SIFAT temperamental kedua pemimpin, Donald Trump dan Kim Jong Un, bisa membuat perang nuklir antara Amerika Serikat (AS) dan Korea Utara (Korut) menjadi kenyataan. Saat ini, kedua pihak sudah loaded, muatan senjata nuklirnya siap diluncurkan.
Korut mengancam akan meluncurkan peluru kendali balistik jarak menengah ke lokasi instalasi militer strategis AS di Guam, sebuah pulau AS di Pasifik. AFP mengutip berita itu dari kantor berita Pemerintah Korut, LCNA, Rabu (9/8/2017).
Ancaman tersebut muncul beberapa jam setelah Trump mengancam Pyongyang atas program nuklirnya. Juga setelah Dewan Keamanan PBB menjatuhkan sanksi baru terhadap Korut terkait pengembangan senjata nuklirnya.
Korut mengaku akan meluncurkan rudal ke Guam dengan roket balistik strategis jarak menengah, Kwasong-12. Peluncuran segera dilakukan setelah Kim Jong Un, komandan tertinggi kekuatan nuklir Korut, memerintahkannya. (Kompas.com, 9/8)
DK PBB dengan suara bulat pekan lalu menyetujui resolusi sanksi atas senjata nuklir berupa melarang ekspor Korut dan membatasi investasi di negeri itu. Dubes AS untuk PBB, Nikki Haley, menyebut sanksi itu paling keras dalam satu generasi. Namun, Korut mengecam resolusi DK PBB itu dan menegaskan tidak membuka pintu negosiasi terkait program pengembangan senjata nuklir sekalipun diancam AS.
Atas ancaman terakhir serangan nuklir Korut itu, Trump menyatakan Korut bakal sangat menyesal jika benar-benar berani menyerang AS. "Solusi militer sekarang sudah siap, terkunci dan terisi muatan, jika Korut bertindak secara tidak bijaksana," tulis Trump di Twitter, Jumat (11/8/2017)
Jika perang nuklir AS-Korut tidak terbendung, para ekonom menyebut Indonesia akan terdampak. Menurut ekonom UI, Rofikoh Rokhim, pasar modal dan pasar uang akan sangat terkena dampaknya. Ekonom Center of Reform on Ekonomic (CORE), Mohammad Faisal, mengatakan perang itu akan mengganggu keamanan hingga keamanan aktivitas perdagangan. (Kontan, 11/8/2017)
"Karena seluruh dunia kan acuannya AS, jadi pasti berdampak," ujar Rofikoh.
Perdagangan Indonesia akan sangat terpengaruh kondisi perang. Sebab, penanaman modal asing (PMA) AS ke Indonesia besar, posisi keempat setelah Singapura, Jepang, dan Tiongkok.
"Perdagangan dunia selalu mengaca kepada Wall Street dan mata uang kuat pun masih dolar," ujar Rofikoh. Oleh karena itu, Indonesia sebagai sahabat kedua negara yang bertikai harus cepat menengahi konfliknya dan mencegah perang. Indonesia bisa! ***
Ancaman tersebut muncul beberapa jam setelah Trump mengancam Pyongyang atas program nuklirnya. Juga setelah Dewan Keamanan PBB menjatuhkan sanksi baru terhadap Korut terkait pengembangan senjata nuklirnya.
Korut mengaku akan meluncurkan rudal ke Guam dengan roket balistik strategis jarak menengah, Kwasong-12. Peluncuran segera dilakukan setelah Kim Jong Un, komandan tertinggi kekuatan nuklir Korut, memerintahkannya. (Kompas.com, 9/8)
DK PBB dengan suara bulat pekan lalu menyetujui resolusi sanksi atas senjata nuklir berupa melarang ekspor Korut dan membatasi investasi di negeri itu. Dubes AS untuk PBB, Nikki Haley, menyebut sanksi itu paling keras dalam satu generasi. Namun, Korut mengecam resolusi DK PBB itu dan menegaskan tidak membuka pintu negosiasi terkait program pengembangan senjata nuklir sekalipun diancam AS.
Atas ancaman terakhir serangan nuklir Korut itu, Trump menyatakan Korut bakal sangat menyesal jika benar-benar berani menyerang AS. "Solusi militer sekarang sudah siap, terkunci dan terisi muatan, jika Korut bertindak secara tidak bijaksana," tulis Trump di Twitter, Jumat (11/8/2017)
Jika perang nuklir AS-Korut tidak terbendung, para ekonom menyebut Indonesia akan terdampak. Menurut ekonom UI, Rofikoh Rokhim, pasar modal dan pasar uang akan sangat terkena dampaknya. Ekonom Center of Reform on Ekonomic (CORE), Mohammad Faisal, mengatakan perang itu akan mengganggu keamanan hingga keamanan aktivitas perdagangan. (Kontan, 11/8/2017)
"Karena seluruh dunia kan acuannya AS, jadi pasti berdampak," ujar Rofikoh.
Perdagangan Indonesia akan sangat terpengaruh kondisi perang. Sebab, penanaman modal asing (PMA) AS ke Indonesia besar, posisi keempat setelah Singapura, Jepang, dan Tiongkok.
"Perdagangan dunia selalu mengaca kepada Wall Street dan mata uang kuat pun masih dolar," ujar Rofikoh. Oleh karena itu, Indonesia sebagai sahabat kedua negara yang bertikai harus cepat menengahi konfliknya dan mencegah perang. Indonesia bisa! ***
0 komentar:
Posting Komentar