Artikel Halaman 8, Lampung Post Sabtu 23-11-2019
Memangkas Biaya Pilkada Langsung!
H. Bambang Eka Wijaya
MESKI Presiden Jokowi dan PDIP menolak Pilkada oleh DPRD, sejumlah pejabat termasuk anggota legislatif, tetap ngotot dengan alasan untuk memangkas biaya pilkada. Disebutkan, biaya pilkada langsung tinggi karena poIitik uang yang menyebabkan kepala daerah korupsi untuk mengembalikan biaya pilkada.
Kalau masalah utamanya politik uang, kenapa sistemnya yang harus dibongkar dan diganti? Itu kan sama saja dengan yang sakit perut, yang diamputasi kepala orangnya. Jelas itu terapi yang amat dungu!
Kalau politik uang itu kankernya, tentu itulah yang harus diamputasi, dibersihkan semua akarnya. Untuk itu kita diagnosis kankernya, jenisnya apa dan letaknya di mana saja.
Sudah menjadi rahasia umum kanker dimaksud ada dua jenis. Pertama, mahar untuk partai pengusung calon kepala daerah. Kedua, penyuapan terhadap para pemilik suara agar memilih calon yang menyuap.
Untuk memangkas biaya mahar buat partai pendukung, idealnya seperti dikampanyekan dan dilaksanakan secara konsekuen oleh Partai Nasdem. Namun, karena sejauh ini tidak semua partai politik mau secara sukarela melakukan politik tanpa mahar, maka jelas perlu pengaturan lewat UU yang menetapkan tindakan itu sebagai suap sehingga pelakunya bisa diproses pidana.
Itu diperkuat Peraturan Pelaksanaan dari KPU dengan sanksi tegas. Misainya, gugur hak kepesertaannya sebagai calon jika terbukti menyuap mahar.
Kalau serius mau memangkas biaya pilkada, aturan itu harus ada. Kalau tak ada, pilkada lewat DPRD juga kebutuhan terhadap partai pengusung justru lebih mutlak. Kalau pemilu langsung, tanpa partai bisa maju lewat jalur perorangan atau independen--di Lampung Timur Satono lewat jalur independen bisa menang pilkada.
Kedua, membasmi politik uang di tengah masyarakat. Ini serupa akar kanker yang menyebar di bagian tubuh tertentu, sehingga harus dimatikan lewat paket kemoterapi.
Proses kemonya bisa dilakukan dengan pembentukan jaringan sukarelawan antipolitik uang sampai ke tingkat RT/RW, seperti jaringan antinarkoba yang pernah dibentuk Kapolda Ike Edwin. Jaringan ini dikoordinasi sekaligus memperkuat Panwaslu yang di setiap kecamatan ada lima orang. Hanya mengandalkan lima orang panwaslu menjaga polirik uang sekecamatan, terbukti selama ini kurang berhasil.
Kalau jaringan antipolitik uang ini di setiap RT ada satu regu yang militan dan tegas, dijamin tim sukses politik uang tak berkutik. Lebih lagi kalau saat operasi fajar, jaringan ini dibantu tenaga TNI/Polri. ***
0 komentar:
Posting Komentar