HUT ke-43 harian Lampung Post diperingati pada Kamis (10/8/2017). Suasana mawas diri dengan wanti-wanti kalangan pimpinan kepada jajaran sejawatnya untuk terus kreatif kalau tidak mau ditelan skenario kiamat media cetak yang sudah mengalun lebih dari satu dekade. Meski, optimisme untuk tetap mampu bertahan melawan arus zaman tetap binar.
Salah satu versi skenario kiamat media cetak dikemukakan Presiden Jokowi pada kuliah umum di Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta, Kamis (22/6/2017). Generasi X (kini berusia di atas 35), kata Jokowi, masih mau membeli koran dan baca koran secara urut dari halaman pertama sampai terakhir.
Kemudian generasi Y (lahir 1981—1994) dan generasi Z (lahir setelah 1995) mana mau beli koran. Mereka tidak perlu media cetak karena cukup mencari (search) berita di telepon seluler (ponsel) pintarnya. Mereka juga tidak minat dengan urutan berita yang disajikan media. Generasi Y dan Z tahu apa yang mereka mau.
Generasi X, lanjutnya, masih setia menyimak televisi dan duduk manis di jam-jam tertentu menunggu tayangan kesukaannya muncul. Sebaliknya, generasi Y dan Z tidak butuh televisi, apalagi disuruh menantikan tayangan demi tayangan, kecuali siaran langsung sepak bola atau sejenisnya. Semua bisa mereka tonton di internet, baik via YouTube, televisi streaming, dan media massa sejenis.
Jokowi menilai stasiun-stasiun televisi yang besar-besar itu akan mati, digantikan dengan anak-anak muda yang dengan kamera sederhana dari ruang indekosnya membuat monolog yang lucu-lucu untuk diunggah ke YouTube dengan penonton jutaan orang.
"Mereka generasi Y dan Z yang akan mengubah landscape politik dan landscape ekonomi nasional. Lihat nanti lima atau 10 tahun ke depan akan berubah semuanya," ujar Jokowi, seperti dikutip Wina Armada (Antara, 8/8/2017)
Skenario kiamat media cetak dan konvensional itu mengandalkan eksekutornya, internet, dengan sistem broadband (jutaan sumber melayani satu audiens, kebalikan dari broadcast satu sumber mendikte jutaan audiens). Muatan atau isi pesannya bersifat umum dan retoris mengemban misi dan kepentingan produser pesan. Ini bisa membuat audiens terasing di samudera informasi klise.
Dalam kondisi itu, media cetak bisa mengekspresikan keunikan serta kepentingan spesifik audiens, mendampingi dan mengadvokasinya menghadapi tekanan jutaan sumber yang membuat dirinya terasing di tengah kebisingan. Media cetak bertahan sebagai ekspresi perjuangan audiens melawan klise. ***
Kemudian generasi Y (lahir 1981—1994) dan generasi Z (lahir setelah 1995) mana mau beli koran. Mereka tidak perlu media cetak karena cukup mencari (search) berita di telepon seluler (ponsel) pintarnya. Mereka juga tidak minat dengan urutan berita yang disajikan media. Generasi Y dan Z tahu apa yang mereka mau.
Generasi X, lanjutnya, masih setia menyimak televisi dan duduk manis di jam-jam tertentu menunggu tayangan kesukaannya muncul. Sebaliknya, generasi Y dan Z tidak butuh televisi, apalagi disuruh menantikan tayangan demi tayangan, kecuali siaran langsung sepak bola atau sejenisnya. Semua bisa mereka tonton di internet, baik via YouTube, televisi streaming, dan media massa sejenis.
Jokowi menilai stasiun-stasiun televisi yang besar-besar itu akan mati, digantikan dengan anak-anak muda yang dengan kamera sederhana dari ruang indekosnya membuat monolog yang lucu-lucu untuk diunggah ke YouTube dengan penonton jutaan orang.
"Mereka generasi Y dan Z yang akan mengubah landscape politik dan landscape ekonomi nasional. Lihat nanti lima atau 10 tahun ke depan akan berubah semuanya," ujar Jokowi, seperti dikutip Wina Armada (Antara, 8/8/2017)
Skenario kiamat media cetak dan konvensional itu mengandalkan eksekutornya, internet, dengan sistem broadband (jutaan sumber melayani satu audiens, kebalikan dari broadcast satu sumber mendikte jutaan audiens). Muatan atau isi pesannya bersifat umum dan retoris mengemban misi dan kepentingan produser pesan. Ini bisa membuat audiens terasing di samudera informasi klise.
Dalam kondisi itu, media cetak bisa mengekspresikan keunikan serta kepentingan spesifik audiens, mendampingi dan mengadvokasinya menghadapi tekanan jutaan sumber yang membuat dirinya terasing di tengah kebisingan. Media cetak bertahan sebagai ekspresi perjuangan audiens melawan klise. ***
0 komentar:
Posting Komentar