SEJAWAT kerja sekantor yang selama ini naik sepeda motor banyak yang beralih memakai mobil. Ada yang mobil bekas, banyak pula yang mobil baru. Jumlah mereka sudah lebih dari 10 hanya di sekitar sejawat kerja saya, hingga gejala peralihan gaya hidup tersebut sudah bisa disebut masif.
Peralihan gaya hidup itu bisa disebut masif karena juga terlihat dalam skala nasional, yakni penjualan sepeda motor pada semester I 2017 turun 8,8% dari periode sama tahun lalu, menjadi 2.700.546 unit (detik.oto, 18/7/2017).
Sementara pengamat menyebut penurunan penjualan sepeda motor yang signifikan itu sebagai penurunan daya beli. Maka, orang-orang heboh ikut bicara kemerosotan daya beli. Namun, kalau dilihat dari peralihan gaya hidup sejawat kerja tadi, penurunan daya beli jelas keliru.
Apalagi, kalau para sejawat tadi saat beralih dari sepeda motor justru menambah banyak uang untuk mencukupi down payment (DP) pembelian mobilnya, jadi yang nyata terjadi sebenarnya justru peningkatan daya beli, hanya subjek yang dibelinya beralih dari sepeda motor ke mobil.
Hal ini tentu harus dikonfirmasi ke data penjualan mobil. Menurut data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), pada semester I 2017 terjadi kenaikan penjualan mobil 0,41% dibanding dengan periode sama tahun lalu (Kompas.com, 22/7/2017).
Peningkatan penjualan mobil baru 0,41% itu relevan dalam mengakomodasi peralihan gaya hidup kelompok yang meningkat daya belinya hingga meninggalkan sepeda motor yang 8,8% itu, karena sebagian mereka membeli mobil bekas. Bahkan, tidak kepalang, diler sejumlah merek mobil sekarang juga berbisnis mobil bekas dengan pola trade-in.
Trade-in maksudnya orang yang sudah punya mobil ingin menukarnya dengan mobil baru, datang ke diler menjadikan mobil lama miliknya sebagai DP dan sisanya diangsur. Kewajiban baru diler untuk menjual kembali mobil bekas yang ia terima sebagai DP itu tentu dengan mencari untung tersendiri lagi.
Tapi, jelas terlihat dan mudah dipahami, yang terjadi dalam peralihan gaya hidup sejawat itu bukan kemerosotan daya beli, tapi malah sebaliknya, peningkatan yang signifikan daya belinya.
Peralihan gaya hidup sejenis terkait kemajuan masyarakat tentu terjadi dalam berbagai bidang kehidupan. Karena itu, tidak tepat terlalu cepat menarik kesimpulan tanpa menyimak realitas kemajuan masyarakat, memaksa semua orang makan beras sekelas rastra, padahal kemajuan telah membuat orang terbiasa makan beras premium. ***
Sementara pengamat menyebut penurunan penjualan sepeda motor yang signifikan itu sebagai penurunan daya beli. Maka, orang-orang heboh ikut bicara kemerosotan daya beli. Namun, kalau dilihat dari peralihan gaya hidup sejawat kerja tadi, penurunan daya beli jelas keliru.
Apalagi, kalau para sejawat tadi saat beralih dari sepeda motor justru menambah banyak uang untuk mencukupi down payment (DP) pembelian mobilnya, jadi yang nyata terjadi sebenarnya justru peningkatan daya beli, hanya subjek yang dibelinya beralih dari sepeda motor ke mobil.
Hal ini tentu harus dikonfirmasi ke data penjualan mobil. Menurut data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), pada semester I 2017 terjadi kenaikan penjualan mobil 0,41% dibanding dengan periode sama tahun lalu (Kompas.com, 22/7/2017).
Peningkatan penjualan mobil baru 0,41% itu relevan dalam mengakomodasi peralihan gaya hidup kelompok yang meningkat daya belinya hingga meninggalkan sepeda motor yang 8,8% itu, karena sebagian mereka membeli mobil bekas. Bahkan, tidak kepalang, diler sejumlah merek mobil sekarang juga berbisnis mobil bekas dengan pola trade-in.
Trade-in maksudnya orang yang sudah punya mobil ingin menukarnya dengan mobil baru, datang ke diler menjadikan mobil lama miliknya sebagai DP dan sisanya diangsur. Kewajiban baru diler untuk menjual kembali mobil bekas yang ia terima sebagai DP itu tentu dengan mencari untung tersendiri lagi.
Tapi, jelas terlihat dan mudah dipahami, yang terjadi dalam peralihan gaya hidup sejawat itu bukan kemerosotan daya beli, tapi malah sebaliknya, peningkatan yang signifikan daya belinya.
Peralihan gaya hidup sejenis terkait kemajuan masyarakat tentu terjadi dalam berbagai bidang kehidupan. Karena itu, tidak tepat terlalu cepat menarik kesimpulan tanpa menyimak realitas kemajuan masyarakat, memaksa semua orang makan beras sekelas rastra, padahal kemajuan telah membuat orang terbiasa makan beras premium. ***
0 komentar:
Posting Komentar