Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Impikan Korupsi, Buru Kekuasaan!


"KASUS suap wisma atlet terhadap Nazaruddin dan kawan-kawan yang disidangkan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Selatan menyingkap banyak hal, salah satunya gejala umum pada orang-orang yang memimpikan bisa hidup mewah lewat korupsi, harus diwujudkan dengan berburu kekuasaan!" tukas Umar. "Sebab, tanpa kekuasaan, kecil peluang korupsi! Misalnya, jika Nazaruddin waktu itu bukan bendahara umum partai berkuasa, tapi pedagang bakso di Pasar Ayam, tak mungkin kontraktor wisma atlet Palembang mau dikenainya wajib setor Rp24,8 miliar—13% dari proyek senilai Rp191 miliar!"

"Memang, tak sedikit orang berburu kekuasaan didorong oleh impiannya untuk bisa korupsi!" sambut Amir. "Bahkan lebih dominan kekuasaan yang berorientasi pada korupsi, ketimbang pada pengabdian kepada kepentingan rakyat!"

"Sebaliknya, orientasi pada kepentingan rakyat kebanyakan cuma hiasan bibir!" tegas Umar. "Prakteknya, orientasi pada kepentingan rakyat itu cuma retorika! Paling jauh bagian dari usaha memomulerkan diri untuk pemilu berikutnya! Artinya, masih bagian dari berburu kekuasaan yang orientasi sesungguhnya adalah korupsi!"


"Itu logika kekuasaan yang 'harganya' memang mahal!" timpal Amir. "Juga dari Nazaruddin—lewat BBM dan wawancara dengan Tempo—warga diberi tahu bahwa Anas terpilih jadi ketua umum bukan gratis, tapi lewat politik uang antara 10 ribu dolar AS sampai 40 ribu dolar AS per DPC! (Koran Tempo, 11-7) Itu contoh mahalnya kekuasaan, punya konsekuensi logis pada orientasi kekuasaan!"

"Karena itu, perlu usaha-usaha mendorong setiap kekuasaan agar berorientasi pada kepentingan rakyat!" tegas Umar. "Jika seimbang saja orientasi penguasa pada korupsi dan kepentingan rakyat, kehidupan rakyat mungkin bisa lebih baik!"

"Itu berarti korupsi dengan tepa selira—memakai perasaan!" timpal Amir. "Ada yang begitu, dalam arti tidak serakah amat! Gaya seperti itu banyak dulakukan kepala daerah, agar tidak mencolok hingga tak memancing perhatian aparat hukum! Termasuk dalam model tersebut, ia sendiri tak mencampuri prosesnya, pelaksanaannya oleh bawahan dan ia tinggal terima setoran bersih! Risiko korupsinya terbongkar, lebih kecil!"

"Tapi mendorong dari model itu ke orientasi penuh pada kepentingan rakyat, tak mudah!" tegas Umar. "Karena sekecil apa pun modal berburu kekuasaan, harus dibayar kembali! Apalagi kalau rakyat makin 'pintar', menentukan pilihan berdasar jumlah terbesar pembagian money politic-nya!" ***


0 komentar: