MEDIA sosial yang menyebar beragam informasi ternyata memicu kecemasan. Itu hasil studi Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa (PDSKJI) dalam masa Pilkada DKI Jakarta 2017.
Dari 700 data pengguna yang dipakai untuk objek survei, "Yang menunjukkan kecemasan lebih tinggi adalah orang DKI dibandingkan non-DKI. Sebesar 62,5% dibandingkan 37,5%," kata Ketua PSKJI Jakarta dr Nova Riyanti Yusuf SpKJ di Jakarta, Sabtu. (Kompas.com, 13/8/2017)
Survei PDSKJI dilakukan dengan pendekatan mirip studi American Psychological Association (APA) saat pemilihan presiden AS 2016. Dalam survei itu tim dokter bekerja sama dengan Selasar.com.
Instrumen survei menggunakan Taylor Manifest Anxiety Scale (TMAS) dengan 50 pertanyaan tertutup untuk mengukur tingkat kecemasan partisipan.
Menurut Nova, sebelum putaran pertama kecemasan partisipan terhadap kedua pasangan calon gubernur berkisar 50%. Menariknya, kecemasan paling tinggi sebesar 60,4% ditunjukkan partisipan yang tidak memilih (golput). Keadaan serupa juga terjadi menjelang putaran kedua.
Meskipun demikian, kecemasan tidak dialami para partisipan yang berasal dari partai politik. Hanya masyarakat awam yang cemas dalam pemilihan pimpinan Jakarta hingga 2022.
Partisipan yang aktif mencari informasi di media sosial dan yang tidak aktif mengalami kecemasan yang tak jauh berbeda, 57,4% dan 56,4%. "Media sosial kita, tidak kita cari pasti sampai (informasinya) sehingga akhirnya mencari atau tidak mencari kecemasannya sama," ujar Nova.
Soal topik yang menyebabkan kecemasan, "Yang paling ada di atas pikiran partisipan adalah isu ujaran kebencian. Tapi topik yang paling menimbulkan kecemasan adalah masalah ras 85,7%," ujar Nova.
Selain itu, konflik horizontal juga terjadi, pertemanan putus. Hasil survei partisipan yang kehilangan teman maupun tidak hampir sama, 51 orang kehilangan teman dengan kecemasan 66,7%.
Bisa dipahami, kecemasan bisa ditimbulkan media sosial yang telah merasuk sendi-sendi kehidupan. Apalagi media sosial memang dijadikan palagan (medan perang) urat saraf lewat ujaran kebencian, caci maki bahkan hasutan permusuhan. Itu karena pemuatan konten media sosial belum didasari ketentuan etika yang tegas, sedangkan UU ITE meski sanksinya berat tindakannya masih bersandar pada pengaduan.
Itu menyebabkan media sosial tidak bisa dijadikan sumber informasi yang tepercaya menggantikan media arus utama yang taat pada kaidah etika dan moral. ***
Survei PDSKJI dilakukan dengan pendekatan mirip studi American Psychological Association (APA) saat pemilihan presiden AS 2016. Dalam survei itu tim dokter bekerja sama dengan Selasar.com.
Instrumen survei menggunakan Taylor Manifest Anxiety Scale (TMAS) dengan 50 pertanyaan tertutup untuk mengukur tingkat kecemasan partisipan.
Menurut Nova, sebelum putaran pertama kecemasan partisipan terhadap kedua pasangan calon gubernur berkisar 50%. Menariknya, kecemasan paling tinggi sebesar 60,4% ditunjukkan partisipan yang tidak memilih (golput). Keadaan serupa juga terjadi menjelang putaran kedua.
Meskipun demikian, kecemasan tidak dialami para partisipan yang berasal dari partai politik. Hanya masyarakat awam yang cemas dalam pemilihan pimpinan Jakarta hingga 2022.
Partisipan yang aktif mencari informasi di media sosial dan yang tidak aktif mengalami kecemasan yang tak jauh berbeda, 57,4% dan 56,4%. "Media sosial kita, tidak kita cari pasti sampai (informasinya) sehingga akhirnya mencari atau tidak mencari kecemasannya sama," ujar Nova.
Soal topik yang menyebabkan kecemasan, "Yang paling ada di atas pikiran partisipan adalah isu ujaran kebencian. Tapi topik yang paling menimbulkan kecemasan adalah masalah ras 85,7%," ujar Nova.
Selain itu, konflik horizontal juga terjadi, pertemanan putus. Hasil survei partisipan yang kehilangan teman maupun tidak hampir sama, 51 orang kehilangan teman dengan kecemasan 66,7%.
Bisa dipahami, kecemasan bisa ditimbulkan media sosial yang telah merasuk sendi-sendi kehidupan. Apalagi media sosial memang dijadikan palagan (medan perang) urat saraf lewat ujaran kebencian, caci maki bahkan hasutan permusuhan. Itu karena pemuatan konten media sosial belum didasari ketentuan etika yang tegas, sedangkan UU ITE meski sanksinya berat tindakannya masih bersandar pada pengaduan.
Itu menyebabkan media sosial tidak bisa dijadikan sumber informasi yang tepercaya menggantikan media arus utama yang taat pada kaidah etika dan moral. ***
0 komentar:
Posting Komentar