TIGA hari setelah rilis BPS ekonomi kuartal II 2017 tumbuh 5,01%, Rabu (9/8/2017), Gubernur BI Agus Martowardojo bahkan Presiden Jokowi masih bicara soal shifting, peralihan budaya masyarakat baik dalam menahan belanja konsumsi maupun beralih dari swalayan dan ritel ke online.
Meski tidak membantah konsumsi rumah tangga tetap tumbuh dari kuartal I 2017 sebesar 4,94% menjadi 4,95% pada kuartal II, Agus menekankan laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga melambat dari 5,18% pada periode sama tahun lalu. (Kompas.com, 9/8/2017)
Misteri pelambatan itu telah dijawab Kepala BPS Suhariyanto, yakni turunnya secara signifikan transaksi debet, yang berarti kelompok masyarakat kelas menengah atas menahan konsumsinya. Dana yang ditahan dari konsumsi itu mengalir ke tabungan bank sehingga dana pihak ketiga (DPK) di bank-bank besar naik lebih 10% setiap semester.
Berapa besarkah nilai absolut shifting kelas menengah atas yang memperlambat pertumbuhan konsumsi rumah tangga dari 5,18% menjadi 4,95% atau melambat 0,23% dari PDB itu. Dengan total PDB kuartal II 2017 sebesar Rp2.470 triliun, berarti setiap 1% PDB Rp24,7 triliun, nilai 0,23% dana shifting itu sedikitnya Rp8 triliun. Tapi, jumlah pastinya ada pada jumlah penurunan yang terjadi pada transaksi debet.
Jumlah penurunan transaksi debet yang terlihat signifikan oleh BPS itu pasti sangatlah besar karena hal itu terjadi justru di tengah booming transaksi debet oleh shifting belanja masyarakat dari swalayan, ritel, dan pasar konvensional lainnya ke online, seperti disebut Presiden Joko Widodo di Solo. Nilai awal booming transaksi online itu, menurut perkiraan BI sekitar 4 miliar—8 miliar dolar AS (Kompas, 4/8/2017), dengan kurs Rp13.300/dolar AS antara Rp53,2 triliun sampai Rp106,4 triliun.
Nilai shifting yang cukup untuk membuat swalayan, ritel, dan pasar konvensional lainnya merasa terpukul dan layak menjadi perhatian Presiden. Betapa, nilainya tak jauh dari perolehan amnesti pajak yang dilakukan secara ambisius.
Konon lagi kalau nilai tersebut juga tertelan shifting kelas menengah atas yang menahan konsumsinya, layaklah kalau Presiden Jokowi berpesan khusus di Kongres Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (HIPIIS) agar menyoroti perkembangan pola konsumsi masyarakat yang mulai beralih menggunakan kemudahan online. Menurut Jokowi, ini tantangan bagi ahli ilmu sosial dan ekonomi untuk mencari cara agar tak jauh tertinggal dari negara lain. ***
Misteri pelambatan itu telah dijawab Kepala BPS Suhariyanto, yakni turunnya secara signifikan transaksi debet, yang berarti kelompok masyarakat kelas menengah atas menahan konsumsinya. Dana yang ditahan dari konsumsi itu mengalir ke tabungan bank sehingga dana pihak ketiga (DPK) di bank-bank besar naik lebih 10% setiap semester.
Berapa besarkah nilai absolut shifting kelas menengah atas yang memperlambat pertumbuhan konsumsi rumah tangga dari 5,18% menjadi 4,95% atau melambat 0,23% dari PDB itu. Dengan total PDB kuartal II 2017 sebesar Rp2.470 triliun, berarti setiap 1% PDB Rp24,7 triliun, nilai 0,23% dana shifting itu sedikitnya Rp8 triliun. Tapi, jumlah pastinya ada pada jumlah penurunan yang terjadi pada transaksi debet.
Jumlah penurunan transaksi debet yang terlihat signifikan oleh BPS itu pasti sangatlah besar karena hal itu terjadi justru di tengah booming transaksi debet oleh shifting belanja masyarakat dari swalayan, ritel, dan pasar konvensional lainnya ke online, seperti disebut Presiden Joko Widodo di Solo. Nilai awal booming transaksi online itu, menurut perkiraan BI sekitar 4 miliar—8 miliar dolar AS (Kompas, 4/8/2017), dengan kurs Rp13.300/dolar AS antara Rp53,2 triliun sampai Rp106,4 triliun.
Nilai shifting yang cukup untuk membuat swalayan, ritel, dan pasar konvensional lainnya merasa terpukul dan layak menjadi perhatian Presiden. Betapa, nilainya tak jauh dari perolehan amnesti pajak yang dilakukan secara ambisius.
Konon lagi kalau nilai tersebut juga tertelan shifting kelas menengah atas yang menahan konsumsinya, layaklah kalau Presiden Jokowi berpesan khusus di Kongres Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (HIPIIS) agar menyoroti perkembangan pola konsumsi masyarakat yang mulai beralih menggunakan kemudahan online. Menurut Jokowi, ini tantangan bagi ahli ilmu sosial dan ekonomi untuk mencari cara agar tak jauh tertinggal dari negara lain. ***
0 komentar:
Posting Komentar