DEMO besar umat Islam di Jakarta Jumat (14/10) mengusung spanduk berisi Fatwa MUI bahwa Ahok harus diproses hukum karena menghina Alquran dan ulama, yang berlangsung tertib, tanpa ada kekerasan, lalu bubar tepat waktu, amat mengesankan periset Denny JA.
"Massa yang demo teramat banyak. Isu yang diangkat teramat sensitif. Namun demo bisa berlangsung telatif damai, (di luar hate speech yang tak seharusnya terjadi), ini sebuah kemajuan dari sisi manajemen demo," tulis Denny JA yang dikutip group WA. (15/10/2016)
Kenyataan itu membuat aneh situasi pilkada Jakarta yang ia tulis sehari sebelumnya (14/10/2016), "Reformasi sudah berjalan 18 tahun, tapi ideologi Orde Baru soal SARA masih menghantui. Celakanya ketakutan isu SARA itu juga melanda the so called para pejuang kebebasan, keberagaman, diskriminasi, dll."
Seolah yang boleh dibicarakan dan dikampanyekan hanya program saja, lanjutnya. Seolah isu SARA itu porno, tak boleh dibicarakan terbuka. Isu SARA itu "jijik" dan ingin disembunyikan di bawah permadani.
Celakanya mitos SARA, satu paket dengan ideologi otoritarian Orde Baru yang menganggap isu SARA membahayakan NKRI itu diteruskan sampai kini. Bahkan diyakini pula oleh mereka yang memperjuangkan kebebasan, tukasnya.
Padahal keberagaman yang diperjuangkan harus berangkat dari satu prinsip toleransi. Yaitu menoleransi warga tak hanya beragam soal keyakinan agamanya, tapi juga beragam soal motif memilih pemimpin.
Ada warga memilih pemimpin karena program, karena karakter, atau berdasarkan keyakinan agama. Dan sebagainya. Hak asasi dan demokrasi membolehkan semua itu. Silakan masing-masing meyakinkan publik.
Menyeragamkan perilaku pemilih hanya boleh memilih karena program saja bertentangan dengan prinsip kompleksitas dunia modern. Dunia tak hanya berisi roti dan program saja.
Terkesan Denny berusaha mengubur mitos isu SARA sebagai ancaman yang bisa memecah NKRI, lalu menjadikan isu SARA sebagai soal biasa.
Membiarkan warga mengekspresikan gagasannya, bahkan yang berbasis agama sekalipun, justru bagus buat pemimpin. Yang penting pemerintah tegas memisahkan mana yang kriminal mana yang bukan. Yang harus dilarang dengan keras hanya sisi kriminalnya, hate speech, fitnah, kekerasan, pemaksaan, bukan isi gagasannya.
Isu SARA bisa menjadi soal biasa, bukan ancaman pemecah bangsa, karena SARA itu realitas bangsa Indonesia yang pluralistik! Buktinya, Sumpah Pemuda justru menjadikan kebhinnekaan sebagai pemersatu bangsa. ***
Kenyataan itu membuat aneh situasi pilkada Jakarta yang ia tulis sehari sebelumnya (14/10/2016), "Reformasi sudah berjalan 18 tahun, tapi ideologi Orde Baru soal SARA masih menghantui. Celakanya ketakutan isu SARA itu juga melanda the so called para pejuang kebebasan, keberagaman, diskriminasi, dll."
Seolah yang boleh dibicarakan dan dikampanyekan hanya program saja, lanjutnya. Seolah isu SARA itu porno, tak boleh dibicarakan terbuka. Isu SARA itu "jijik" dan ingin disembunyikan di bawah permadani.
Celakanya mitos SARA, satu paket dengan ideologi otoritarian Orde Baru yang menganggap isu SARA membahayakan NKRI itu diteruskan sampai kini. Bahkan diyakini pula oleh mereka yang memperjuangkan kebebasan, tukasnya.
Padahal keberagaman yang diperjuangkan harus berangkat dari satu prinsip toleransi. Yaitu menoleransi warga tak hanya beragam soal keyakinan agamanya, tapi juga beragam soal motif memilih pemimpin.
Ada warga memilih pemimpin karena program, karena karakter, atau berdasarkan keyakinan agama. Dan sebagainya. Hak asasi dan demokrasi membolehkan semua itu. Silakan masing-masing meyakinkan publik.
Menyeragamkan perilaku pemilih hanya boleh memilih karena program saja bertentangan dengan prinsip kompleksitas dunia modern. Dunia tak hanya berisi roti dan program saja.
Terkesan Denny berusaha mengubur mitos isu SARA sebagai ancaman yang bisa memecah NKRI, lalu menjadikan isu SARA sebagai soal biasa.
Membiarkan warga mengekspresikan gagasannya, bahkan yang berbasis agama sekalipun, justru bagus buat pemimpin. Yang penting pemerintah tegas memisahkan mana yang kriminal mana yang bukan. Yang harus dilarang dengan keras hanya sisi kriminalnya, hate speech, fitnah, kekerasan, pemaksaan, bukan isi gagasannya.
Isu SARA bisa menjadi soal biasa, bukan ancaman pemecah bangsa, karena SARA itu realitas bangsa Indonesia yang pluralistik! Buktinya, Sumpah Pemuda justru menjadikan kebhinnekaan sebagai pemersatu bangsa. ***
0 komentar:
Posting Komentar