LAYAK diperhatikan peringatan Weiwen Ng, ekonom ANZ Banking Group di Singapura, tentang adanya peningkatan konsentrasi risiko investasi Tiongkok dalam pembangunan infrastrukrur di Asia Tenggara. Menurut dia, peningkatan konsentrasi risiko dimaksud ada ketika ASEAN sudah sangat terekspos pada Tiongkok melalui perdagangan dan gelombang pariwisata (Kompas.com, 18/8/2017; Buras, 21/8/2017), menyusul usai pembangunan infrastruktur.
Contoh peningkatan konsentrasi risiko yang tidak terkendali pada investasi Tiongkok dalam pembangunan infrastruktur dialami Sri Lanka, yang dalam tulisan Yogita Limaye (BBC News, 13/8/2017) disebut sebagai negeri Asia pertama yang menjadi korban jebakan utang Tiongkok. Kewajiban membayar kembali utang mencapai 95% dari total pendapatan pemerintah. Banyak warga setempat merasa negerinya telah dijual kepada orang Tionghoa.
Masalahnya, uang utangan telah tertanam di infrastruktur yang tidak menunjukkan imbal keuntungan, bahkan lebih merusak ekonomi Sri Lanka. Itu akibat Sri Lanka terjebak pinjaman mudah (easy loans) dari Tiongkok dengan bunga komersial dekade lalu untuk membangun infrastruktur di seantero negerinya. Tiongkok membangun pelabuhan, bandara, jalan bebas hambatan, dan kota-kota satelit dengan biaya konstruksi yang sangat tinggi.
Cara sama, menurut Limaye, digunakan Tiongkok untuk menjebak bangsa-bangsa pengutang masuk jebakannya. Selanjutnya, dengan infrastruktur yang prima, Tiongkok jadi lebih lancar membanjiri pasar negeri sasaran dengan barang-barang murah. Ini merupakan strategi yang amat mudah untuk membuldoser industri manufaktur lokal dan sektor terkait.
Pelabuhan dan bandara yang dibangun amat besar, agaknya justru lebih untuk kepentingan Jalur Sutera baru Tiongkok yang dibangun melalui ASEAN (utamanya laut Indonesia) mengelilingi India tembus ke Iran—yang selama ekonomi Iran diembargo AS dan sekutunya, Iran menjadi sumber minyak murah yang berlimpah bagi mendorong tingginya pertumbuhan Tiongkok). Masalahnya, pelabuhan Hambantota dan Mattala International Airport biaya perawatannya saja kini tidak tertutupi oleh aktivitasnya yang jauh dibanding besarnya bangunan.
Kini, Sri Lanka berjuang untuk membayar kembali investasi tersebut. Untuk itu telah ditandatangani perjanjian memberi perusahaan Tiongkok saham dan pengelolaan aneka infrastruktur raksasa sebagai pembayaran sebagian utang. Atas aneka alih hak dan alih kelola itu, Sri Lanka menerima bantuan baru lagi. ***
Masalahnya, uang utangan telah tertanam di infrastruktur yang tidak menunjukkan imbal keuntungan, bahkan lebih merusak ekonomi Sri Lanka. Itu akibat Sri Lanka terjebak pinjaman mudah (easy loans) dari Tiongkok dengan bunga komersial dekade lalu untuk membangun infrastruktur di seantero negerinya. Tiongkok membangun pelabuhan, bandara, jalan bebas hambatan, dan kota-kota satelit dengan biaya konstruksi yang sangat tinggi.
Cara sama, menurut Limaye, digunakan Tiongkok untuk menjebak bangsa-bangsa pengutang masuk jebakannya. Selanjutnya, dengan infrastruktur yang prima, Tiongkok jadi lebih lancar membanjiri pasar negeri sasaran dengan barang-barang murah. Ini merupakan strategi yang amat mudah untuk membuldoser industri manufaktur lokal dan sektor terkait.
Pelabuhan dan bandara yang dibangun amat besar, agaknya justru lebih untuk kepentingan Jalur Sutera baru Tiongkok yang dibangun melalui ASEAN (utamanya laut Indonesia) mengelilingi India tembus ke Iran—yang selama ekonomi Iran diembargo AS dan sekutunya, Iran menjadi sumber minyak murah yang berlimpah bagi mendorong tingginya pertumbuhan Tiongkok). Masalahnya, pelabuhan Hambantota dan Mattala International Airport biaya perawatannya saja kini tidak tertutupi oleh aktivitasnya yang jauh dibanding besarnya bangunan.
Kini, Sri Lanka berjuang untuk membayar kembali investasi tersebut. Untuk itu telah ditandatangani perjanjian memberi perusahaan Tiongkok saham dan pengelolaan aneka infrastruktur raksasa sebagai pembayaran sebagian utang. Atas aneka alih hak dan alih kelola itu, Sri Lanka menerima bantuan baru lagi. ***
0 komentar:
Posting Komentar