Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Pilkada oleh DPRD juga Main Uang!

Artikel Halaman 8, Lampung Post Rabu 20-11-2019
Pilkada oleh DPRD juga Main Uang!
H. Bambang Eka Wijaya

MEREKA yang mengusulkan pilkada oleh DPRD dengan alasan mencegah politik uang yang menyebabkan kepala daerah korupsi untuk mengembalikan uang buat pilkada, mungkin mengidap amnesia. Sebab, praktik politik uang dalam pilkada lewat DPRD di era Orde Baru lebih buruk dan korupsi kepala daerah lewat setoran proyek lebih seronok.
Masalahnya, karena waktu itu belum ada KPK yang menindak suap terhadap anggota DPRD maupun korupsi kepala daerah setegas era reformasi prarevisi UU KPK. Sehingga, di zaman Orde Baru itu tak ada anggota DPRD atau kepala daerah yang kena OTT.
Di tahun pilkada, tak ada calon kepala daerah mendatangi rakyat di kampung-kampung untuk kampanye. Mereka cukup pasang iklan profil dengan segala kehebatan dirinya di koran. Di balik itu, tim suksesnya mendekati parpol dan anggota DPRD.
Beberapa waktu menjelang hari "H", banyak anggota DPRD tak kelihatan di kantor. Dalam jumlah mayoritas mereka dikarantina oleh calon yang telah membeli suara mereka. Dengan mengarantina mayorotas anggota DPRD itu, pesaingnya dalam pilkada tak bisa "mencuri suara" kemenangannya.
Demikianlah buruknya pilkada oleh DPRD, para anggota legislatif yang terhormat diperlakukan seperti hewan sakit, dikarantina. Meski lokasi karantinanya hotel mewah yang sukar ditemukan, misalnya anggota DPRD tingkat II Lampung dikarantina di Batam.
Dana untuk politik uang itu umumnya didapat dari sponsor, yang setelah menang nanti diberi "kekuasaan" mengatur distribusi proyek di daerahnya. Sedang kepala daerah tinggal terima bersih fee proyek. Tangan kepala daerah pun bersih dari noda proyek.
Kepala dinas dan pimpro menjalankan proses proyek dari tender sampai pelaksanaan, tapi siapa yang dapat proyeknya sudah ditentukan "sang penguasa proyek". Uniknya, mereka ini relatif adil dalam membagi proyek lewat kelompok-kelompok kontraktor yang ada, sehingga kontraktor kecil pun kebagian paket proyek (tanpa tender).
Dalam praktiknya, penguasa proyek bekerja secara terus terang. Setiap kontraktor yang mendapat proyek harus setor dulu di depan sesuai nilai proyek. Tak ada setoran tak ada proyek, berlaku bagi kontraktor kecil, juga kalau ada anggota DPRD yang mendapat proyek.
Lebih buruknya lagi pilkada oleh DPRD, kepala daerah tak peduli pada kepentingan rakyat, karena cukup baginya asal bisa memuaskan anggota DPRD. Akibatnya rakyat diterlantarkan, seperti era Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun kemiskinan rakyat 24,2% pada Desember 1998. ***





0 komentar: