MULANYA tabloid Kontan (27/7/2017) menulis gejala anomali ekonomi Indonesia. Intinya, sejumlah indikator makroekonomi seperti nilai tukar rupiah, inflasi, dan pasar modal menunjukkan perbaikan. Namun, di sisi lain, mikro, sektor riil, industri, dan daya beli lesu.
Tulisan itu disusul tulisan Renald Kasali yang beredar di WhatsApp, Minggu (30/7/2017), tentang shifting (peralihan) geliat ekonomi dari konvensional ke daring, maupun peralihan versi lain seperti penjualan motor turun tapi penjualan mobil naik, di bawah judul, "Daya Beli Terpuruk, Tetapi Jalan Semakin Macet."
Intinya, berbagai dimensi perekonomian konvensional menurun oleh perubahan gaya hidup masyarakat. Itu justru bertolak dari penurunan penjualan jaringan factory outlet (FO) yang diakui pelaku usaha utamanya akibat perubahan gaya hidup, hingga dia pun mulai beralih usaha ke bidang pariwisata.
Tren anomali perekonomian akibat terjadinya shifting itu, menurut Renald dan kelompok kajian Rumah Perubahan yang diasuhnya, justru baru memasuki tahap awal. Kata kuncinya diberi Renald dengan mengutip ucapan raja bisnis FO Perry Tristianto, "Sulit. Tahun lalu saja sudah susah, tahun ini lebih susah lagi. Dan tahun depan saya yakin akan semakin susah..." Pada ujungnya Perry mengatakan, "Semakin susah bagi kita tak mau berubah!"
Gejala anomali perekonomian ini, tak kepalang juga dikaji Bank Indonesia (BI), yang pada tahap awal ini peralihan dari konvensional ke daring masih sekitar 8 miliar dolar AS, tapi mungkin ada beberapa lapangan usaha di tengah—yang dulu bisa memberikan nilai tambah—akan hilang. (Kompas, 4/8/2017)
Cara PT IBU membeli gabah langsung kepada petani dengan harga Rp5.000/kg, jauh di atas harga pembelian pemerintah (HPP) Rp3.700, memang bisa mematikan perantara di tengahnya selama ini. Shifting PT IBU itu mengagetkan, akhirnya diancam pidana kecurangan mematikan usaha di mata rantai perdagangan.
Tapi langkah bisnis PT IBU itu hanya satu dari banyak shifting dalam perubahan pola bisnis di balik gejala anomali perekonomian secara umum. BI tampak lebih fair menyimak gejala di balik anomali perekonomian, tak langsung menyalahkan suatu pihak atas adanya korban akibat perubahan.
Di tengah perubahan yang amat cepat, adanya korban perubahan tidak harus menyalahkan pihak tertentu dan menjadikannya korban salah tindak penguasa. Padahal di balik itu, petani diuntungkan dengan pembelian langsung gabahnya seharga Rp5.000/kg, dibanding HPP cuma Rp3.700. ***
Intinya, berbagai dimensi perekonomian konvensional menurun oleh perubahan gaya hidup masyarakat. Itu justru bertolak dari penurunan penjualan jaringan factory outlet (FO) yang diakui pelaku usaha utamanya akibat perubahan gaya hidup, hingga dia pun mulai beralih usaha ke bidang pariwisata.
Tren anomali perekonomian akibat terjadinya shifting itu, menurut Renald dan kelompok kajian Rumah Perubahan yang diasuhnya, justru baru memasuki tahap awal. Kata kuncinya diberi Renald dengan mengutip ucapan raja bisnis FO Perry Tristianto, "Sulit. Tahun lalu saja sudah susah, tahun ini lebih susah lagi. Dan tahun depan saya yakin akan semakin susah..." Pada ujungnya Perry mengatakan, "Semakin susah bagi kita tak mau berubah!"
Gejala anomali perekonomian ini, tak kepalang juga dikaji Bank Indonesia (BI), yang pada tahap awal ini peralihan dari konvensional ke daring masih sekitar 8 miliar dolar AS, tapi mungkin ada beberapa lapangan usaha di tengah—yang dulu bisa memberikan nilai tambah—akan hilang. (Kompas, 4/8/2017)
Cara PT IBU membeli gabah langsung kepada petani dengan harga Rp5.000/kg, jauh di atas harga pembelian pemerintah (HPP) Rp3.700, memang bisa mematikan perantara di tengahnya selama ini. Shifting PT IBU itu mengagetkan, akhirnya diancam pidana kecurangan mematikan usaha di mata rantai perdagangan.
Tapi langkah bisnis PT IBU itu hanya satu dari banyak shifting dalam perubahan pola bisnis di balik gejala anomali perekonomian secara umum. BI tampak lebih fair menyimak gejala di balik anomali perekonomian, tak langsung menyalahkan suatu pihak atas adanya korban akibat perubahan.
Di tengah perubahan yang amat cepat, adanya korban perubahan tidak harus menyalahkan pihak tertentu dan menjadikannya korban salah tindak penguasa. Padahal di balik itu, petani diuntungkan dengan pembelian langsung gabahnya seharga Rp5.000/kg, dibanding HPP cuma Rp3.700. ***
0 komentar:
Posting Komentar