Artikel Halaman 8, Lampung Post Jumat 08-11-2019
Larang Cadar-Cingkrang, Intoleransi!
H. Bambang Eka Wijaya
KEBIJAKAN yang (hendak) melarang perempuam bercadar (dan pria bercelana cingkrang) bukan saja melanggar hak asasi, melainkan juga berpotensi makin memperkeruh situasi, dan bahkan bukan tidak mungkin malah kontraproduktif karena seolah membenarkan sikap intoleransi.
Demikian Bagong Suyanto, Guru Besar Sosiologi FISIP Universitas Airlangga, dalam tulisannya di Media Indonesia (5/11/2019). Di tengah akar sejarah bangsa yang memang Bhinneka Tunggal Ika, perbedaan keyakinan merupakan hal biasa dan harus diterima.
Bhinneka Tunggal Ika itu satu dari Empat Pilar Kebangsaan, yang dimasyarakatkan MPR sejak era Taufik Kiemas Ketua MPR. Sebagai pilar atau soko guru kebangsaan, Bhinneka Tinggal Ika tak terpisah dari tiga pilar lainnya, Panca Sila, UUD 1945, dan NKRI.
Intoleransi bisa mendestruksi Bhinneka Tunggal Ika. Karena itu, agar Pilar Kebangsaan Indonesia tetap kokoh, siapa pun itu, baik pejabat pemerintah maupun warga masyarakat agar menjauhi sikap intoleransi. Serta, menghormati dan menjaga realitas Bhinneka Tunggal Ika masyarakat bangsa.
Rencana mengeluarkan kebijakan melarang perempuan bercadar, dengan tujuan untuk mencegah perkembangan fanatisme dan paham ekstremisme, menurut Bagong, bukan saja terkesan terlalu mengidentikkan cadar dengan ekstremisme. Namun, juga merupakan tindakan yang bukan tidak mungkin, justru kontraproduktif.
Cara berpikir dan tindakan yang menyamakan cadar dan fanatisme sebagai hal yang sama, selain rawan terjerumus dalam sikap Islamofobia, juga merupakan tindakan yang kurang bijaksana. Dari segi hukum lanjutnya, tindakan melarang seorang perempuan muslim bercadar merupakan tindakan yang melanggar hak asasi manusia.
Bagi masyarakat Indonesia yang pluralis, bercadar atau tidak bercadar ialah sebuah pilihan yang personal, mempribadi, dan merupakan bagian dari hak asasi semua masyarakat yang dijamin sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, tegasnya.
Wacana yang dilontarkan itu sesungguhnya merupakan bukti betapa mudahnya seseorang menjadi korban stigma hanya karena penampakan luarnya. Seperti seseoramg yang memelihara jenggot, berdahi dengan bekas warna kehitam-hitaman, termasuk mengenakan cadar, lanjutnya, memang terkadang distigma identik dengan kelompok tertentu yang kurang moderat.
Mengenakan cadar bagi sebagian umat muslim merupakan pilihan dan keyakinan. Maka, akan lebih elok jika penguasa tak ikut terkontaminasi berbagai stigma yang mencederai Bhinneka Tunggal Ika. ***
0 komentar:
Posting Komentar