MENURUT Lampung dalam angka 2016 (BPS) tabel 5.1.3, luas panen padi Provinsi Lampung 648.731 hektare, dengan jumlah produksi 3.320.064 ton gabah, produktivitas rata-rata 4,2 ton/ha.
Sesuai dengan survei BPS Juni 2017, harga jual gabah kering panen (GKP) petani Lampung tertinggi Rp5.000/kg dan terendah Rp4.000/kg, rata-rata Rp4.431,21/kg. Dengan harga pembelian pemerintah (HPP) untuk GKP Rp3.700/kg, didapat nilai tambah penjualan gabah petani Rp731,21/kg x 3.320.064 ton, jadi Rp2,427 triliun.
Sebanyak Rp2,427 triliun itulah potensi nilai tambah penjualan gabah milik petani Lampung yang dirampas dari kaum tani, jika dalam pelaksanaan ketentuan harga eceran tertinggi (HET) beras Rp9.000/kg pedagang dilarang membeli gabah petani di atas HPP.
Oleh karena itu, amat diharapkan para kepala daerah dan DPRD di Lampung bijaksana dalam melaksanakan Permendag No. 47/2017 tentang HET beras dengan HPP acuannya tersebut. Agar dilindungi hak petani atas nilai tambah yang selama ini telah menjadi tradisi dalam mekanisme pasar dengan kualitas gabahnya yang baik itu.
Maksudnya, peraturan HET dan acuan HPP pembelian gabah itu tetap dilaksanakan sesuai dengan kualitas produksi gabah petani. Kalau kualitas gabahnya memang punya nilai tambah di atas HPP, pedagang dan petani tidak dipaksa melakukan transaksi dengan HPP.
Nilai tambah penjualan gabah petani Rp731,21/kg itu pada harga rata-rata tersebut, dengan rata-rata produksi per hektare 4,2 ton, berarti dari tiap hektare nilai tambah milik petani yang harus diselamatkan para pemimpin daerah adalah 4.200 kg x Rp731,21 = Rp3.071.082.
Adapun petani yang kualitas GKP-nya terbaik Rp5.000/kg, nilai tambahnya dibanding HPP berarti Rp1.300/kg, untuk setiap hektare nilai tambah mereka berarti 4.200 x Rp1.300 = Rp5.460.000/ha. Bayangkan kalau transmigran saja mendapat lahan bertanam padi 2 ha/keluarga, betapa besar arti nilai tambah tersebut bagi petani untuk mempertahankan kesejahteraan keluarganya.
Mengamankan nilai tambah hak petani Lampung amat diwanti-wantikan kepada para kepala daerah dan elite mitranya karena di daerah lain, seperti Bekasi, Satgas Pangan mulai menggerebek gudang pengusaha beras.
Hal yang penting ditekankan, Lampung beda dari daerah lain. Di sini tidak menonjol mata rantai panjang distribusi beras. Pedagang tawar-menawar langsung dengan petani untuk menentukan harga sesuai kualitas gabahnya. Lalu mereka proses, kemas, dan angkut sendiri ke gerai penjual. ***
Sebanyak Rp2,427 triliun itulah potensi nilai tambah penjualan gabah milik petani Lampung yang dirampas dari kaum tani, jika dalam pelaksanaan ketentuan harga eceran tertinggi (HET) beras Rp9.000/kg pedagang dilarang membeli gabah petani di atas HPP.
Oleh karena itu, amat diharapkan para kepala daerah dan DPRD di Lampung bijaksana dalam melaksanakan Permendag No. 47/2017 tentang HET beras dengan HPP acuannya tersebut. Agar dilindungi hak petani atas nilai tambah yang selama ini telah menjadi tradisi dalam mekanisme pasar dengan kualitas gabahnya yang baik itu.
Maksudnya, peraturan HET dan acuan HPP pembelian gabah itu tetap dilaksanakan sesuai dengan kualitas produksi gabah petani. Kalau kualitas gabahnya memang punya nilai tambah di atas HPP, pedagang dan petani tidak dipaksa melakukan transaksi dengan HPP.
Nilai tambah penjualan gabah petani Rp731,21/kg itu pada harga rata-rata tersebut, dengan rata-rata produksi per hektare 4,2 ton, berarti dari tiap hektare nilai tambah milik petani yang harus diselamatkan para pemimpin daerah adalah 4.200 kg x Rp731,21 = Rp3.071.082.
Adapun petani yang kualitas GKP-nya terbaik Rp5.000/kg, nilai tambahnya dibanding HPP berarti Rp1.300/kg, untuk setiap hektare nilai tambah mereka berarti 4.200 x Rp1.300 = Rp5.460.000/ha. Bayangkan kalau transmigran saja mendapat lahan bertanam padi 2 ha/keluarga, betapa besar arti nilai tambah tersebut bagi petani untuk mempertahankan kesejahteraan keluarganya.
Mengamankan nilai tambah hak petani Lampung amat diwanti-wantikan kepada para kepala daerah dan elite mitranya karena di daerah lain, seperti Bekasi, Satgas Pangan mulai menggerebek gudang pengusaha beras.
Hal yang penting ditekankan, Lampung beda dari daerah lain. Di sini tidak menonjol mata rantai panjang distribusi beras. Pedagang tawar-menawar langsung dengan petani untuk menentukan harga sesuai kualitas gabahnya. Lalu mereka proses, kemas, dan angkut sendiri ke gerai penjual. ***
0 komentar:
Posting Komentar