari pasar. Bahkan daging sapi, yang kala itu di pasar umum Rp120 ribu/kg, di situ berkat ditopang sayap amal sebuah konglomerat bisa didapat dengan harga Rp75 ribu/kg.
Kenapa TTI bernasib antagonis dibanding Pasar Tani yang mampu bertahan belasan tahun, tak seorang pun karyawan di lokasi TTI itu yang bisa menjelaskan. Mereka bilang, barang-barang murah itu tak datang lagi.
Dengan prinsip tanpa manajemen adalah manajemen, Pasar Tani Lampung berjalan secara alamiah. Sedang dengan prinsip tanpa manajemen mumpuni bukan manajemen, TTI jadi cuma seumur jagung. Sebagai pilot project, kegagalan TTI wajar. Artinya, perlu perbaikan manajemen untuk dikembangkan menjadi 1.000 TTI di seluruh Indonesia. ***
Pasar Tani Kemiling murni pertemuan antara petani dan pembeli. Tak ada campur tangan produsen industrialis raksasa maupun pemodal berkaliber besar. Bahkan, mereka juga kurang diperhatikan penguasa sehingga tak ada pendudukan lokasi oleh investor untuk membangunkan ruko bagi pedagang—yang sering malah jadi masalah.
Sebaliknya, Toko Tani Indonesia (TTI) yang dibuat permanen oleh Kementerian Pertanian di jalan raya seberang SMAN 28 Pasar Minggu, yang diresmikan Menteri Pertanian pada 15 Juni 2016 sebagai solusi memutus mata rantai pasokan pangan yang dinilai terlalu panjang.
Dilaporkan oleh detik-finance, Jumat (21/10/2016), kini TTI sudah lengang. Bahkan ruang tempat memajang barang dagangan kini telah dijadikan lapangan badminton.
Padahal, TTI Pasar Minggu itu, menurut Menteri Pertanian, merupakan pilot project yang akan dikembangkan menjadi 1.000 TTI di seluruh Indonesia. Nyatanya baru berusia empat bulan sudah nyaris gulung tikar.
Konsep TTI untuk mempertemukan produsen, baik petani maupun industrialis, langsung pada konsumen. Gula pasir, minyak goreng, dan produk industrial sejenisnya dijual dengan harga lebih murah dari pasar. Bahkan daging sapi, yang kala itu di pasar umum Rp120 ribu/kg, di situ berkat ditopang sayap amal sebuah konglomerat bisa didapat dengan harga Rp75 ribu/kg.
Kenapa TTI bernasib antagonis dibanding Pasar Tani yang mampu bertahan belasan tahun, tak seorang pun karyawan di lokasi TTI itu yang bisa menjelaskan. Mereka bilang, barang-barang murah itu tak datang lagi.
Dengan prinsip tanpa manajemen adalah manajemen, Pasar Tani Lampung berjalan secara alamiah. Sedang dengan prinsip tanpa manajemen mumpuni bukan manajemen, TTI jadi cuma seumur jagung. Sebagai pilot project, kegagalan TTI wajar. Artinya, perlu perbaikan manajemen untuk dikembangkan menjadi 1.000 TTI di seluruh Indonesia. ***
0 komentar:
Posting Komentar