Artikel Halaman 8, Lampung Post Selasa 19-11-2019
Kelas Menengah Zaman Meleset!
H. Bambang Eka Wijaya
JUMLAH kelas menengah di Indonesia tahun 2020 yang segera kita masuki, menurut Menteri Kauangan Sri Mulyani, mencapai 85 juta orang. Dengan jumlah yang besar itu, kata Sri, kelas menengah menjadi motor penggerak utama perekonomian: the biggest engine of growth.
Pola konsumsi kelas menengah cenderung mementingkan experience, seperti minum kopi dan nonton teater. Ini mendorong permintaan industri kreatif.
Itu didukung mantan menteri keuangan Chatib Basri. Perilaku konsumsi masyarakat telah bergeser, dari kebutuhan (needs) menjadi keinginan (wants). Bila konsumen telah mengutamakan keinginan, harga tidak lagi menjadi masalah. "Industri kreatif menjadi luar biasa, unlimited," ujarnya. (katadata, 23/1/2019)
Gambaran pola konsumsi kelas menengah terhadap produksi dan jasa yang istimewa sehingga menjadi best engine of growth itu, dibelokkan dalam film komedi India berjudul Middle Class Abbayi, diinggriskan jadi 'Middle Class Boy' (2017). Latar cerita film ini kisah cinta pemuda Nani dan gadisnya Sai Pallavi, kelas menengah yang hidup sederhana.
Film dimulai dengan pemuda Nani bercelana jins dan kemeja tangan pendek naik sepeda motor, berhenti di pinggir jalan untuk bicara di telepon selularnya. Seketika muncul cewek (Sai Pallavi) memberikan sekuntum mawar. Nani masih dalam kondisi terkejut dan gugup, si cewek sudah kabur ke halte dan naik bis.
Naik sepeda motor dan kendaraan umum (bis) itulah kehidupan kelas menengah yang diekspresikan dalam film tersebut. Tapi justru seperti itulah gejala perilaku universal generasi milenial sebagai kelas menengah baru.
Suatu generasi yang hidup dengan pola konsumsi amat sederhana, bahkan minimalis. Sehingga, mengharapkan mereka sebagai motor utama pertumbuhan, bisa meleset alias keliru.
Sebaliknya, jatidiri mereka yang sesungguhnya justru biang disruptor! Korban perilaku disrupsi mereka mudah dilihat, antara lain pusat-pusat perbelanjaan yang tutup. Juga, cenderung semakin menuanya kelompok usia pemain golf, sementara generasi muda penyusulnya kian tipis.
Artinya bagaimana pun asumsi lama tentang kelas menengah yang kurang mempersoalkan harga asal senang, perlu disimak ulang. Karena harga dan tingkat pengeluaran untuk konsumsi menjadi hal paling sensitif pada kelas menengah milenial.
Contohnya, mereka yang heboh atas kenaikan iuran BPJS itu lebih mungkin kelas menengah. Sebab,134 juta orang warga kelas bawah telah dijamin negara sebagai Penerima Bantuan Iuran (PBI). ***
0 komentar:
Posting Komentar