Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Orang Percaya Hoax Justru Hidup Selamat!

PADA awal manusia menjelajah bumi, orang yang percaya hoax justru selamat. Makin mengancam hoax, makin dipercaya. Saat manusia purba melihat semak bergerak, situasi mengancam muncul. Imajinasinya merespons dengan membentuk sosok predator. Seketika ia kabur langkah seribu tanpa mengonfirmasi apakah betul yang membuat semak bergoyang itu predator.
Sedangkan orang yang tidak percaya hoax mengonfirmasi apa sebenarnya yang membuat semak bergoyang, ia dimangsa ketika yang berada dalam semak itu ternyata predator. Itulah sebabnya sekarang lebih banyak orang yang mudah percaya pada hoax, berita bohong atau berita palsu, karena yang kritis selalu ingin tahu yang sebenarnya sebagian besar sudah habis dimangsa predator sejak dahulu kala.
Gambaran evolisioner manusia bisa bertahan itu dikemukan dokter Ruslan Yusni Hasan, spesialis bedah syaraf (SpBS) di Kompas Sains (22/8/2017). Orang yang memercayai hoax pun bisa meneruskan keturunannya dan meneruskan sifat mudah percaya. Adapun manusia yang selalu ingin tahu, jumlahnya relatif lebih sedikit yang tersisa hidup di bumi.
"Itu berjalan secara sains, kenapa lebih banyak orang penggemar hoax daripada yang tidak. Makin mengancam, hoax makin gampang diterima," ujar Ruslan.
Kehidupan berlanjut ke zaman ultramodern, hoax tetap saja dipercaya. Bahkan melalui peranti teknologi canggih, telepon pintar, dengan hoax terkait pengetahuan mutakhir, penyakit stroke.
Menurut Ruslan, di grup WhatsApp sering muncul informasi mengenai kesehatan dengan begitu meyakinkan. Salah satunya mengenai penyakit stroke yang untuk pertolongan pertamanya dianjurkan menusuk jari penderita stroke dengan jarum. "Ditusuk-tusuk jarum itu tidak ada ilmiahnya sama sekali," tegas Ruslan.
Prinsip dari masyarakat primitif makin mengancam hoax makin mudah diterima itu, ternyata kini masih digunakan untuk hoax mengeruhkan situasi melalui media sosial. Hoax dibuat mengenai adanya ancaman dari suatu kelompok tertentu terhadap kelompok lainnya. Dengan ancaman berbau SARA itu, reaksi penerima hoax pun cepat membara.
 Kalau hoax ujaran kebencian yang ditebar, rasa benci suatu kelompok terhadap kelompok lain merebak, padahal sebenarnya secara sosial antarkelompok itu selalu berinteraksi dan saling membutuhkan. Malangnya, segala macam hoax itu masih saja berseliweran di media sosial. Malah seolah ada admin-nya saat menjelang pilkada. Kontrol untuk penyaringan dalam hal ini tampak belum efektif. ***

0 komentar: