PEMERINTAH terhenyak dengan pertumbuhan ekonomi kuartal II 2017 hanya 5,01%, jauh dari harapan dibanding dengan periode sama tahun lalu 5,18%. Dengan target pertumbuhan APBN-P 2017 sebesar 5,2%, andai kuartal II itu tumbuh seperti tahun lalu, sudah amat dekat dengan target. Tapi realisasinya hanya 5,01%, harus kerja keras mencapainya pada semester II.
Untuk itu, pemerintah telah menyiapkan paket kebijakan ekonomi jilid XVI yang akan dirilis pekan depan. Fokusnya mendorong investasi sebagai andalan pertumbuhan semester II 2017.
Pilihan fokus kebijakan itu mengacu tren pertumbuhan pada kuartal II 2017, dengan pertumbuhan investasi 5,35%, kontribusinya pada produk domestik bruto (PDB) mencapai 31,2%, peringkat kedua setelah konsumsi rumah tangga 55,6%.
Menko Perekonomian Darmin Nasution menyatakan dengan kebijakan paket jilid XVI itu investasi didorong tumbuh hingga 5,8%. (Kompas.com, 9/8/2017)
Paket XVI yang disebut Darmin kebijakan ekonomi besar-besaran itu, intinya merespons banyak keluhan investor atas berbagai masalah investasi meski sudah ada sejumlah paket kebijakan. Oleh karena itu, paket ini bukan hanya menyangkut pemerintah pusat, melainkan juga pemerintah daerah.
Ironisnya, hambatan investasi di pemerintahan daerah sudah menjadi keluhan Presiden Jokowi sejak awal berkuasa. Terutama, hambatan oleh ribuan perda yang tidak ramah investasi, sedangkan akhir kisahnya justru antiklimaks, langkah Menteri Dalam Negeri untuk membatalkan perda-perda antiinvestasi tersebut terhenti oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK), berdasar gugatan dari asosiasi pemerintahan kabupaten. Masalahnya kemudian, apakah tembok hukum putusan MK itu bisa diterobos dengan paket kebijakan ekonomi jilid XVI?
Optimisme putusan hukum MK itu bisa diterobos tentu boleh-boleh saja. Tapi bahwa perda-perda antiinvestasi itu berakar pada belitan kepentingan elite lokal untuk menjaga dan memelihara privilege (hak-hak istimewa) mereka dalam jaringan kekuasaan yang ada, sifatnya yang melembaga sudah dibuktikan dengan justifikasi MK, terobosan-terobosan di luar dimensi hukum diperkirakan sulit di berhasil lapangan (daerah).
Jadi, harus melalui sistem politik mencairkan tembok-tembok perda tersebut melalui revisi perdanya. Hanya dengan pendekatan kekuasaan menabrak-nabrak perda di daerah, sulit dibayangkan akan mendapat dukungan di daerah. Apalagi yang nongol investor, dihadapkan pada elite daerah yang punya dasar hukum kuat, putusan MK. ***
Pilihan fokus kebijakan itu mengacu tren pertumbuhan pada kuartal II 2017, dengan pertumbuhan investasi 5,35%, kontribusinya pada produk domestik bruto (PDB) mencapai 31,2%, peringkat kedua setelah konsumsi rumah tangga 55,6%.
Menko Perekonomian Darmin Nasution menyatakan dengan kebijakan paket jilid XVI itu investasi didorong tumbuh hingga 5,8%. (Kompas.com, 9/8/2017)
Paket XVI yang disebut Darmin kebijakan ekonomi besar-besaran itu, intinya merespons banyak keluhan investor atas berbagai masalah investasi meski sudah ada sejumlah paket kebijakan. Oleh karena itu, paket ini bukan hanya menyangkut pemerintah pusat, melainkan juga pemerintah daerah.
Ironisnya, hambatan investasi di pemerintahan daerah sudah menjadi keluhan Presiden Jokowi sejak awal berkuasa. Terutama, hambatan oleh ribuan perda yang tidak ramah investasi, sedangkan akhir kisahnya justru antiklimaks, langkah Menteri Dalam Negeri untuk membatalkan perda-perda antiinvestasi tersebut terhenti oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK), berdasar gugatan dari asosiasi pemerintahan kabupaten. Masalahnya kemudian, apakah tembok hukum putusan MK itu bisa diterobos dengan paket kebijakan ekonomi jilid XVI?
Optimisme putusan hukum MK itu bisa diterobos tentu boleh-boleh saja. Tapi bahwa perda-perda antiinvestasi itu berakar pada belitan kepentingan elite lokal untuk menjaga dan memelihara privilege (hak-hak istimewa) mereka dalam jaringan kekuasaan yang ada, sifatnya yang melembaga sudah dibuktikan dengan justifikasi MK, terobosan-terobosan di luar dimensi hukum diperkirakan sulit di berhasil lapangan (daerah).
Jadi, harus melalui sistem politik mencairkan tembok-tembok perda tersebut melalui revisi perdanya. Hanya dengan pendekatan kekuasaan menabrak-nabrak perda di daerah, sulit dibayangkan akan mendapat dukungan di daerah. Apalagi yang nongol investor, dihadapkan pada elite daerah yang punya dasar hukum kuat, putusan MK. ***
0 komentar:
Posting Komentar